"Bagi kita, minoritas Kristiani, cukup bahwa kita "bisa" menjadi presiden, tak perlu kita memang "menjadi" presiden. Secara psiko-logis, seorang presiden Katolik atau Protestan masih terlalu berat, barangkali bahkan provokatif"
Akhirnya Ahok kalah. Diluar dugaan ia kalak telak. Jelas, suatu mayoritas berarti dari penduduk jakarta memilih Anies Baswedan - Sandiaga Uno untuk menggantikan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Hasil pemilihan itu harus diterima.
Kemenangan Anies - Sandi bukan malapetaka. Pertanyaan menentukan, apa mereka akan mampu menangani perkembangan Jakarta yang ruwet itu dengan baik, tidak saya masuki di sini. Yang jelas - dan Anies sudah memperlihatkannya : Anies sangat berkepentingan untuk membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi Gubernur bagi semua penduduk Jakarta, bahwa ia tidak disukai oleh pihak-pihak ekstrem yang mendukungnya dengan begitu vokal dalam kampanye. Apalagi kalau umpamanya Anies mempunyai ambisi lebih tinggi lagi (sesuatu yang tidak terlarang) ; Ia harus membuktikan diri bahwa ia bisa diterima oleh semua. Jadi menurut saya, tidak perlu mengkhawatirkan suatu penggubernuran sektarian.
Lagi pula, belum tentu besarnya kemenangan Anies - Sandi semata-mata karena ribut-ribut agamis kelompok-kelompok yang selama enam bulan terakhir menguasai panggung perhatian publik di negara kita. Sangat mungkin bahwa juga warga yang tidak radikal/ekstremis pada saat terakhir merasa lebih aman memilih calon pemimpin seagama daripada orang "Tionghoa-Kristen".Bahwa orang yang mengikuti nalurinya, itu adalah wajar dan juga tidak berarti permusuhan terhadap yang tidak mereka pilih.
Namun kalau itu betul, kita perlu intropeksi. Barangkali Ahok muncul seratus tahun terlalu cepat. Barangkali suatu bangsa, betapa pun di 'mau' pluralis dan non - deskriminatif, secara psikologis belum mampu menerima bahwa posisi-posisi kunci diduduki orang dari agama minoritas. Amerika Serikat saja yang membanggakan diri dengan kebebasan beragama membutuhkan 160 tahun, sampai orang orang Katolik pertama (Katolik di Amerika Serikat minoritas 30 persen) dapat menjadi presiden. Waktu John F Kennedy terpilih tahun 1960, dari beberapa pihak Protestan masih ada reaksi histeris. Vatikan akan mengambil alih Amerika, gereja-geraja protestan akan ditutup, dan sebagainya. Waktu Barack Obama mau menjadi Presiden Amerika Serikat, bahkan prasangka-prasangka rasis muncul kembali. Tahun 2010, Presiden Jerman Christian Wulf mengakui adanya 4 juta orang muslim, kebanyakan asal Turki, yang sudah puluhan tahun di Jerman, ia disambut dengan protes keras.
Bagi kita, minoritas Kristiani, cukup bahwa kita "bisa" menjadi presiden, tak perlu kita memang "menjadi" presiden. Secara psikologis, seorang presiden Katolik atau Protestan masih terlalu berat, barangkali bahkan provokatif, bagi mayoritas warga, termasuk mereka yang bersahabat dengan kita. Kiranya bagi kita lebih menguntungkan kalau negara kita, atau provinsi penting, seperti DKI Jakarta dipimpin oleh salah satu dari tokoh muslim yang pancasilais, pluralis, terbuka. Cukup kalau kita mempunyai orang yang bisa menjadi menteri atau pembantu penting. Tidak perlu melemparkan tuduhan 'tidak toleran", "sektarian" kepada mereka yang lebih aman kalau pimpinan tertinggi dipegang yang sesui agama mereka.
Dengan kemenangan Anies - Sandi, apa ketenangan akan kembali ?, sayang, itu belum tentu. Bisa juga bahwa ribut-ribut Ahok hanya suatu warming-up, bisa saja ada pemain-pemain yang sasarannya jauh lebih tinggi dari Jakarta. Sudah dua kali seorang presiden diganti karena tekanan dari jalan : Soekarno tahun 1966 dan Soeharto tahun 1998. Bedanya, presiden kita sekarang terpilih secara demokratis oleh rakyat Indonesia. Tak ada kelompok-kelompok yang berhak menyingkirkannya. Tentu, kalau pengacauan kehidupan bangsa berlanjut, muncul pertanyaan di mana angkatan bersenjata kita berada.
Kita sendiri, menurut pendapat saya, sebaiknya terus saja biasa-biasa. Sangat penting bahwa kita di semua level mengembangkan hubungan positif-saling percaya dengan umat Islam (dan umat Hindu di Bali). Situasi kita tidak pertama-tama tergantung konstalasi-konstalasi politik, melainkan dari apakah saudara-saudari beragama lain-mayoritas besar- merasa damai dan positif dengan kita.
Penulis Romo Franz Magnis Suseno SJ,
Guru Besar Filsafat STF Driyarkara, Jakarta
Sumber : Majalah HIDUP 14 Mei 2017
No comments:
Post a Comment