Prof. Dr. H.
Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
2. Konflik antar
Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemilik Lahan karena Merebut Lahar
Perkebunan dan Peternakan
Adanya pemicu
berganda seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa
diwujudkannya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya terputus
hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan
sosialnya serta mengubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga
kerap memicu adanya sikap menuntut ini dan itu terhadap perusahaan.
Lalu bagaimana
dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat
ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan?
Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility
(CSR) baru berada pada milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan
menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan
terlebih untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip people
and planet dalam aktivitas pencarian profit perusahaan.
Diakui atau
tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan
merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri
masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap
hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan
menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi
tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.
Secara garis
besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan
pemanfaatan SDA secara optimal oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan
nasional. Juga belum didukungnya optimasi national resources sustainability
antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam
management yang integral.
Lima tahun lalu
penduduk asli pada wilayah-wilayah tambang di Sulawesi Tenggara (Moronene di
Bombana, Tolaki di Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara) merupakan penduduk
mayoritas dari seluruh warga di wilayah tersebut. Akan tetapi sejalan berkembangnya
industri tambang, yang banyak diperankan oleh etnis pendatang dari luar Sultra,
maka ke depan kondisi sosial budaya akan mengalami pergeseran, dan bukan tidak mustahil
penduduk asli akan menjadi termaginalkan dan kemudian menjadi minoritas di negeri
sendiri.
Kasus protes
Akbar Dimba dari Aliansi Masyarakat Wawonii Peduli Lingkungan (AMWPL) mendesak
pemerintah daerah mencabut izin usaha pertambangan nikel dan emas di Kecamatan
Wawonii Tengah, dan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe, sebab kawasan tambang
tersebut merupakan kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan di wilayah itu.
3. Konflik antar
Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemukim Sekitar Wilayah Tambang,
karena Mencemari Lingkungan
Masalah
pertambangan yang menimbulkan kegentingan dipicu kegiatan tambang yang tak
memberi kesejahteraan kepada masyarakat lingkar tambang. ”Berbagai konflik dan tindakan
kriminal terkait kegiatan pertambangan disebabkan oleh berkembangnya paradigma baru
di masyarakat bahwa tambang adalah milik daerah dan masyarakatnya, yang dengan mudah
ditunggangi kepentingan: politik, ekonomi, pemekaran wilayah, pilkada, dan kesejahteraan
ekonomi dan sosial yang kemudian menjelma menjadi tuntutan antipertambangan.
Direktur Walhi
Sulawesi Tenggara Hartono di Kendari mengatakan, kehadiran pertambangan di
Sultra lebih banyak merugikan masyarakat dari pada menguntungkan. Pemerintah
diminta melakukan moratorium pertambangan. Banyak aktivitas pertambangan, menimbulkan
kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat, serta menghilangkan mata pencaharian
warga. Kasus terbaru adalah meluapnya dam pengendali air perusahaan tambang nikel
di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, yang membanjiri tiga desa di Kabaena, 15 Februari
2012. Pada bulan Februari 2011, ratusan nelayan di Kecamatan Pomalaa, sempat menyegel
dua kapal tongkang milik perusahaan karena perusahaan belum membayar ganti rugi
lahan milik masyarakat, dan kerugian nelayan akibat penambangan yang mencemari perairan
wilayah penangkapan dan wilayah budi daya ikan.
Petani tambak di
Konawe Utara mengadu ke DPRD setempat karena PT. Bumi Konawe Abadi dalam
melakukan eksploitasi tanah merah (tambang Nikel) mencemari areal tambang warga,
sehingga salah seorang petani menuntut ganti rugi sebanyak Rp.100.000/M, karena
areal tambaknya panen 3 kali setahun, dan setiap panen menghasilkan Rp.
270.000.000, namun pihak PT. Bumi Konawe Abadi belum merealisasikan tuntutan
warga (Kendari Pos, 5 September 2013).
Praktek
pertambangan menyebabkan pemutusan rantai ekonomi, kriminalisasi, kekerasan
terhadap masyarakat. Selain masalah dibidang kehutanan dan Izin Usaha Pertambangan
(IUP), pertambangan juga menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah pesisir.
Karena dalam melakukan operasi pertambangan, pemilik perusahaan banyak mengincar
daerah-daerah pesisir sebagai zona aktivitas terpadat. Contoh: pencemaran
limbah tambang galian di Desa Huko-huko, Tambea dan Hakakutobu, Kabupaten
Kolaka.Perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut adalah PT. Dharma Rosady
Internasional (DRI).
Kasus yang lebih
miris lagi terjadi di Kabaena, dimana masyarakat Desa Kokoe, Kecamatan Kabaena
Timur tidak dapat lagi menggunakan Sungai sebagai sumber air minum masyarakat
setempat. Di Desa Langkowa, Bomba-bomba dan Telutu Jaya Kecamatan Tinaggea,
Konawe Selatan, PT Ifish Deco mengambil air irigasi petani ditiga desa itu
dalam melakukan aktivitas produksi.
4. Konflik antar
Perusahaan Pemegang IUP dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Pemukim di
Wilayah Tambang, karena Melakukan Eksplorasi di Luar Wilayah Izin Penguasaan
dengan Merambah Hutan Lindung.
Kerusakan
lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya
bersifat destruktif karena mengubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah,
bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang,
aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya
air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang
mengandung sulfida. Dampak ini memprihatinkan karena kerusakannya tidak dapat
ditanggulangi dalam waktu cepat.
Muncul fenomena
bari di wilayah pertambangan dalam bentuk Penambang Tanpa Izin (PETI).
Kehadirannya melahirkan salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di
pertambangan. Dikatakan multi kompleks karena memperlihatkan banyak stakeholder
makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di
wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.
PETI sendiri
bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang,
atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki
Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian
berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan
kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan
backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat
setempat, serta krisis ekonomi berkepanjangan yang diikuti oleh penafsiran
keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan
peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertambangan (oleh) rakyat,
juga ikut mendorong maraknya PETI.
Kegiatan PETI
yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar, telah mengakibatkan
kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang.
Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang,
tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk
memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI
umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian,
dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama.
Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan
pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu
faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum
di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA
minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat.
Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu
membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi
lanjutan (multiplier effect).
Cerita banyak
mengenai hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena kekayaan alam
sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk
mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai
kekurangan air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran
persediaan air sudah habis ditebang, demikian pula banjir yang melanda Sulawesi
Tenggara pada tanggal 16 Juli 2013, nyaris merendam 2/3 wilayah Sultra dan 80%
wilayah Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara tenggelam, akibat
banjir kiriman dari wilayah-wilayah pertambangan (Konawe, Konawe Utara, dan
Konawe Selatan) yang telah rusak ekosistemnya. Menurut penjelasan Gubernur
Sultra banjir tersebut merusah 2/3 areal produktif seperti sawah, kebun, jalan,
jembatan, rumah, pasar, dan peraktoran (Kendari Pos, 19 Juli 2013).
Akhir-akhir ini
ternyata makin kurang yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, sehingga
lingkungan hidup makin kurang aman karena prinsip keuntungan ekonomi diutamakan
dari pada nilai lainnya. Tidak mengherankan bila banyak warga mulai pesimis
atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja dan bergabung dalam suatu
perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang merugikan kehidupan rakyat banyak.
Contoh kasus:
Komplek pertambangan di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara
(Sultra) milik PT Dharma Rosadi International, diamuk massa akhir pekan lalu.
Beberapa truk yang terparkir dirusak dengan memecah kaca. Satu unit alat berat
juga dirusak. Massa juga membakar gudang penampung bahan bakar di sekitar
pelabuhan milik perusahaan. Lalu kantor dan pos pengamanan pun tak luput dari
amukan.
Perusahaan
tambang ini memang kerap mendapat protes dari berbagai kalangan. Tahun lalu,
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, melaporkan perusahaan ini ke
polisi dengan tuduhan mengeksploitasi nikel di hutan produksi. Padahal, izin
pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan (kemenhut), belum terbit. Dari
investigasi Walhi, ditemukan sekitar 90 persen konsesi milik perusahaan itu masuk
hutan produksi. Sisanya, sekitar 10 persen merupakan Area Penggunaan Lain
(APL). Sayangnya, tak ada tindaklanjut dari kepolisian.
5. Konflik
Bernuansa Ekonomi
Konflik yang
bernuansa ekonomi murni antara kedua perusahaan pemegang IUP, terjadi antara PT.
Starget Pasific Resourcer (SPR) dengan PT. Cipta Djaya Surya (CDS) yang
beroperasi di Desa Molore, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara. Kedua perusaahan
tersebut berseteru dan saling menuding. PT. SPR melaporkan PT. CDS ke Polda
Sultra, terkait kasus penyerobotan lahan, begitu juga sebaliknya. Untuk
membuktikan dua pelaporan perusahaan tersebut, pihak kepolisian langsung
melakukan penyelidikan di area perusaahan. Dirut CDS, Chandra pun dijadikan
tersangka. Hal ini membuktikan bahwa pihak CDS lah melakukan penyerobotan di
area pertambangan SPR seluas 21 hektar.
Konflik antar
pemegang sahan dalam suatu perusahaan terjadi pada PT. Panca Logam Makmur yang
beroperasi di Bombana. ada dua kubu yang saling bersaing yaitu: “Kelompok Jakarta”
yang disebut kelompok pemegang saham minoritas, dan “Kelompok Surabaya”, sebagai
pemegang saham mayoritas, pada tanggal 23 Julu Kelompok Surabaya berusaha memasuki
areal pertambangan yang sedang dikuasai Kelompok Jakarta, namun dihalanghalangi
oleh petugas keamaan perusahaan yang dibantu pihak kepolisian, kejadian ini
nyaris terjadi bentrok antara dua kubu.
Menurut data
WALHI Sultra, banyak oknum TNI dan Kepolisian yang terlibat dalam aktivitas
pertambangan di Sultra. Kasus yang nampak misalnya, kasus perebuatan lahan antara
oknum TNI dengan Polisi di wilayah produksi PT. Panca Logam Makmur (PLM) di Kabupaten
Bombana.
Bersambung : Konflik Sara Di Wilayah Pertambangan 3
Artikel Sebelumnya : Konflik Sara di Wilayah Pertambangan 1
No comments:
Post a Comment