Sebelum masuknya agama Islam di Indonesia, penduduk menganut paham animisme dan dinamisme. Tahap kedua dikenal yang namanya agama hindu budha. Tahap ketiga disusul masuknya kebudayaan islam.
Sedikit gambaran terkait dengan proses penyebaran Islam di nusantara, salah satu buku yang membahas itu "Sejarah Islam Nusantara" karya Uka Tjandrasasmita. Ia menjelaskan proses penyebaran Islam di Nusantara melalui berbagai macam cara seperti perdagangan, perkawinan, birokrasi, pendidikan (pesantren), sufisme, seni dll.
Pelopor islam di berbagai wilayah di Indonesia seperti di Jawa terkenal dengan 9 Wali yakni Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Gunung Jati, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, Sunan Kudus dan Syekh Lemah Abang atau Syekh Siti Jenar.
Di Sulawesi Selatan terkenal dengan Dato yakni Dato Patimang yang menyebarkan islam di daerah Luwu dan sekitarnya, Dato Ri Bandang menyebarkan islam di Kerajaan kembar Gowa Tallo, Dato di Tiro yang menyebarkan Islam di daerah Bulukumba dan sektiarnya.
Bagaimana dengan proses penyebaran islam di Sulawesi Tenggara ?. Ahli sudah banyak membahas tentang proses masuk islam di Sulawesi Tenggara terutama di Kesultanan Buton seperti, La Niampe sejarawan Universitas Haluoleo.
Riset Buton Islam dan Islam Buton 1873-1938 Karya Haliadi, Teuku Ibrahim Alfian, dan Kuntowijoyo, September 2000. Dalam pembahasannya menjelaskan jenis ajaran Islam yang Berkembang di Kesultanan Buton.
Anthony Reid dalam beberapa tulisannya cukup banyak menjelaskan peran dan kejayaan Kesultanan Buton. Susanto Zuhdi, Sejarawan Universitas Indonesia dalam bukunya "Sejarah Buton yang terabaikan Labu Rope Labu Wana".
Muhammad Al Mujabuddawat, Peneliti Balai Arkeologi & Sejarah, Kementerian Pendidikan RI, meriset "Kejayaan Kesultanan Buton Abad Ke 17 & 18, Tinjauan Ekologi". Mujabuddawat menyatakan Kesultanan Buton merupakan kesultanan bercorak maritim yang terdiri dari atas banyak pulau, ragam suku dan bahasa. Selain itu, Ia mendeskripsikan peninggalan budaya islam di Kesultanan Buton
La Niampe dalam artikel 'Pengaruh Islam Dalam Kebudayaan Lokal di Buton" Tahun 2002 menjelaskan, Proses masuknya Islam Di Buton dimulai pada tahun 984 H atau tahun 1542 Masehi. Pada masa itu, Raja yang memerintah di Kerajaan Buton bernama La Kilaponto dengan gelar Sultan Murhum.
Pola penyebaran Islam di Sulawesi Tenggara berasal dari Kesultanan Buton yang menyebar ke Pulau Pandai Besi (Wakatobi), Pulau Muna dan Daratan Konawe dan Kendari.
Untuk melihat peradaban islam di Sulawesi Tenggara, salah satunya yang dapat diamati adalah peninggalan para penyebar Islam. Menurut Koentjaraningrat 1974, karya arsitektur sebagai salah satu wujud paling kongret dari kebudayaan, sebagai bagian dari kebudayaan fisik yang sifatnya nyata dari benda-benda mulai dari kancing baju, peniti, sampai ke komputer dan alat eletronik yang serba canggih. Mesjid dalam konteks ini adalah karya budaya masyarakat yang menganut paham islam.
Diantara sekian banyak tulisan sejarah islam Sulawesi Tenggara, belum ada artikel yang secara spesifik membahas "masjid tua" secara menyeluruh di Sulawesi Tenggara, Karena itu, penulis mencoba mencari data di media online.
Kata masjid sendiri berakar dari bahasa Aram. Kata masgid (m-s-g-d) ditemukan dalam sebuah inskripsi dari abad ke 5 Sebelum Masehi. Kata masgid ini berarti "tiang suci" atau "tempat sembahan" (Sumber Wikipedia)
Masjid artinya tempat sujud, dan sebutan lain bagi masjid di Indonesia adalah musholla, langgar atau surau. Istilah tersebut diperuntukkan bagi masjid yang tidak digunakan untuk Sholat Jum'at, dan umumnya berukuran kecil. Selain digunakan sebagai tempat ibadah, masjid juga merupakan pusat kehidupan komunitas muslim. Kegiatan-kegiatan perayaan hari besar, diskusi, kajian agama, ceramah dan belajar Al Qur'an sering dilaksanakan di Masjid. Bahkan dalam sejarah Islam, masjid turut memegang peranan dalam aktivitas sosial.
Berikut Masjid Tua di Sulawesi Tenggara :
MASJID TUA WAWOANGI BUTON DIBANGUN TAHUN 1527
Hasil Wawancara Defrianto dengan Kepala Desa Wawoangi, La Ode Abdul Hakim, menyatakan bahwa, berdirinya mesjid saat syech Abdul Wahid, penyebar Islam di Tanah Buton mendatangi kampung itu yang diperkirakan pada tahun 1527.
Berdasarkan catatan Defrianto Neke, Penamaan Mesjid Tua Wawoangi berdasarkan nama lokasi kampung. Wawoangi adalah nama kampung lokasi berdirinya mesjid tersebut. Wawoangi sendiri bahasa lokal "cia-cia" yang artinya diatas angin, karena itu biasa warga menyebutnya Mesjid diatas angin. Mesjid Wawoangi berada diatas gunung jauh dari pemukiman warga di Desa Wawoangi, Kecamatan Sampolawa, Kabupaten Buton Selatan
Arsitektur mesjid sangat sederhana dengan atap kayu jati yang tipis-tipis, dengan lantai tembok, sedangkan dinding terbuat dari belahan bambu dengan posisi berdiri dan rapat. Pengikat dinding bambu dari ijuk pepohonan. (Sumber Kompas.com, Keunikan Mesjid Wawoangi, Mesjid Tertua di Pulau Buton, 2017)
MASJID TUA AGUNG WALIO BUTON DIBANGUN TAHUN 1542
Mesjid Tua Agung Walio berada di sekitar Keraton Buton di Kota Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara.
Berdasarkan papan informasi dalam masjid Walio, Mesjid Agung Walio pertama kali dibangun oleh Sultan Pertama Buton, Kaimuddin Khalifatul Khamis antara tahun 1542. Namun, pernah mengalami kehancuran akibat perang saudara dan dibangun kembali oleh Sultan Buton, Sakiuddin Darul Alam pada tahun 1712.
Masjid ini dibangun berbentuk empat persegi panjang berukuran 20,6 x 19,40 m dengan atap berjumlah dua lapis berbentuk limas. Masjid terdiri dari tiga lantai, mengikuti struktur bangunan rumah panggung yang menjadi ciri khas rumah adat masyarakat Sulawesi Tenggara. Bahan yang digunakan untuk membangun masjid itu sama dengan bahan untuk benteng keraton.
MASJID TUA AGUNG BENTE WAKATOBI DIBANGUN TAHUN 1542
Menurut Amin Suciady, Kontributor Sport Tourism, Mesjid Tua itu berdiri di tengah-tengah benteng tua seluas 7 hektar diatas bukit Desa Ollo, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi.
Catatan Amin Suciady menyebutkan pembangunan mesjid tua Bente dipelopori oleh Haji H Pada, Seorang pesiar yang terdampar di Kaledupa. Menurut lokal masyarakat, Haji H Pada kemungkinan Haji yang berasal dari Padang.
Arsitektur awal mesjid beratap alang-alang dan mempunyai satu tiang penyangga dengan alas batu kapur. Namun sudah pernah mengalami pemugaran pondasi pada tahun 1980an dan pemugaran yang kedua diadakan tahun 1995. (Masjid Agung Bente, Wisata Sejarah Wakatobi, Amin Suciady, 2016)
Masjid ini terletak di komplek benteng yang berlokasi di puncak sebuah bukit. Menurut cerita yang beredar di masyarakat desa Ollo tempat dimana masjid Bente ini berada, konon katanya masjid ini dibangun oleh orang yang sama dengan yang membangun masjid agung kerajaan Buton (Mesjid Agung Bente Kaledupa, Sejarah Yang Terlupakan, Sutiknyo, Lost Packer.com, 2013).
MASJID TUA LIYA WAKATOBI DIBANGUN TAHUN 1500an
Benteng dan Mesjid Liya. Terletak di Liya, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi
Masjid Tua Mubaraq Desa Liya merupakan campur tangan Kesultanan Buton setelah Buton (Wolio) menganut Islam ± Tahun 1500 abad ke 15. SyekhAbdul Wahid mengislamkan Sultan Buton pertama Murhum dan mengutus Ulama ke Pulau Wangi-Wangi dan pertama tiba di Pulau Oroho, sebagai tempat pemukiman pertama masyarkat Liya pada tahun 1401.
Ulama mengajarkan Islam di Pulau Oroho. Masyarakat di Pulau Oroho pindah di daerah Liya Togo karena kekurangan air. Dan setelah mereka tiba di Liya Togo maka didirikanlah masjid dan benteng ternama ini.
Bahan-bahan bangunan untuk perekat pondasinya dibuat dari kapur yang ditumbuk, dicampur dengan benalu di sebuah batu yang berbentuk yang dalam bahasa Wangi-Wangi dinamakan "Tumbu'a"(Lesung). Alat ini masih ada di depan masjid.
Masjid Mubaraq memiliki ukuran Panjang Pondasi seluruhnya 15.80 m, Lebar 15.70 m, Tinggi 2.20 m, Panjang Badan Masjid 13.50 m, Lebar Badan Masjid 13.35 m, Panjang Mimbar Masjid 1.85 m danLebar Mimbar Masjid 4.00 m.
MASJID TUA WUNA DIBANGUN ANTARA 1600 - 1625 TAHUN YANG LALU
Lokasi masjid berada sekitar benteng di Kampung Kotana Wuna, Kecamatan Tongkuno, Kabupaten Raha.
Berdasarkan catatan Ilham Surahmin, Mesjid tua dibangun setelah Lakilaponto ditunjuk menjadi Raja Buton, pembangunan Kota Wuna dilanjutkan oleh penggantinya, La Posasu, adik Lakilaponto. Versi lain, dibangun pada pemerintahan raja muna x, La Titakono pada tahun (1600-1625) dengan konsep agak sederhana. Pembangunan mesjid berdasarkan perintah Syech Abdul Wahid, penyebar Islam di tanah Buton.
Proses pembangunan ulang mesjid yang agak besar dilakukan pada Raja La Ode Huseini dengan gelar Omputo Sangia (1716-1775).
Dua kali pemerintahan Kabupaten Muna melakukan renovasi terhadap mesjid tersebut, pada masa Maola Daud tahun 1980an dan Ridwan Bae tahun 2000-2005. (ZonaSultra.com, Pesona Mesjid Muna, Wisata Religi Sejuta Sejarah, Ilham Surahmin, 2016)
MASJID TUA KUBA BUTON DIBANGUN TAHUN 1826
Mesjid Kuba berada di Kelurahan Baadia, Kecamatan Murhum, Kota Baubau.
Mesjid ini dibangun oleh Sultan Buton ke 29, Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin pada tahun 1826.
Mesjid dikelilingi beberapa makam tokoh kerajaan Buton, Salah satunya adalah Makan Sultan Buton ke 29. (Kompas.com)
MASJID TUA BABUSSALAM KONAWE DIBANGUN TAHUN 1875
Lokasi mesjid berada di Desa Puuwanggudu, Kecamatan Asera, Kabupaten Konawe.
Berdasarkan catatan Murtaidin, Mesjid dibangun oleh H Lasamanae pada tahun 1875. Ilmu Islam H. Lasamanae didapatkan dari gurunya di tanah suci Makkah yang bernama Syech Muhammad Dalmaki. Pasca pulang dari tanah suci H. Lasamanae ditemani Syech Abdul Jahaepa, anak Syech Muhammad Dalmaki untuk menyebarkan islam di Konawe, Kota Kendari, Wawonii dan Tangauna.
Arsitektur mesjid Babusallam Konawe awalnya hanya berukuran 10x10 meter dengan dinding papan. Namun sudah mengalami renovasi berkali-kali sehingga sudah berdinding beton sekarang ini. (Zona Sultra, Mengenal Sejarah Pendiri Masjid Tertua di Dataran Konawe, Murtaidin, 2016)
MASJID TUA RAHA DIBANGUN TAHUN 1920
Lokasi mesjid berada di Jalan Imam Bonjol, Kelurahan Raha 1, Kecamatan Katobu, Kabupaten Muna.
Menurut Informasi Akram, Ketua pengurus mesjid Raya Raha yang dikutip dari zonasultra.com, Mesjid dibangun secara swadaya oleh masyarakat pada tahun 1920.
Arsitektur awal bangunan mesjid dengan dinding terbuat dari anyaman bambu, dan tiang penyangga dari kayu jati asli. ukurang 20x20 meter. Namun seiring dengan perkembangan telah mengalami renovasi berkali-kali.(Zonasultra.com, Mesjid Raya Raha, Mesjid Tertua di Kota Raha, 2016)
Ciri Kebudayaan Islam Sulawesi Tenggara
Dari pengamatan terhadap hasil penelusuran di media online sebanyak 8 mesjid tua yang sudah teridentifikasi di Sulawesi Tenggara.
Pertama, pengelompokan berdasarkan umur masjid. Dari 8 mesjid itu dapat dikelompokkan menjadi 4 periode yakni Periode pertama, antara tahun 1500 - 1600 termasuk masjid tua wawoangi Buton, Masjid tua Agung Walio Buton, Masjid tua Agung Bente Wakatobi, Masjid tua Liya Wakatobi.
Periode kedua, Periode tahun 1600 - 1700 didalamnya termasuk Masjid tua Wuna di Kabupaten Muna. Peride Ketiga, tahun 1800 - 1900 didalamnya termasuk Masjid Tua Kuba Buton dan Masjid Tua Babussalam Konawe. Periode Keempat, tahun 1900 - 1950 didalamnya termasuk Masjid Tua Kota Raha
Kedua, Masjid berada dalam lingkungan Benteng. Masjid yang berada di sekitar benteng yakni Masjid tua Walio Buton, Masjid Agung Bente Wakatobi, Masjid Tua Liya Wakatobi, Masjid Tua Wuna.
Ketiga, Sekitar Masjid terdapat makam tokoh berpengaruh seperti halnya di Masjid Kuba terdapat makam Sultan Muhammad Idrus Kaimuddin, sekitar masjid Wawoangi terdapat makam tua yang merupakan makam ayah Sultan Buton VII, Sultan La Saparagau.
Keempat, Arsitektur masjid masih memadukan dengan alam sekitar seperti halnya di Masjid Wawoangi Buton. Bahan bangunan dari Bambu dan kayu jati. Bahan yang mudah didapatkan di Buton.
Kelima, Lokasi kuburan dan masjid berada di daerah ketinggian. Mengapa di daerah ketinggian ?, karena makam dan masjid dalam dunia islam mendapat pengakuan keramat dan suci. Dalam budaya jawa terdapat pemahaman bahwa makam di dataran tinggi menandakan status sosial seseorang yang di makamkan. semakin tinggi makam maka semakin tinggi pula strata sosialnya dan tingkat kesuciannya, begitupun dengan masjid. Kebudayaan lokal itu kemungkinan yang masih melekat dalam kebudayaan Islam pada masa itu.
Namun, Apa yang saya ungkap sebagai ciri kebudayaan islam masih perlu penelitian mendalam dari para ahli sejarah dan kebudayaan baik tingkat nasional maupun lokal Sulawesi Sulawesi Tenggara.
Sumber data - berbagai sumber di media online
No comments:
Post a Comment