Monday, September 2, 2019

Kampus Cegah Paham Intoleransi


Perguruan tinggi negeri sepatutnya menjadi etalase prinsip Bhineka Tunggal Ika, bukan justru melahirkan individu – individu yang anti Pancasila, UUD Dasar 1945 dan pluralis.

Perguruan tinggi negeri mulai bergerak membenahi struktur pejabat ataupun pengadaan kegiatan kemahasiswaan guna memastikan tidak disisipi paham intoleransi. Keberadaan ideologi intoleransi bertentangan dengan prinsip kemajemukan dan persatuan yang diyakini oleh bangsa Indonesia.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme di Kampus perguruan tinggi negeri (PTN) banyak kegiatan sivitas akademika yang berlandaskan prinsip inteloransi dan eksklusif dan Inteloran ini kepanjangan tangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan kelompok tarbiyah.

Setelah HTI dibubarkan, kegiatan tetap ada dengan masuk ke berbagai keseharian mahasiswa. Akibatnya, muncul segresi yang lebar di kampus antara kelompok religious eksklusif yang terpengaruh gerakan islamisme dan kelompok yang lain. Dikotomi mayoritas dan minoritas menjadi norma bersikap kepada kelompok marjinal

Hal tersebut terungkap dalam pembedahan hasil riset Setara Institute di sepuluh PTN. Direktur Penelitian Setara Institute Halili mengatakan, Islamisme adalah gerakan politik praktis yang menggunakan dalil-dalil agama untuk meraih kekuasaan. Mahasiswa yang ikut kaderisasi diindoktrinasi sehingga menghilangkan kemampuan mereka berpikir kritis dan mencari rujukan berbagai pihak. Dalam indoktrinisasi ini dimasukkan narasi bahwa nasionalisme dan agama tidak sejalan.

“Bahkan ada mahasiswa yang mengatakan masih untung kelompok minoritas tidak diperkusi di Indonesia. Berbeda dengan perlakuan masyarakat di Israel terhadap Palestina maupun masyarakat Myanmar terhadap warga Rohingya. Ini menandakan tidak ada penghargaan atas sesama warga Indonesia” tutur Halili

Mulai Bergerak
Awalnya, Kata Halili, PTN tidak menganggap keberadaaan kelompok intoleransi di dalam sistemnya sebagai suatu masalah. Data BNPT menjadi cambuk yang menyadarkan PTN bahwa sebagai kampus Negara, mereka sepatutnya menjadi etalase prinsip Bhineka Tunggal Ika, bukan justru melahirkan individu – individu yang anti Pancasila, UUD 1945, dan pluralisme.

Universitas Gajah Mada adalah yang pertama kali bergerak sejak 2014. Segala bentuk kegiatan ekstrakurikuler keagamaan ditiadakan karena selama ini pengampunya bukan staf pengajar UGM. Kuliah dan diskusi keagamaan kemudian dipusatkan di bawah Fakultas Filsafat sehingga ada pemastian berlangsungnya pemberian informasi yang kaya dan berjalannya budaya diskusi.

Kepengurusan mesjid – mesjid milik fakultas dan universitas juga dikembalikan ke struktur resmi, tidak diurus lagi oleh pihak luar.  Segala bentuk khotbah dan pengajian dipastikan tidak berisi indoktrinasi, tetapi keagamaan ilmiah.

Langkah serupa diambil Institut Pertanian Bogor. Setelah pada januari 2017 beredar di media sosial yang menunjukkan bahwa  mahasiswa IPB mendeklarasikan dukungan terhadap ideology transnasional, pihak kampus segera mengambil alih semua kegiatan di masjid dan mushala. Semua kegiatan keagamaan terpusat disana.

‘Terobosan IPB yang lain adalah memberi tempat ibadah bagi semua pemeluk agama. Cara ini menghadirkan perbedaan di tengah kampus agar sivitas akademika paham bahwa pluralism adalah  bagian dari Indonesia”. Kata peneliti di Fakultas Ekologi Manusia IPB, Eko Cahyono, yang juga mitra Setara Institute dalam riset di 10 PTN.

Narasi Pengayaan
Peneliti Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Iif Fitriani Ihsani, mengatakan, hendaknya narasi mengenai tafsir keagamaan dan nasionalisme merupakan kunci untuk menghambat penyebaran paham intoleransi. Ia merujuk pada masjid di Kampus I dan Kampus II UIN Syarif Hidayatullah yang tidak bisa ditembus oleh gerakan ini.

“Sudah tradisi masjid menjadi mimbar kontestasi ide. Para dosen dan guru besar memimpin diskusi membedah makna dan relevansi tafsir agama” ucapnya. 

Para dosen agama mulai proaktif membuka ruang diskusi, terutama di Fakultas Ekonomi dan Fakultas Ilmu Sosial dan Fakultas Ilmu Politik. UIN Syarif Hidayatullah juga menjadikan Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Dirasat Islamiyah sebagai kekuatan yang bisa memperbanyak budaya diskursus keagamaan dan nasionalisme.

Di PTN lain, menurut laporan Setara Institute, juga ada perubahan positif. Universitas Indonesia misalnya, memastikan semua jajaran pejabatnya diisi oleh orang –orang yang kompeten dan nasionalis. Bahkan, dalam pencarian calon rektor baru, nasionalisme menjadi salah satu syarat.

Di Universitas Negeri Yogyakarta dibentuk pusat studi pancasila dan konstitusi. PTN ini juga mengaktifkan lagi acara-acara seni dan keagamaan nusantara seperti tabligh akbar UNY dengan mengundang penceramah pluralis.

Menurut pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, A Setyo Wibowo, apa yang terjadi disejumlah PTN tersebut merupakan bentuk kebebasan yang kebablasan. Kesetaraan dan kebebasan tanpa batas dalam dmeokrasi membuat orang kehilangan arah dan patokan.

“Anak-anak muda yang labil dan butuh pegangan tetapi tidak mendapatkannya dari orang tua atau masyarakatnya berpotensi menjadi lahan suburr untuk dipanen oleh para pengkhotbah radikal, para demagog (penggerak rakyat yang pandai menghasut dan membangkitkan semangat rakyat untuk memperoleh kekuasaan), para sofis (kaum pandai bersilat lidah untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu), dan kaum tiran” ujarnya

Beberapa Temuan Kunci Riset Setara Institute
  • Praktik intoleransi di kampus menguat
  • Kegiatan keislaman di kampus cenderung homogen
  • Kampus dikuasai kelompok tarbiyah dan eks HTI yang eksklusif dan mendukung formalisme syariah islam di kampus
  • Kelompok Islam eksklusif mengembangkan wacana dominan di kampus
  • Gerakan tarbiyah kuasai organisasi kemahasiswaan intrakampus
  • Gerakan keagamaan eksklusif merekayasa aturan Panitia Penyelenggara Pemilu Mahasiswa
  • Terjadi pelanggaran hak – hak dasar kaum minoritas di kampus
  • Penyebaran paham Islam eksklusif melalui khotbah jumat, liqo, daurah, halaqoh, pengaderan anggota, buku, majalah, buletin jumat
  • Penguasaaan atas masjid dan mushala kampus sebagai markas utama kaderisasi gerakan Islam eksklusif
  • Kelompok Islam eksklusif menguasai peta politik kampus, bekerja aktif dalam berbagai momentum kampus, seperti pemilihan rektor, dekan hingga ketua jurusan.
  • Program pendampingan pendidikan agama Islam diinstrumentasi oleh gerakan Islam ekslusif
  • Minim kontestasi dan pengaruh wacana keagamaan dari gerakan mahasiswa NU dan Muhammadyah
  • Iklim diskusi ilmiah yang surut menjadikan wacana keagamaan eksklusif semakin mendominasi
  • Mulai muncul berbagai perguruan tinggi negeri yang berinisiatif mencegah dan memitigasi radikalisme dan gerakan keislaman ekslusif.

Sumber : berita kompascetak (03/06/2019) 

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...