Ilustrasi. Aji Kendari peringati hari kebebasan pers international. Sumber Kabarbuton.com |
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia meminta semua pihak tidak
menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan. Aktivitas jurnalistik di tengah
masyarakat adalah tindakan yang dilindungi undang-undang, sekaligus sebagai
mata dan telinga publik dalam mengabarkan fakta. Hal itu dikatakan Ketua Umum
AJI Indonesia, Suwarjono, Minggu (5/11/2016).
"Semua pihak harus memahami kerja jurnalis sebagai mata dan telinga
publik. Jurnalis bekerja dilindungi undang-undang. Semua hal menyangkut
sengketa pemberitaan, ada mekanisme sebagaimana diatur UU Pers. Bisa menempuh
hak jawab, hak koreksi hingga mengadukan ke Dewan Pers bila pihak yang
bersengketa belum menemukan titik temu. Oleh karena itu, stop menjadikan
jurnalis sebagai sasaran kemarahan," kata Suwarjono.
AJI mencatat, ada berbagai peristiwa kekerasan verbal maupun nonverbal
terjadi di berbagai daerah dalam rangakaian demo 4 November 2016, Jumat
(4/11/2016).
Di Jakarta, setidaknya ada tiga jurnalis televisi menjadi korban kekerasan.
Rombongan kru dari sebuah stasiun televisi juga diusir dari masjid Istiqlal
karena di anggap membela kelompok tertentu. Ketika terjadi bentrokan antara
aparat keamanan dan pengunjuk rasa, lemparan baru juga mengarah pada kelompok
jurnalis yang meliput peristiwa itu.
Sementara di Medan, Sumatera Utara, rombongan jurnalis dari sebuah stasiun
tv juga mengalami hal yang sama, diusir dari lokasi digelarnya unjuk rasa 4
November.
Suwarjono melihat, provokasi menjadikan jurnalis sebagai sasaran kemarahan mulai terjadi beberasa hari sebelum unjuk rasa 4 November itu digelar. Beredar "meme" yang menyebut media tertentu yang berseberangan dengan aspirasi pengunjuk rasa.
"Artinya, sejak awal ada suasana kebencian pada media yang dibangun.
Ini gejala buruk yang merusak kebebasan pers di Indonesia. Dan puncaknya
terjadi saat hari H," kata Suwarjono.
Sementara Ketua Bidang Advokasi Iman D. Nugroho menegaskan adanya ketentuan
pidana bagi pihak-pihak yang menghalang-halangi kerja jurnalistik, sebagai mana
diatur dalam Pasal 18 UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
"Siapa pun yang menghalang-halangi, diancam hukuman dua tahun penjara
atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah. Ini tidak main-main." kata
Iman. Karena itu, Iman meminta polisi untuk mengusut tuntas kasus kekerasan
pada jurnalis yang terjadi pada demo 4 November lalu.
Iman meminta, polisi juga mengusut provokator yang membakar kemarahan warga
melalui penyebaran "meme" yang menyudutkan media massa. Meme itu
sengaja digulirkan pihak-pihak tertentu karena tidak setuju dengan pemberitaan
media tertentu pula.
"Tapi justru itulah yang menjadikan jurnalis sebagai salah satu sasaran
kemarahan dalam demonstrasi. Bila hal ini dibiarkan, maka di kemudian hari akan
muncul rangkaian peristiwa serupa, yang pada ujungnya menjadikan jurnalis
sebagai sasaran kemarahan," jelas Iman.
Meski demikian, kata Iman, media massa hendaknya menjadikan peristiwa ini
sebagai pelajaran untuk perlunya kembali melaksanakan Kode Etik Jurnalistik
dalam aktivitas jurnalistiknya.
Media massa harus independen dalam memberitakan fakta, dan selalu menguji
informasi, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan
asas praduga tak bersalah.
Contact person:
Suwarjono 0818758624
Iman D Nugroho 08165443718
No comments:
Post a Comment