Thursday, November 12, 2015

KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN (Kasus Sulawesi Tenggara) 2


 Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo
2. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemilik Lahan karena Merebut Lahar Perkebunan dan Peternakan

Adanya pemicu berganda seperti penggunaan lahan milik masyarakat oleh perusahaan tanpa diwujudkannya legalitas yang menguntungkan kedua pihak. Akibanya terputus hubungan mekanistik antara masyarakat dengan habitat asal dan lingkungan sosialnya serta mengubah ritme kehidupan mereka. Sebagai pemilik awal, ini juga kerap memicu adanya sikap menuntut ini dan itu terhadap perusahaan.

Lalu bagaimana dengan konsep pemberdayaan (empowerment) masyarakat sekitar tambang yang saat ini digadang-gadangkan sebagai konsep membangun tambang yang berkelanjutan? Meski diakui bahwa konsep ini yang diselaraskan dengan Corporate Social Responsibility (CSR) baru berada pada milestone awal dan terkdang di perusahaan bukan menjadi prioritas. CSR dianggap sebagai terobosan baru di dunia perusahaan terlebih untuk perusahaan ekstraktif, karena menggabungkan prinsip people and planet dalam aktivitas pencarian profit perusahaan.

Diakui atau tidak, CSR di Indonesia khususnya di industri ekstraktif seperti pertambangan merangkak menuju pendewasaan pola pikir dan kemampuan membangun diri masyarakat. Perusahaan sebagai stake holder utama harus mampu menganggap hubungan masyarakat dengan perusahaan adalah mitra yang sejajar. Jangan menganggap program Comdev sebagai charity semata atau hanya memberi kail tetapi tidak mampu mengajarkan bagaimana cara memancing yang tepat.

Secara garis besar bahwa konflik pertambangan dapat terjadi karena belum tersusunnya kebijakan pemanfaatan SDA secara optimal oleh pemerintah pusat dan daerah sebagai suatu kepentingan nasional. Juga belum didukungnya optimasi national resources sustainability antara pertambangan, kehutanan, lingkungan hidup yang seharusnya dibentuk dalam management yang integral.

Lima tahun lalu penduduk asli pada wilayah-wilayah tambang di Sulawesi Tenggara (Moronene di Bombana, Tolaki di Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara) merupakan penduduk mayoritas dari seluruh warga di wilayah tersebut. Akan tetapi sejalan berkembangnya industri tambang, yang banyak diperankan oleh etnis pendatang dari luar Sultra, maka ke depan kondisi sosial budaya akan mengalami pergeseran, dan bukan tidak mustahil penduduk asli akan menjadi termaginalkan dan kemudian menjadi minoritas di negeri sendiri.

Kasus protes Akbar Dimba dari Aliansi Masyarakat Wawonii Peduli Lingkungan (AMWPL) mendesak pemerintah daerah mencabut izin usaha pertambangan nikel dan emas di Kecamatan Wawonii Tengah, dan Wawonii Barat, Kabupaten Konawe, sebab kawasan tambang tersebut merupakan kawasan pertanian, perkebunan, dan perikanan di wilayah itu.

3. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Pemukim Sekitar Wilayah Tambang, karena Mencemari Lingkungan

Masalah pertambangan yang menimbulkan kegentingan dipicu kegiatan tambang yang tak memberi kesejahteraan kepada masyarakat lingkar tambang. ”Berbagai konflik dan tindakan kriminal terkait kegiatan pertambangan disebabkan oleh berkembangnya paradigma baru di masyarakat bahwa tambang adalah milik daerah dan masyarakatnya, yang dengan mudah ditunggangi kepentingan: politik, ekonomi, pemekaran wilayah, pilkada, dan kesejahteraan ekonomi dan sosial yang kemudian menjelma menjadi tuntutan antipertambangan.

Direktur Walhi Sulawesi Tenggara Hartono di Kendari mengatakan, kehadiran pertambangan di Sultra lebih banyak merugikan masyarakat dari pada menguntungkan. Pemerintah diminta melakukan moratorium pertambangan. Banyak aktivitas pertambangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, konflik dengan masyarakat, serta menghilangkan mata pencaharian warga. Kasus terbaru adalah meluapnya dam pengendali air perusahaan tambang nikel di Pulau Kabaena, Kabupaten Bombana, yang membanjiri tiga desa di Kabaena, 15 Februari 2012. Pada bulan Februari 2011, ratusan nelayan di Kecamatan Pomalaa, sempat menyegel dua kapal tongkang milik perusahaan karena perusahaan belum membayar ganti rugi lahan milik masyarakat, dan kerugian nelayan akibat penambangan yang mencemari perairan wilayah penangkapan dan wilayah budi daya ikan.

Petani tambak di Konawe Utara mengadu ke DPRD setempat karena PT. Bumi Konawe Abadi dalam melakukan eksploitasi tanah merah (tambang Nikel) mencemari areal tambang warga, sehingga salah seorang petani menuntut ganti rugi sebanyak Rp.100.000/M, karena areal tambaknya panen 3 kali setahun, dan setiap panen menghasilkan Rp. 270.000.000, namun pihak PT. Bumi Konawe Abadi belum merealisasikan tuntutan warga (Kendari Pos, 5 September 2013).
Praktek pertambangan menyebabkan pemutusan rantai ekonomi, kriminalisasi, kekerasan terhadap masyarakat. Selain masalah dibidang kehutanan dan Izin Usaha Pertambangan (IUP), pertambangan juga menimbulkan kerusakan lingkungan di daerah pesisir. Karena dalam melakukan operasi pertambangan, pemilik perusahaan banyak mengincar daerah-daerah pesisir sebagai zona aktivitas terpadat. Contoh: pencemaran limbah tambang galian di Desa Huko-huko, Tambea dan Hakakutobu, Kabupaten Kolaka.Perusahaan yang beroperasi di daerah tersebut adalah PT. Dharma Rosady Internasional (DRI).

Kasus yang lebih miris lagi terjadi di Kabaena, dimana masyarakat Desa Kokoe, Kecamatan Kabaena Timur tidak dapat lagi menggunakan Sungai sebagai sumber air minum masyarakat setempat. Di Desa Langkowa, Bomba-bomba dan Telutu Jaya Kecamatan Tinaggea, Konawe Selatan, PT Ifish Deco mengambil air irigasi petani ditiga desa itu dalam melakukan aktivitas produksi.

4. Konflik antar Perusahaan Pemegang IUP dengan Pemerintah Daerah dan Masyarakat Pemukim di Wilayah Tambang, karena Melakukan Eksplorasi di Luar Wilayah Izin Penguasaan dengan Merambah Hutan Lindung.

Kerusakan lingkungan adalah ancaman serius mengingat aktivitas tambang pada dasarnya bersifat destruktif karena mengubah bentang alam, sifat fisik dan kimia tanah, bahkan perubahan ekosistem lingkungan secara total. Selain aktivitas tambang, aktivitas turunan juga turut menyisakan kerusakan lingkungan seperti terjadinya air asam tambang (acid mine drainage) akibat teroksidasinya mineral yang mengandung sulfida. Dampak ini memprihatinkan karena kerusakannya tidak dapat ditanggulangi dalam waktu cepat.

Muncul fenomena bari di wilayah pertambangan dalam bentuk Penambang Tanpa Izin (PETI). Kehadirannya melahirkan salah satu konflik multi kompleks yang terjadi di pertambangan. Dikatakan multi kompleks karena memperlihatkan banyak stakeholder makro maupun mikro. Banyak yang berkepentingan atas hadirnya PETI di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan.

PETI sendiri bermakna usaha pertambangan yang dilakukan oleh perseorangan, sekelompok orang, atau perusahaan yayasan berbadan hukum yang dalam operasinya tidak memiliki Izin dan instansi pemerintah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. PETI umumnya diawali oleh keberadaan para penambang tradisional, yang kemudian berkembang karena adanya faktor kemiskinan, keterbatasan lapangan kerja dan kesempatan usaha, keterlibatan pihak lain yang bertindak sebagai cukong dan backing, ketidakharmonisan hubungan antara perusahaan dengan masyarakat setempat, serta krisis ekonomi berkepanjangan yang diikuti oleh penafsiran keliru tentang reformasi. Di sisi lain, kelemahan dalam penegakan hukum dan peraturan perundang-undangan yang menomorsekiankan pertambangan (oleh) rakyat, juga ikut mendorong maraknya PETI.

Kegiatan PETI yang tidak mengikuti kaidah-kaidah pertambangan yang benar, telah mengakibatkan kerusakan lingkungan, pemborosan sumber daya mineral, dan kecelakaan tambang. Disamping itu, PETI bukan saja menyebabkan potensi penerimaan negara berkurang, tetapi juga Negara/Pemerintah harus mengeluarkan dana yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. Hal lain yang perlu dicermati adalah PETI umumnya identik dengan budaya kekerasan dan premanisme, prostitusi, perjudian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengingkaran terhadap norma-norma agama. Budaya pencurian' termasuk menjarah, semakin berkembang, sehingga memberikan pengaruh buruk bagi mereka yang ingin berusaha sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Salah satu faktor terbesar adalah persoalan ekonomi dimana terjadi kekurangpahaman hukum di tataran masyarakat lokal. Masyarakat tidak ikut serta dalam pemanfaatan SDA minerl oleh perusahaan sehingga kesejahteraan mereka sendiri tidak terangkat. Padahal sebagai agen of development, kehadiran perusahaan seharusnya mampu membawa perubahan positif dan menjadi penggerak di berbagai bidang ekonomi lanjutan (multiplier effect).

Cerita banyak mengenai hilangnya sumber nafkah bagi masyarakat kampung, karena kekayaan alam sekitarnya sudah diambil oleh mereka yang “dapat izin dari Jakarta” untuk mengurasnya secara komersial. Di kota-kota sudah banyak keluhan mengenai kekurangan air minum karena hutan yang menjadi jaminan untuk kelancaran persediaan air sudah habis ditebang, demikian pula banjir yang melanda Sulawesi Tenggara pada tanggal 16 Juli 2013, nyaris merendam 2/3 wilayah Sultra dan 80% wilayah Kota Kendari sebagai Ibu Kota Sulawesi Tenggara tenggelam, akibat banjir kiriman dari wilayah-wilayah pertambangan (Konawe, Konawe Utara, dan Konawe Selatan) yang telah rusak ekosistemnya. Menurut penjelasan Gubernur Sultra banjir tersebut merusah 2/3 areal produktif seperti sawah, kebun, jalan, jembatan, rumah, pasar, dan peraktoran (Kendari Pos, 19 Juli 2013).

Akhir-akhir ini ternyata makin kurang yang menjaga kelestarian lingkungan hidup, sehingga lingkungan hidup makin kurang aman karena prinsip keuntungan ekonomi diutamakan dari pada nilai lainnya. Tidak mengherankan bila banyak warga mulai pesimis atau makin tergoda untuk mengikuti trend-trend saja dan bergabung dalam suatu perebutan keuntungan dari kekayaan alam yang merugikan kehidupan rakyat banyak.

Contoh kasus: Komplek pertambangan di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) milik PT Dharma Rosadi International, diamuk massa akhir pekan lalu. Beberapa truk yang terparkir dirusak dengan memecah kaca. Satu unit alat berat juga dirusak. Massa juga membakar gudang penampung bahan bakar di sekitar pelabuhan milik perusahaan. Lalu kantor dan pos pengamanan pun tak luput dari amukan.

Perusahaan tambang ini memang kerap mendapat protes dari berbagai kalangan. Tahun lalu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sultra, melaporkan perusahaan ini ke polisi dengan tuduhan mengeksploitasi nikel di hutan produksi. Padahal, izin pinjam pakai dari Kementerian Kehutanan (kemenhut), belum terbit. Dari investigasi Walhi, ditemukan sekitar 90 persen konsesi milik perusahaan itu masuk hutan produksi. Sisanya, sekitar 10 persen merupakan Area Penggunaan Lain (APL). Sayangnya, tak ada tindaklanjut dari kepolisian.

5. Konflik Bernuansa Ekonomi
Konflik yang bernuansa ekonomi murni antara kedua perusahaan pemegang IUP, terjadi antara PT. Starget Pasific Resourcer (SPR) dengan PT. Cipta Djaya Surya (CDS) yang beroperasi di Desa Molore, Kecamatan Langgikima, Konawe Utara. Kedua perusaahan tersebut berseteru dan saling menuding. PT. SPR melaporkan PT. CDS ke Polda Sultra, terkait kasus penyerobotan lahan, begitu juga sebaliknya. Untuk membuktikan dua pelaporan perusahaan tersebut, pihak kepolisian langsung melakukan penyelidikan di area perusaahan. Dirut CDS, Chandra pun dijadikan tersangka. Hal ini membuktikan bahwa pihak CDS lah melakukan penyerobotan di area pertambangan SPR seluas 21 hektar.

Konflik antar pemegang sahan dalam suatu perusahaan terjadi pada PT. Panca Logam Makmur yang beroperasi di Bombana. ada dua kubu yang saling bersaing yaitu: “Kelompok Jakarta” yang disebut kelompok pemegang saham minoritas, dan “Kelompok Surabaya”, sebagai pemegang saham mayoritas, pada tanggal 23 Julu Kelompok Surabaya berusaha memasuki areal pertambangan yang sedang dikuasai Kelompok Jakarta, namun dihalanghalangi oleh petugas keamaan perusahaan yang dibantu pihak kepolisian, kejadian ini nyaris terjadi bentrok antara dua kubu.

Menurut data WALHI Sultra, banyak oknum TNI dan Kepolisian yang terlibat dalam aktivitas pertambangan di Sultra. Kasus yang nampak misalnya, kasus perebuatan lahan antara oknum TNI dengan Polisi di wilayah produksi PT. Panca Logam Makmur (PLM) di Kabupaten Bombana.

Bersambung : Konflik Sara Di Wilayah Pertambangan 3 
Artikel Sebelumnya :  Konflik Sara di Wilayah Pertambangan 1

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...