Karikatur dari http://bkk.fajar.co.id |
Setelah sekian lama tidak membuka facebook, saya mencoba semalam dan salah grup favorit adalah Sultra Watch, salah satu grup rakyat Sulawesi Tenggara untuk berbagi informasi. Postingan berseliwerang terkait proses suksesi Calon Walikota Kendari. Ada 3 calon yang lolos mendapatkan dukungan partai politik yakni Adriatma Dwi Putra – Zulkarnain, Abdul Razak – Haris Andi Surahman, dan Zayat Kaemoddin – Suri Syahriah Mahmud.
Dari hasil penelusuran di grup facebook, salah satu hal yang kuanggap menarik adalah munculnya beberapa warga yang berkomentar meminta uang transportasi kepada calon dukungannya saat mengikuti deklarasi beberapa hari yang lalu.
Fenomena politik uang tidak bisa dipungkiri makin marak sejak akan diadakan deklarasi Calon Walikota Kendari. Misalnya pada saat Deklarasi ADP – ZUL beberapa warga diberi uang Rp. 20.000 agar dapat meninggalkan pekerjaan demi menghadiri deklarasi.
Dari hasil penelusuran di grup facebook, salah satu hal yang kuanggap menarik adalah munculnya beberapa warga yang berkomentar meminta uang transportasi kepada calon dukungannya saat mengikuti deklarasi beberapa hari yang lalu.
Fenomena politik uang tidak bisa dipungkiri makin marak sejak akan diadakan deklarasi Calon Walikota Kendari. Misalnya pada saat Deklarasi ADP – ZUL beberapa warga diberi uang Rp. 20.000 agar dapat meninggalkan pekerjaan demi menghadiri deklarasi.
Deklarasi Zayat Kaemoddin – Suri juga demikian, hal ini terdapat di grup Sultra Watch, beberapa tukang ojek dibayar Rp. 50.000 untuk menghadiri deklarasi. Begitupun dengan pasangan Abdul Razak – Haris Andi, beberapa tukang ojek mengungkapkan dibayar Rp. 50.000 agar mengikuti deklarasi.
Saya kira untuk semua calon melakukan itu, padahal kegiatan deklarasi merupakan kegiatan awal dari pertarungan pemilukada kota kendari. Kita masih mempunyai 5 bulan waktu yang tersisa menuju pencoblosan. Entah bagaimana jadinya kedepan.
Nah, yang paling marak terjadi adalah transaksi barang berupa sembako, beras, gula, sarung dan barang lainnya. Hal ini banyak terjadi di kampung yang ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kedengarannya memang hanya bantuan sosial, tapi bantuan pada saat musim politik seperti ini sama halnya bentuk sogok kepada rakyat.
Apa yang terjadi diatas, didukung dengan survey yang dilakukan oleh Barometer Suara Indonesia (BSI) pada bulan Juni 2016, dimana 98 persen pemilih mau menerima uang dari kandidat yang berkompetisi di Pilkada Kota Kendari. 1.
Temuan BSI sungguh mencengangkan ternyata orang kendari itu matre ya.. hehehe..maaf becanda..
Dalam proses klasifikasi pemilih yang biasa dipakai yakni tipe pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional dan pemilih skeptis. Untuk hasil riset BSI pemilih Kota Kendari tergolong dalam tipe pemilih tradisional dan pemilih skeptis. 4
Pemilih tradisional, pemilih yang berdasarkan kedekatan sosial budaya, asal usul primordial, dan agama serta ukuran memilih parpol atau capres. Dan Pemilih Skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi atau sistem nilai dan program kerja yang ditawarkan. Pemenang pilkada dianggap tidak mampu mengubah keadaan. Dan biasanya pemilih skeptis mayoritas golput. 4
Kembali ke uang dan uang selalu saja menjadi faktor pendorong dalam bergerak dalam dunia politik praktis. Padahal jika belajar dari sejarah perkembangan umat manusia dari masa pertanian tradisional tidak pernah mengandalkan uang untuk survive. Pada masa itu, manusia hanya mengandalkan barter untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan biasanya mempunyai waktu luang banyak karena hanya bekerja 4-5 jam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Uang yang awalnya dianggap untuk mempermudah pertukaran berujung menjadikan manusia sebagai budak politik sekarang ini.
Saya kira untuk semua calon melakukan itu, padahal kegiatan deklarasi merupakan kegiatan awal dari pertarungan pemilukada kota kendari. Kita masih mempunyai 5 bulan waktu yang tersisa menuju pencoblosan. Entah bagaimana jadinya kedepan.
Nah, yang paling marak terjadi adalah transaksi barang berupa sembako, beras, gula, sarung dan barang lainnya. Hal ini banyak terjadi di kampung yang ekonomi masyarakat kelas menengah ke bawah. Kedengarannya memang hanya bantuan sosial, tapi bantuan pada saat musim politik seperti ini sama halnya bentuk sogok kepada rakyat.
Apa yang terjadi diatas, didukung dengan survey yang dilakukan oleh Barometer Suara Indonesia (BSI) pada bulan Juni 2016, dimana 98 persen pemilih mau menerima uang dari kandidat yang berkompetisi di Pilkada Kota Kendari. 1.
Temuan BSI sungguh mencengangkan ternyata orang kendari itu matre ya.. hehehe..maaf becanda..
Dalam proses klasifikasi pemilih yang biasa dipakai yakni tipe pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional dan pemilih skeptis. Untuk hasil riset BSI pemilih Kota Kendari tergolong dalam tipe pemilih tradisional dan pemilih skeptis. 4
Pemilih tradisional, pemilih yang berdasarkan kedekatan sosial budaya, asal usul primordial, dan agama serta ukuran memilih parpol atau capres. Dan Pemilih Skeptis adalah pemilih yang tidak memiliki orientasi ideologi atau sistem nilai dan program kerja yang ditawarkan. Pemenang pilkada dianggap tidak mampu mengubah keadaan. Dan biasanya pemilih skeptis mayoritas golput. 4
Kembali ke uang dan uang selalu saja menjadi faktor pendorong dalam bergerak dalam dunia politik praktis. Padahal jika belajar dari sejarah perkembangan umat manusia dari masa pertanian tradisional tidak pernah mengandalkan uang untuk survive. Pada masa itu, manusia hanya mengandalkan barter untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan biasanya mempunyai waktu luang banyak karena hanya bekerja 4-5 jam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Uang yang awalnya dianggap untuk mempermudah pertukaran berujung menjadikan manusia sebagai budak politik sekarang ini.
Sejak dikenalnya uang sebagai alat tukar menukar, ketidakadilan memang semakin menjadi-jadi. Manusia yang hidup di perkotaan biasanya membutuhkan waktu lebih dari 4-5 jam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Itupun masih banyak pekerja yang bekerja lebih dari 7 jam sehari dan hanya menerima upah dibawah upah minimum sesui ketentuan Pemerintah Kota Kendari dan Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara.
Apakah faktor diatas mengakibatkan manusia menjadi budak politik. Bisa jadi ya, menjadi buruh atau menjadi pekerja lainnya hanya mendapatkan Rp. 50.000/hari, daripada bekerja dengan susah payah, lebih baik ikut menjadi tim sukses atau ikut meramaikan kampanye calon walikota yang hanya 4-5 jam dan bisa mendapatkan uang Rp. 50.000 per sekali pertemuan. Kalau asumsi diatas yang terjadi, maka kesejahteraan rakyat kota kendari yang banyak bermasalah dan perlu pembenahan kedepan.
Selain itu, kreativitas Calon Walikota Kendari meraup dukungan dengan investasi sosial sangat minim. Investasi sosial sangat penting dalam kehidupan berpolitik. Namun, belajar dari pengalaman sebelumnya banyak sekali calon pemimpin menebar janji janji palsu, walau itu didukung dengan sukarela oleh rakyat. Tingkat kejenuhan rakyat terhadap janji palsu menimbulkan sikap pragmatisme dan apatisme dalam berpolitik. Dan Investasi sosial hancur dengan sendirinya dan bisa dianggap pemberi harapan palsu PHP belaka.
Faktor – faktor lain yang mendorong terjadinya politik uang adalah para investor yang berada dibelakang para calon. Investor tidak mempunyai pengalaman dalam menciptakan investasi sosial, maka mau tidak mau hanya mengandalkan uang semata. Harapan sebaliknya tidak lain adalah proyek-proyek daerah kedepan. Nah, kalau itu terjadi maka akan melahirkan pemimpin yang mengabdi pada pemilik pemodal, walau kadang mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Seharusnya para calon walikota lebih mengedepankan visi, misi dan program kerja, bukan politik uang. Tapi begitulah kalau kemampuan cuma seupil dan orientasi kekuasaaan semata. Dan Jangan heran jika pembangunan kembali ditentukan segelintir kecil pemilik modal dan suara rakyat kembali menjadi korban. Ketika pembangunan tak lagi berdasarkan partisipasi rakyat maka kehancuran didepan mata.
Pilkada yang diwarnai dengan politik uang, tidak lagi menciptakan pemerintahan rakyat, dan akan melahirkan “pemerintahan maling” atau kleptocracy.2 Istilah Kleptocracy didengungkan Harry B Priyono di Indonesia.
Untuk itu agar tercipta Pemimpin Kota Kendari yang berkualitas dan berpihak pada kepentingan rakyat banyak dan bebas korupsi kedepan, Maka perlu ada gerakan moral untuk menyerukan “anti politik uang”. Semua pihak harus terlibat memberi penyadaran mulai dari tim sukses calon walikota, KPU, Panwaslu, Aktivis Gerakan Sosial, dan Akademisi serta Mahasiswa. Kalau politik uang tidak mampu dicegah dari sekarang, maka pilkada Kendari rawan melahirkan pemerintahan maling atau kleptocracy kedepan.
Sumber :
1. 98 Persen Pemilih Mau Terima Uang, koran rakyat sultra, 28 september 2016
2. Dari 'Money Politics' ke 'Chremocracy', Harry B Priyono, diakses web unisosdem.com, 30 september 2016
3. Das Kapital & manifestasinya di Indonesia, Arif Rahman dan Adi Parabowo, terbitan 2013
4. Perilaku Pemilih Dalam Pemilu, Umar S Bakry, diakses 30 september 2016
No comments:
Post a Comment