Buruh PT DJL terlantar di kendari. Sumber Sinar Harapan |
Sejak hari senin (5/10) Para pekerja Sawit PT Damai Jaya Lestari
(DJL) menginap di Aula Dinas Sosial Provinsi Sulawesi Tenggara. Para
pekerja sawit itu tidak mempunyai tempat untuk menginap selama
memperjuangkan hak-hak di Kota Kendari.
Ketika saya
berkunjung ke Aula Dinas Sosial pada hari rabu kemarin (7/10),
barang-barang dalam koper dan kardus menumpuk depan. Ketika masuk ke
dalam ruangan aula, tempat tidur seadanya beralaskan matras dan karpet
tipis membuat mereka sangat rawan terkena penyakit masuk angin, batuk
dan demam. Berdasarkan data Mahasiswa Mandala Waluya sebanyak 50 orang
sedang sakit dari total 206 jiwa. Dari 50 orang sakit-sakitan itu,
sebanyak 18 orang dari kalangan anak-anak. Menurut salah satu pekerja PT
DJL, “salah satu anak yang masih umur sebulan mulai di evakuasi ke
rumah warga semalam karena kondisinya semakin menurun”.
Bantuan
dari tim medis belum terlihat sama sekali untuk mengecek kesehatan dan
memberikan pertolongan pertama kepada korban yang mulai sakit-sakitan
sampai hari ini. Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara berdalih
urusan pekerja adalah urusan Dinas Sosial Provinsi. Kalaupun Dinas
Kesehatan Provinsi yang akan menangani, maka akan berkoordinasi dengan
pimpinan dan biasanya akan bertindak 3 hari setelah adanya laporan.
Bukan
hanya itu, Bantuan makanan sangat tidak sehat karena warga hanya
diberikan mie instan 32 Dos dari Dinas Sosial sedangkan bantuan beras
dari Mahasiswa. Makanan instan itu akan menimbulkan alergi terutama
kepada anak-anak. Karena itu mengharapkan makanan yang sehat seperti
sayur-sayuran dan lauk pauk untuk memperbaiki gizi. “untuk bantuan susu
bagi anak-anak sudah diberikan oleh Dinas Sosial pagi tadi” menurut
pengakuan Klemis, salah satu buruh sawit PT DJL.
Dari
pengamatan di Lapangan dan hasil bincang-bincang dengan beberapa pekerja
sawit dan pendamping, Perlindungan terhadap korban sangat minim dari
Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi
Tenggara. Padahal jika dilihat dari latar belakang para pekerja sawit
itu merupakan salah satu korban bencana sosial yang sistematis
diciptakan oleh perusahaan PT Damai Jaya Lestari untuk memiskinkan para
pekerja.
Pemiskinan PT DJL
Pemiskinan
telah terjadi terhadap Pekerja Sawit dan Petani sekitar PT Damai Jaya
Lestari (DJL) DI Kecamatan Wiwirano, Kabupaten Konawe Utara.
Keterlibatan pemerintah dan investor sawit dalam memiskinkan rakyat
sangat miris yang seharusnya mensejahterakan rakyat.
Pekerja
Sawit Para pekerja didatangkan dari NTT pada tahun 2009 atau 6 tahun
lalu dengan jaminan upah Rp. 60.000/Hari dan Biaya lembur Rp. 7.000/jam.
Gaji rendah namun tawaran itu diterima karena daerah NTT juga tidak
cukup menjanjikan kesejahteraan sehingga mereka terpaksa harus
menyeberang pulau ke Sulawesi Tenggara. Status yang disandang sebagai
Pekerja Harian Lepas (PHL).
Menurut Para Pekerja Sawit,
Upah Rp. 60.000/hari berlangsung dengan baik pada tahun pertama pada
tahun 2009 lalu. Tahun kedua, Tahun 2010 mulai terjadi pengurangan jam
kerja dari 30 hari menjadi 24 hari. Tahun ketiga, Tahun 2011 hari kerja
mulai dikurangi lagi dari 24 hari menjadi 13 hari, dan upah yang
diterima hanya Rp. 780.000/bulan, biaya upah yang sangat rendah (harian
Terbit 07/10).
Menjadi pekerja sawit tentunya mempunyai
banyak resiko sehingga membutuhkan jaminan sosial tenaga kerja. Data
Pekerja Sawit yang telah mengalami kecelakaan kerja sebanyak 21 kasus.
Dari data itu dua diantaranya sangat fatal yakni pertama, Kasus yang
menimpa Maria Seu (50), dia harus mengalami buta seumur hidup setelah
mukanya terkena kelapa sawit saat bekerja. Kedua, Kasus Sri Mulyani yang
harus meregang nyawa karena penyakit perut yang kronis. Sejak
ditetapkannya Kewajiban setiap perusahaan untuk membuatkan Jaminan
Sosial terhadap tenaga kerja ternyata tidak diindahkan oleh PT DJL.
Hasil
pengamatan Susi Yanti Kamil terhadap Buruh Perempuan di PT DJL pada
tahun 2011 juga mengungkapkan “Buruh sangat jauh dari perlindungan dan
jaminan sosial. Padahal pekerjaan buruh perempuan sama beratnya dengan
pekerjaan laki-laki, dengan waktu kerja dari Pukul 06.00 sampai pukul
15.00 atau 9 jam kerja. Buruh tani perempuan bekerja land clearing
dengan membuka lahan yang lebat dengan semak belukar, melakukan
penyemprotan dengan menggunakan zat kimia, memikul tangki berisikan 17
liter cairan serta memetik hasil sawit. Tanpa cuti haid dan cuti pasca
melahirkan”.
Beban ganda terhadap kaum perempuan, bekerja
sebagai ibu rumah tangga dan bekerja sebagai pekerja sawit merupakan by
design yang diciptakan oleh pihak perusahaan sawit. Lahan untuk
pertanian yang sebelumnya mencukupi kebutuhan makan berubah menjadi
lahan sawit, biaya hidup semakin tinggi dan gaji suami tidak mencukupi
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Karena itulah, kaum perempuan
harus ikut menjadi pekerja sawit walau bebannya sangat berat.
Pekerja
Sawit diperlakukan sebagai Pekerja Harian Lepas (PHL) dengan upah yang
sangat rendah jauh dari Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Kabupaten (UMK)
hanya Rp. 780.000 bulan, tanpa biaya lembur, khusus untuk perempuan
tanpa cuti haid dan cuti pasca melahirkan dan tanpa jaminan sosial dan
kesehatan tenaga kerja.
Tindakan sistematis lain
yakni dalam proses pembebasan lahan petani Konawe Utara. Sejak
kedatangan PT DJL pada tahun 2004, pembebasan lahan pertanian rakyat
masih bermasalah sampai sekarang di Kecamatan Wiwirano, Konawe Utara.
Warga dibodohi dengan SKT (Surat Keterangan Tanah) yang diciptakan
sepihak oleh aparat Desa, Kecamatan dan Bupati Konawe Utara pada waktu
itu (Berdikari Online 12/12/2014).
Menurut PT DJL izin
lahan yang diberikan oleh Pemerintah seluas 20.000 Hektare namun yang
berhasil dikelola sampai sekarang hanya 6.000 Hektare. Itupun lahan
seluas 6.000 Ha belum mendapatkan MOU yang jelas antara pihak PT DJL
dengan rakyat setempat. Karena itu “Forum Petani Plasma Bersatu”
memprotes dan mendesak PT DJL segera melakukan MOU dengan rakyat
setempat pada tahun 2011 lalu (JRK Sultra 01/03/2011).
Kasus
diatas mirip dengan Tesis Anto Sangaji, Antropolog York University,
Canada yang menuliskan “Kepemilikan tanah yang berpusat pada beberapa
orang tuan tanah telah membawa dampak sosial yang sangat besar. Inilah
kunci dimana perusahaan perkebunan skala besar bukan saja menghancurkan
ekonomi rakyat yang subsisten tetapi juga memorak-morandakan
kepemilikan alat produksi kaum tani di Pedesaan”.
Tulisan
Anto Sangaji diamini Waode Winesty Setyani, Antropolog dan Pengajar
Universitas Halu Oleo (UHO) SULTRA “ Alih fungsi lahan menjadikan petani
rentan terhadap kemandirian dan kedaulatan pangan bagi keluarganya”.
Pola
perubahan sosial di Perkebunan Sawit Konawe Utara dapat dibaca juga
dalam tulisan Susi Yanti Kamil “Budaya Gotong Royong atau biasa disebut motuso
hilang sejak kedatangan perkebunan sawit. Rakyat Wiwirano yang
sebelumnya sebagai penghasil pangan seperti beras, sagu dan
sayur-sayuran berubah menjadi konsumen bahan pangan”.
Pola
perubahan kepemilikan tanah tidak terlepas dari peran-peran aparat
desa, kecamatan dan Bupati Konawe Utara pada tahun 2004 lalu. Jadi
tindakan sistematis ini menciptakan pemiskinan dari sebelumnya warga
bisa makan dari bertani diubah menjadi tergantung dengan hasil kerja di
perusahaan sawit yang jauh dari tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.
Ironisnya,
Pemiskinan tidak hanya sebatas di sekitar Perusahaan Kelapa Sawit PT
DJL melainkan meluas ke daerah-daerah lain berupa bencana alam. Waode
Amrifah tahun 2010 menuliskan dampak bencana yang ditimbulkan perkebunan
sawit di Konawe Utara. Banjir bandang pertama terjadi pada tahun 1996
di Konawe Utara dengan kerugian mencapai milliaran rupiah karena
fasilitas umum berupa jembatan rusak total sehingga jalur transportasi
lumpuh total. Banjir bandang kedua terjadi pada juni 2006 dengan
kerugian mencapai 97 unit rumah ambruk, 64 hanyut serta 485 warga
kehilangan tempat tinggal tepatnya di Asera, Konawe Utara.
Perubahan
lahan menjadi lahan sawit memberikan dampak besar terhadap kehidupan
warga Kota Kendari. Ingat banjir besar tahun 2013 yang menenggelamkan
separuh kota kendari. Penyebabnya karena hulu sungai yang berada di
Konawe yang tidak mampu meresap air dan air yang tumpah ke sungai tidak
mampu tertampung sehingga meluap ke pemukiman warga di Kota Kendari.
Kerugian warga kendari menurut Dinas Sosial Kendari, rumah rusak ringan,
berat dan hilang sebanyak 169 rumah. Korban bencana mengalami kerugian,
bagi warga yang mampu tentu tidak masalah mampu dengan cepat
memperbaiki rumah, bagi warga yang tidak mampu dan terkena bencana
otomatis akan bertambah miskin.
***
Pengertian
Kemiskinan struktural menurut Friedmann dalam Andre Bayo (1996),
Kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakadilan kesempatan untuk
mengakumulasikan basis kekuasaan sosial. Basis kekuasaan sosial meliputi
(tidak terbatas pada): modal yang produktif atau asset misalnya tanah,
perumahan, peralatan, kesehatan; sumber-sumber keuangan; organisasi
sosial dan politik yang dapat digunakan untuk mencapai kepentingan
bersama; jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, dan lain-lain.
Kemiskinan struktural ini dimana sumber daya ekonomi, politik, teknologi
dan informasi hanya dikuasai oleh sebagian kecil orang saja. Namun
bagaiman dengan si miskin mereka semakin terpinggirkan akibat pola
sistem ekonomi yang berlaku. (Kemiskinan Struktural., Alan Griha Yunanto)
Berdasarkan pengertian kemiskinan struktural diatas untuk kasus Pekerja Sawit dan Petani Sekitar PT DJL dapat dilihat. Pertama,
Pengabaian hak-hak korban oleh Dinas Sosial dan Dinas Kesehatan
Provinsi Sulawesi Tenggara yang menelantarkan korban yang sakit, dengan
fasilitas tempat tidur yang tidak layak serta makanan yang tidak cukup
dan tidak sehat. Padahal para pekerja sawit itu membayar pajak begitupun
dengan PT DJL membayar pajak ke Negara.
Kedua,
Pemiskinan struktural terjadi dalam upah tidak sesui dengan yang
ditetapkan dalam Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK), BPJS Ketenagakerjaan yang tidak ada, serta cuti
hamil dan cuti pasca melahirkan bagi kaum perempuan. PT DJL melanggar
aturan yang ada terkait UU Ketenagakerjaan. Pihak Dinas Tenaga Kerja
Kabupaten Konawe Utara dan Provinsi Sulawesi Tenggara tidak mengawasi
pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan dan malah seolah membiarkan
pelanggaran terus terjadi.
Ketiga, Dalam proses
pembebasan lahan yang melibatkan Aparat Desa, Kecamatan, Bupati Konawe
Utara atas sepengetahuan Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Sultra
pada tahun 2004, yang mengorbankan hak-hak Petani Konawe Utara. Selain
perubahan kepemilikan lahan, perubahan tata cara mendapatkan makanan
dari sebelumnya dapat makanan dari hasil bertani kemudian diubah oleh
sistem untuk menjadi pekerja sawit dan mengadalkan pangan dari luar.
Keempat,
Dampak perkebunan sawit yang menimbulkan bencana terutama banjir bagi
rakyat SULTRA. Korban bencana secara tidak langsung dimiskinkan karena
membutuhkan biaya untuk pemulihan kehidupan pasca bencana. Selain itu,
ketika bencana terjadi Dana APBN dan APBD kembali digelontorkan untuk
memperbaiki infrastruktur yang rusak dan bahkan lebih besar dibandingkan
dengan dana pajak yang disetor PT DJL ke Negara setiap tahunnya.
Sumber
- Wawancara dan mengamati langsung Pekerja Sawit PT DJL di Kantor Dinas Sosial Sultra. 05 – 09 Oktober 2015
- Cerita Pilu Eks Pekerja PT. DJL, Kecelakaan Kerja Dianggap Angin Lalu, Meninggal Pun Tak Diurus. Zona Sultra, diakses 9 oktober 2015
- Upah Tak Layak Hingga PHK, Walhi: PT. DJL Perbudak Pekerjanya. Zona Sultra, diakses 9 oktober 2015
- Ratusan Korban PHK di Sultra Duduki Kantor Dinas Sosial. Harian Terbit, 09 Oktober 2015
- Ratusan Korban PHK Duduki Aula Dinsos. Bisnis.Com, 09 Oktober 2015
- PT DJL Menghisap Petani Konawe Utara. Berdikari Online. Diakses 09 oktober 2015
- Demo Perkebunan Kelapa Sawit. JRK Sultra 09 oktober 2015
- Eksploitasi Buruh Perempuan di Perkebunan Sawit, Praktek Nyata Ketimpangan Gender di Masyarakat Pedesaan (Studi Kasus Perkebunan Kelapa Sawit Kab. Konawe Utara). Susi Yanti Kamil, 09 oktober 2015
- Sawit dan Kehancuran Hutan di Konawe Utara. Waode Amrifah, Media Sultra, diakses 09 oktober 2015
- Kemiskinan Struktural, Alan Griha Yunanto. Sapa Indonesia. Diakses 09 oktober 2015
No comments:
Post a Comment