foto dari google.com |
2
November pagi, saya kebetulan lagi bersemedi. Kampanye aksi 4 november mulai
marak di media sosial twitter dan facebook. Pergerakan kampanye kuperhatikan baik-baik karena punya
banyak waktu untuk online.
Revolusi.
Revolusi. kata yang selalu terdengar sewaktu mahasiswa kembali hadir di media
sosial. Saya pun berpikiran revolusi bisa saja terjadi mengingat massa aksi
yang lumayan besar dan akan tumpah ke jalan-jalan Ibukota Jakarta. Apalagi revolusi Suriah, Mesir, Tunisia dan negara-negara islam
memang lagi tren.
Tokoh
politik nasional seolah-olah memperlihatkan kondisi negara dalam keadaan
genting. Jokowi menemui lawan politiknya Prabowo. Prabowo menemui Pengurus
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) teman oposisinya. dan Mantan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY)
menemui Menteri Wiranto dan Wakil Presiden JK.
Pengurus
Gerindra dan Prabowo keesokan harinya, mengingatkan aparat keamanan agar tidak
melakukan tindakan represif terhadap peserta aksi 4 november, satu darah tumpah
maka Jokowi – JK akan digulingkan. Diikuti dengan SBY yang menggelar konfrensi
pers dan meminta agar Ahok diproses hukum demi menyelamatkan negara ini dari
kehancuran.
Sebaliknya,
Megawati, sebagai Ketua PDIP memprotes sikap organisasi islam yang menolak ahok
dianggap tidak nasionalis. Lain halnya dari Surya Paloh, Petinggi Partai
Nasdem, Beredar kabar dari kalangan wartawan di Jakarta bahwa meminta Ahok
untuk mundur dari pencalonan Gubernur Jakarta.
Namun,
apapun komentar dari tokoh politik pendukung Ahok. Dukungan terhadap aksi 4
november terus bertambah dari tokoh
seperti Rahmawati Soekarno Putri (adik Megawati sendiri), Amin Rais,
Jenderal Tedjo, Ratna Surampaet, dan beberapa tokoh Islam.
Kegentingan
Negara semakin hangat dengan beredarnya informasi mobilisasi aparat keamanan
terutama brimob mencapai puluhan ribu dari berbagai daerah termasuk ratusan
orang dari Kota Kendari. Kekwatiran aparat akan dibentrokkan dengan para massa
aksi demonstrasi sehingga menciptakan martir.
Malam
jumat kemarat memberikan ras was-was soalnya kabar revolusi semakin dekat
terdengar. Kamar berukuran 3x3, tempatku bersemedi seolah panas dan menunjukkan tanda-tanda
reformasi 98 akan terulang kembali. Sayang, saya tidak bisa ikutan karena lagi
berada jauh dari pusat – pusat kota. Tapi kalaupun saya berada di sebuah kota,
belum tentu terlibat dalam aksi karena berbeda paham.
Pertarungan
ideologi terjadi di twitter, Kelompok liberal dan progresif menuding berbagai
macam kelompok islam seperti aksi ditunggangi, aksi kelompok islam ekstrem, kelompok
pasukan nasi bungkus, dan berbagai tudingan lainnya. Namun, hal itu tidak
menyurutkan semangat peserta aksi untuk terus berdatangan di Mesjid Istiqlal
Jakarta malam 4 november.
Seorang
kawan lama yang juga ikutan dalam aksi 4 november, yang saya kontak melalui
telepon seluler memberitahu bahwa memang sebagian massa aksi didanai oleh
oknum-oknum tertentu, namun sebagian besar orang daerah yang ke Jakarta dengan
menggunakan biaya sendiri. Bahkan dirinya pun menggunakan biaya sendiri dari
hasil jualan sayur di pasar selama ini. Bukan hanya dirinya, tapi ratusan orang
kelompoknya menggunakan biaya sendiri berangkat ke Jakarta.
“Aksi
4 november perlu digaris bawahi bahwa murni karena kesadaran bukan karena
mobilisasi nasi bungkus, sebagaimana yang dicurigai berbagai pihak selama ini.
Kalaupun ada mobilisasi itu datang dari kelompok yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap”. Pesan terakhir temanku lewat telepon seluler.
Setelah
selesai shalat jumat keesokan harinya (4/11), saya pun kembali membuka berita
online. Massa aksi sangat besar sekali dilihat dari foto media dan berita tv.
Saya pun terperangah dan hanya bisa melotot metode pengorganisiran massa yang
dilakukan kelompok islam tersebut.
Tuntutan
penegakan konstitusi dan memejarakan ahok terus bergema di tengah massa aksi.
Para peserta aksi pun bermaksud untuk menemui langsung presiden Jokowi. Tapi
sayang, Jokowi harus kerja dan meninjau proyek di bandara Soekarno Hatta.
Jokowi sudah menyiapkan orang-orang untuk menemui peserta aksi. Wiranto, JK,
dan Menteri Agama sudah disiapkan sehari sebelumnya.
Namun,
lagi-lagi peserta aksi yang mencapai jutaan orang kecewa, karena hanya ditemui
Wakil Presiden beserta menteri pembantunya. Massa aksi ngotot ingin menemui
langsung Presiden Jokowi. Kondisi ini membuat gaduh peserta aksi dan harus
bentrok dengan aparat keamanan. Mobil aparat dibakar dan puluhan peserta aksi
menjadi korban penembakan peluru karet dan gas air mata. Dari pihak kepolisian
pun ada yang menjadi korban bentrokan.
Kemarahan
massa pun semakin menjadi-jadi. Beberapa peserta aksi yang pulang dari Istana
menyerang rumah pribadi Ahok di kawasan elit pluit, Jakarta Utara. Hal ini
diperparah dengan massa korban penggusuran dari Kampung Pasar Ikan yang
berusaha membantu peserta aksi untuk menyerang rumah Ahok.
Massa
dari pasar ikan dihadang aparat keamanan sehingga menimbulkan bentrokan. 3
motor aparat dan wartawan dibakar massa. Massa pun semakin beringas dengan
menyerang aparat membabi buta. Massa melakukan sweeping terhadap warga
keturunan cina dan melakukan penjarahan di minimarket. Aksi massa pasar ikan
berlangsung selama 7 jam sampai pukul 02.00 dini hari (5/11).
Protes
dari kelompok islam dan korban penggusuran bukan hanya kali ini terjadi. FPI protes
sudah berlangsung sejak Ahok akan dilantik menjadi PLT Gubernur DKI Jakarta
pada tanggal 3 oktober 2014 dan berlangsung hingga hari ini. Aksi- aksi
organisasi islam terus bergulir dari
tahun ke tahun dari tuntutan pemimpin non islam, menolak kebijakan Ahok yang
melarang pemotongan hewan di mesjid saat
Idul Adha dan terakhir kasus penistaan agama yang diucapkan Ahok di Pulau
Seribu.
Ahok
dianggap Korupsi, beberapa kelompok anti korupsi memprotes KPK karena tidak
memproses Ahok yang dianggap terlibat dalam korupsi dan merugikan Negara. Kasus
yang menimpa Ahok di tiga blok apartemen, trans Jakarta, dan pengadaan tanah
Sumber Waras serta penyalahgunaan dana CSR untuk tim kampanyenya.
Kelompok
– Kelompok anti penggusuran pun demikian, sering protes ketidakadilan kebijakan
terkait pemukiman warga di Jakarta. Penggusuran paksa yang melanda warga di
Kalijodo, Waduk Pluit, Pasar Ikan, Kampung Melayu, Bukit Duri dan Reklamasi
Jakarta Utara serta daerah lainnya di Jakarta. Tidak sedikit korban yang
berjatuhan akibat warga dibentrokkan dengan aparat keamanan. Begitupun korban
yang kehilangan tempat tinggal dan usaha.
Menurut
catatan LBH Jakarta, ada 113 kasus penggusuran paksa terjadi selama tahun 2015,
dengan 8.145 KK dan 6.283 unit usaha menjadi korban. Untuk tahun 2016, LBH
menemukan 325 lokasi terancam penggusuran berdasarkan RTRW Jakarta. Korban
penggusuran bisa mencapai 3 kali lipat dari kasus 2015. (baca ; Data
penggusuran LBH Jakarta)
Tokoh
Filasafat, Romo Magnis Suseno pun geram dengan aksi penggusuran yang dilakukan
Ahok. Dia menganggap penggusuran merupakan kejahatan di kota orang beradab.
“Orang-orang yang hampir tidak memiliki apapun dari sedikit yang mereka punyai,
justru diusir dan digusur” kata Romo Magnis. (baca Frans Magnis Suseno :
Penggusuran Adalah Kejahatan di Kota Beradab)
Ahok
selalu berdalih bahwa penggusuran paksa yang dilakukan untuk memberikan
kenyamanan dengan menyiapkan rumah susun sederhana terhadap korban penggusuran.
Namun, beberapa riset menunjukkan bahwa sebanyak 6.516 penghuni atau 46 persen
dari total 13.896 penghuni rusun tidak mampu bayar uang sewa. Mereka menunggak
pembayaran sewa lebih dari tiga bulan. (baca ; 6.516 Penghuni Rusun di
Jakarta Tak Bisa Bayar Sewa).
Protes
terhadap ahok datang juga dari Aktivis 98, yang juga teman kuliah Ahok di
Trisakti, John Muhammad. dia mengirim surat terbuka dengan judul “Tanda Ahok
Ingkari Kemerdekaan Kita disingkat TAIKK”. Ia protes ahok karena mengeluarkan
kebijakan melarang demonstrasi di beberapa titik di Jakarta. Padahal
demonstrasi adalah kemerdekaan dalam demokrasi pasca reformasi.
Protes
terhadap Ahok tidak luput dari Tokoh Tionghoa, Jaya Suprana. dia memprotes
prilaku ahok yang kadang berkata kasar dan emosional di publik. dia
mengingatkan bahwa “kebencian masih hadir sebagai api dalam sekam yang setiap
saat rawan membara, bahkan meledak hingga menjadi huru – hara apabila ada alasan”.
Jaya Suprana ingatkan Ahok agar menjaga prilaku jangan sampai perbuatan satu
orang menimbulkan kebencian terhadap orang tionghoa seluruh Indonesia.
Terlalu
banyak yang protes ahok ya.. hehe. Terakhir, protes datang dari akar rumput
PDIP Jakarta yang menolak pencalonan Ahok melalui partainya. Bahkan sebagian
petinggi PDIP Jakarta sempat menyanyikan lagu menolak dan siap lawan ahok.
Namun, suara akar rumput tidak ada artinya karena teryata Megawati memutuskan
Ahok – Djarot calon yang diusung PDIP dalam pilkada DKI Jakarta.
Oposisi
memanfaatkan momentum dari momentum. Oposisi siap mencengkram dikala lawannya lengah.
Kebijakan yang tidak pro rakyat tidak luput dari perhatian oposisi. Kebijakan yang
pro investasi Cina dan Amerika yang kadang mengorbankan “rakyat banyak” selalu
menjadi perhatian juga.
Ahok
diproses hukum, Djarot jadi pengganti Ahok. PDIP tetap menang. Sisa mencari
Wakil Gubernur dari partai Nasdem atau Golkar.
Jika
Ahok terbebas dari jeratan hukum, maka situasi akan berkata lain. protes –
protes kecil dan besar bisa saja bersatu dan terakumulasi menjadi kekuatan baru.
No comments:
Post a Comment