Oleh: Letjend (Purn.) Saurip Kadi*
Pesan Gus Dur. Sumber Foto : twitter nu-online |
Kita
sudah jauh melangkah berdemokrasi. Koq
masih sibuk bahaya latent KGB (Komunis Gaya Baru?-red). Memang Undang-undang
Dasar (UUD) hasil amandemen, belum menjabarkan nilai-nilai luhur Founding Father kita secara
benar dan menyeluruh. Sehingga pengelolaan kekuasaan di era
reformasi lebih parah dari jaman Orde Baru.
Dulu
monopoli dan oligharkhi kekuasaan ada di tangan HMS (Haji Muhammad Soeharto
?-red). Tentara berubah jadi alat kekuasaan. Rakyat di belah-belah, yang
berpolitik ikut partai Prde Baru dengan 3 nama yaitu PPP (Partai Persatuan
Pembangunan)-Golkar (Golongan Karya)-PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Yang tdk
berpolitik diawasi oleh TNI (AD khususnya) dengan KOTER (Komando
Teritorial) dan Intel TNI nya dengan (memberi-red) stempel EKKA (Ekstrim Kanan)
-EKKI (Ekstrim Kiri)- EKLA (Ekstrim Lain), yang terdiri dari kaum intelektual
yang kritis dan disuruh keluar negeri seperti Arief Budiman, George J
Aditjondro dan lainnya.
Yang
pasti Presiden Soeharto lengser dengan warisan yang sangat membebani
generasi penerus. Hutang luar negeri begitu besar. Hutan sudah gundul.
Lingkungan hidup yang sudah rusak, sumber daya alam dikuasai segelintir orang
saja.
Di
era reformasi monopoli dan oligharkhi kekuasaan, juga terjadi dan justru
lebih parah, bukan oleh presiden tapi oleh pemegang kapital. Karena waktu
itu kepemimpinan nasionnal lemah, maka dalam sistem yang semrawut muncul mafia
dimana-mana.
Jujur
kita harus berani bilang, aparat bisa dibeli oleh konglo hitam dengan
jaringan mafianya. Idem juga hukum.
Presiden
Joko Widodo saat ini sedang mensiasati agar dirinya tidak menjadi boneka.
Dengan "diam", tapi tidak mau bergabung dengan mafia, kini
antar mafia saling cakar dan menelanjangi diri. Setelah kasus papa minta saham,
kini kasus reklamasi teluk Jakarta.
Lantas
mengapa kita harus sibuk dengan bahaya laten KGB (Komunis Gaya Baru).
Bukankah
yang harus jadi musuh bersama dan apalagi harus distempel BAHAYA LATENT
semestinya terhadap pihak yang sudah merusak negara.
Mari
jujur bertanya,-- perbuatan anak-anak PKI (Partai Komunis Indonesia) yang mana
yang bisa kita jadikan alasan mereka dijadikan ancaman? Apakah keamburadulan,
keterpurukan, dan hutang negeri yang begitu besar yang bikin mereka
harus diwaspadai sampai ditakuti? Siapa yg merampok kekayaan negeri ini, apakah
mereka anak-anak PKI atau orang lain?
Dosa
apa yang mereka tanggung? Apalagi sebagai anak keluarga PKI saat Orde
Baru mereka sudah didholimi negara, yang dilakukan oleh saya dan kawan-kawan di
TNI.
Jangankan
jadi anggota TNI atau POLRI dan PNS,--jadi buruh pabrik milik swasta saja
mereka tidak bisa. Peluang yang paling mungkin adalah jadi tukang tambal ban,
buruh harian dan maaf-maaf,--jadi pelacur bagi yang perempuan. Ini fakta
bukan opini.
Saat
mereka menjadi militan untuk survive,
belakangan bisa jadi anggota DPR/D, DPD dan bahkan menteri. Lantas kita
teriak awas bahaya laten KGB ! Sungguh lucu kalian semua kawan!
Lucu
karena komunisme sudah rontok. Ideologi sudah tamat. Takut kok sama roh
gentayangan komunisme dan PKI yang sudah lama terkubur. Mengapa ada pihak yang
ketakutan secara berlebihan?
Semestinya
segenap aparatur negara termasuk juga TNI dan Polri harus segera switching of mind set, tak
peduli pangkat dan jabatan dirinya adalah ‘Pelayan’ alias jongos. Gaji
yang mereka terima adalah uang pajak rakyat. Tempat kan Rakyat sebagai majikan.
Berlakulah
sopan dan jangan kurang ajar terhadap majika. Bagi TNI kembalilah ke khitoh. Rasakan denyut nadi
rakyat. Karena legitimasi hanya lahir tergantung bagaiamana to win the heart of the people.
Kenapa kalian harus ikut menyakiti hati rakyat, ikut gusur menggusur
orang-orang tak bersalah. Mereka lahir dari keluarga miskin bukan karena
pilihan. Mereka rakyat Indonesia. Jangan hinakan mereka.
Perubahan
tata kelola dunia yang menimbulkan kerusakan alam dan kesenjangan sosial
ternyata membawa malapetaka bagi peradaban manusia tak terkecuali bagi pemegang
kapital papan atas di tingkat dunia.
Sepuluh
Globarl Concern kalau saja disikapi denga baik, niscaya membawa berkah bagi
segenap anak bangsa tanpa kecuali. Maka sangat tepat kalau Presiden joko
Widodo merespon upaya mengakhiri dendam masa lalu. Dengan rakyat bersatu, apa
yang tidak bisa kita laksanakan. Semua kita punya. SDM lebih dari cukup.
Kerusakan
sosial juga hanya di kota-kota besar saja. Saudara-saudara kita yang di daerah,
sangat paham untuk tidak "memanen karena tidak ikut
menanam". Mereka satu antara kata dan perbuatan. Mereka pekerja tangguh.
Habis subuh mereka bergegas ke sawah atau ke laut. Bukan seperti sebagian elit
kita yang sudah tidak bisa membedakan halal dan haram.
No comments:
Post a Comment