Prof. Dr. H.
Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
Sejak munculnya tren bahan tambang nikel di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, maka wilayah Sulawesi Tenggara mendapat perhatian dari pemodal yang memiliki minat di sektor ini. Berbagai bangsa mengunjungi wilayah ini, seperti: Cina, India, Korea Selatan, mereka seakan berebut pengaruh dengan berusaha mendekati pemerintah daerah dan masyarakat dengan menggandeng masyarakat lokal, invenstor lokal, dan nasional.
Pemerintah
Daerah menyambut baik niat invenstor untuk menggali dan memasarkan tanah air
dan tanah leluhur dalam keadaan mentah untuk dikapalkan keluar negeri. Tanah
kuning yang menyimpan rahasia beruma mineral nikel yang begitu dibutuhkan oleh
banyak bangsa untuk berbagai keperluan indcustri strategis, menggiring banyak
orang untuk menanamkan modal dalam upaya eksplorasi, maka Pemda Kabupaten yang
memiliki kewenangan, merasa tidak dapat menahan diri untuk tidak memberi izin
kepada investor, meskipun mereka menyadari bahwa kemampuan mereka melakukan
pemetaan wilayah, dalam bentuk: wilayah hutan lindung, wilayah penguasaan
rakyat, wilayah adat, dan wilayah penguasaan negara yang menjadi kewenangan
pemda. Kondisi ini, menyebabkan Pemda mengeluarkan izin tanpa pedoman yang
jelas, akhirnya terjadi tumpang tindih dan konflik.
Konflik
bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang
IUP dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2)
konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena
dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar
perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang,
karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara
ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan
masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan
eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung.
Konflik lain yang bernuansa ekonomi: (1) konflik antara satu perusahaan
pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan perusahaan lain karena tumpang
tindih lahan, dan (2) konflik antara pemegang saham dalam suatu perusahaan
pemegang IUP
Bagi
masyarakat Sultra, khususnya Suku Tolaki memiliki instrumen adat berupa Kalosara
yang selama ini dapat dijadikan solusi konflik. demikian pula sikap
keterbukaan dan toleransi etnis Tolaki dan Moronene dalam menerima pendatang
dari luar, termasuk proses kawin-mawin dengan pendatang. Kedua hal ini menjadi
instrumen solusi konflik, sehingga selama ini tidak terjadi konflik terbuka di
Sulawesi Tenggara.
A.
Pendahuluan
Kehadiran
investor untuk melakukan eksploitasi tambang sejatinya akan membuka peluang
kerja bagi masyarakat sekitar tambang, namun kenyataannya mereka kurang
dilibatkan karena penduduk sekitar tambang memiliki keterbatasan pengetahuan
dan keterampilan. kondisi ini merupakan suatu ironi, karena konsep partisipasi
masyarakat begitu penting saat ini, terutama setelah era Orde Baru, selain
karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pembangunan,
juga karena fakta empiriknya menunjukkan bahwa minimnya partisipasi masyarakat
dalam pembangunan menjadi faktor pemicu munculnya konflik antara masyarakat
terkena dampak dengan pemerintah dan penerima izin usaha dari pemerintah. Dalam
sektor pertambangan minerba, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012
telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah
Indonesia (Anonim, 2013).
Buruknya
mekanisme partisipasi masyarakat dalam sektor tambang, dipicu oleh lemahnya
pengaturan secara hukum mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan Wilayah
Pertambangan yang menjadi acuan dasar penerbitan izin-izin pertambangan. Posisi
masyarakat di tempat sebagai objek yang hanya perlu diperhatikan saja dalam
proses penetapan wilayah pertambangan. Padahal resikonya, masyarakat akan
kehilangan tanahnya dan atau rusaknya ruang hidup mereka. Seharusnya negara
wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah
maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan
masyarakat yang akan terkena dampak”.
Siapa
saja yang tinggal pada kawasan tambang di Wilayah Sultra dewasa ini sudah
terbiasa dengan adanya konflik, dan mungkin juga menyimpan ingatan akan
penderitaan, atau sebaliknya akan kegembiraannya sewaktu suatu konflik dapat
diatasi. Sejalan dengan itu muncul Rencana Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara
menetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencana ini dipandang
berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam. Dimana
penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat
serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan
berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan
aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal
dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.
Upaya
menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam
secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber
kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal
merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan,
menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan
korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural,
serta melestarikan pembiaran pencurian sumber daya alam oleh pemodal asing
maupun nasional.
Pemerintah
Sulawesi Tenggara mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah
wilayah Nusantara. Karena kenyataannya di wilayah-wilayah tambang tersebut,
negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri
ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat
mensejahterakan negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang
beserta alamnyapun sulit. Hasil tambang
habis
dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan
lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran
lingkungan hidup. Kasus di Konawe Utara, misalnya: Data tahun 2012 menunjukkan
bahwa ada sebanyak 100 buah Perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha
Pertambangan (IUP) dengan luas masing-masing bervariasi mulai dari 100Ha sampai
dengan 164.293Ha, dengan luas keseluruhan 392.901 Ha. Belum termasuk 7
kabupaten lain yang ada di Sultra sebagai wilayah operasional pertambangan
nikel, aspal, dan emas.
Fenomena
tersebut menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat di sekitar tambang yang selama ini merasa dirugikan, karena
tidak banyak terlibat dalam pengelolaan tambang, akhirnya tidak memperoleh
manfaat dari tambang. Sementara para investor bersama stafnya yang umumnya dari
etnis luar Sultra hidup dalam kemewahan, bahkan sering berprilaku tidak sesuai
dengan budaya masyarakat setempat. Akhirnya, lahirlah konflik yang dipermukaan nampak
bersifat ekonomi, tetapi dibalik itu ada konflik bernuansa sara, karena adanya perbedaan
sosial budaya dan agama.
Konflik
bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP
dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2)
konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena
dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar
perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang,
karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka
mencari/memelihara ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan
pemerintah daerah dan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena
dianggap melakukan eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah
hutan lindung. Terdapat pula konflik bernuansa ekonomi semata, seperti: kasus tumpang-
tindih lahan, dan konflik antar pemilik saham dalam suatu perusahaan.
Kenyataannya
menurut Fisher, dkk (2001) bahwa ketika berhadapan dengan konflik sosial dan
politik, budaya sering muncul sebagai faktor yang harus diakui dan diatasi
karena pengaruhnya terhadap konflik. Untuk itu upaya menangani konflik harus
memiliki pengertian konteks budaya pihak-pihak yang terlibat, khususnya
fihak-fihak yang berkonflik berasal dari budaya yang berbeda.
B.
Jenis-Jenis Konflik
1.
Konflik antara Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Adat karena Merebut
Wilayah Adat/Leluhur
Kesempatan
dan persaingan kerja, umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara
masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Mengingat, industri tambang
sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga
pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian
masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan
tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih
kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah memicu timbulnya konflik
akibat persaingan kerja dengan putra daerah.
Masalah
hak ulayat dan hak individu, konflik ini berakar dari ketidakterimaan masyarakat
terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat.
Tanah ulayat diklaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh
masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya,
dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari
sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan
hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara
lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum
adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dan hak
ulayat akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya.
Pemanfaatan
lahan bekas pemukiman yang sudah ditinggalkan, selama ini tidak pernah menjadi
persoalan namun dengan adanya kandungan emas di lahan tersebut, mendadak persoalan
hak ulayat dimunculkan. Contoh, kasus Kabupaten Bombana: Momentum penutupan tambang
oleh pemerintah Kabupaten Bombana dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan
keluarganya untuk mengklaim lokasi tersebut sebagai wilayah hak ulayat mereka. Konsekuensinya,
sejumlah tokoh suku Moronene mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang,
bila para penambang tersebut menggali lubang untuk menambang di lahan tersebut.
Mereka menganggap para penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat
mereka. Itulah sebabnya mereka mengajukan protes kepada DPRD dan Bupati atas
beroperasinya PT Panca Logam Makmur (PLM) yang telah mengantongi IUP dari
Bupati di wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah mereka. Puluhan warga yang
menamakan diri Forum Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat Rarowatu mendesak
Bupati Bombana untuk mencabut semua rekomendasi IUP yang sudah dikeluarkan
karena dinilai telah merugikan masyarakat pewaris tanah adat khususnya di
wilayah Rarowatu. Tidak diketahui berapa nilai kompensasi dari pemanfaatan
tanah ulayat tersebut, akan tetapi sejak ramainya pendulangan di lahan lokasi
penambangan, pungutan mengatasnamakan masyarakat setempat mulai marak. Para
penambang bahkan dikenai pungutan lebih sekali dalam sehari (Zulkarnain, 2010).
Banyak
penduduk datang dari luar Tanah Sultra dan mulai mencari dasar hidupnya di
Sultra. Proses demikian berjalan begitu pesat (dan didorong oleh pemerintah
pusat), membuat banyak orang protes karena mulai takut kehilangan peluang
hidupnya atau karena merasa bahwa perlahan-lahan mereka (warga asli) tidak
diakui lagi sebagai ‘tuan rumah’. Apalagi muncul perbedaan ungkapan budaya,
gaya hidup, gaya religiositas, daya penyesuaian, perbedaan kedudukan, dan
kekuasaan.
Banyak warga masyarakat tradisional mengalami bahwa
apa yang mereka hargai dan lestarikan selama sekian lama tiba-tiba dinilai
“tidak laku” lagi, karena tidak modern atau malahan dinilai primitif. Kenyataan
semacam itu sangat sulit diterima bahkan cenderung menimbulkan ketegangan dan
perasaan marah pada mereka yang dinilai ketinggalan zaman; atau menimbulkan
perasaan minder pada pihak yang dinilai tradisional, sedangkan pihak dari luar
(yang menilai) merasa diri mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan
yang lain ‘tingka laku’. Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan
membuat banyak warga terluka begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang
merasa dicap ‘bodoh dan miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu
peran aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, atau kehidupan sosial keagamaan,
karena mereka merasa diri tidak diakui sebagai manusia sejati dan semartabat
dengan siapa saja dari luar. Ternyata kemajemukan kependudukan membawa serta
segala macam gejala dimana perbedaan menjadi unsur yang lebih ditonjolkan
daripada unsur kesamaan. Kenyataan demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya
konflik.
Bersambung : Konflik Sara di wilayah pertambangan 2 , Konflik Sara Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara) 3
Bersambung : Konflik Sara di wilayah pertambangan 2 , Konflik Sara Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara) 3
No comments:
Post a Comment