Thursday, November 12, 2015

KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN (Kasus Sulawesi Tenggara)



Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo

Sejak munculnya tren bahan tambang nikel di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir ini, maka wilayah Sulawesi Tenggara mendapat perhatian dari pemodal yang memiliki minat di sektor ini. Berbagai bangsa mengunjungi wilayah ini, seperti: Cina, India, Korea Selatan, mereka seakan berebut pengaruh dengan berusaha mendekati pemerintah daerah dan masyarakat dengan menggandeng masyarakat lokal, invenstor lokal, dan nasional.

Pemerintah Daerah menyambut baik niat invenstor untuk menggali dan memasarkan tanah air dan tanah leluhur dalam keadaan mentah untuk dikapalkan keluar negeri. Tanah kuning yang menyimpan rahasia beruma mineral nikel yang begitu dibutuhkan oleh banyak bangsa untuk berbagai keperluan indcustri strategis, menggiring banyak orang untuk menanamkan modal dalam upaya eksplorasi, maka Pemda Kabupaten yang memiliki kewenangan, merasa tidak dapat menahan diri untuk tidak memberi izin kepada investor, meskipun mereka menyadari bahwa kemampuan mereka melakukan pemetaan wilayah, dalam bentuk: wilayah hutan lindung, wilayah penguasaan rakyat, wilayah adat, dan wilayah penguasaan negara yang menjadi kewenangan pemda. Kondisi ini, menyebabkan Pemda mengeluarkan izin tanpa pedoman yang jelas, akhirnya terjadi tumpang tindih dan konflik.

Konflik bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Konflik lain yang bernuansa ekonomi: (1) konflik antara satu perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan perusahaan lain karena tumpang tindih lahan, dan (2) konflik antara pemegang saham dalam suatu perusahaan pemegang IUP

Bagi masyarakat Sultra, khususnya Suku Tolaki memiliki instrumen adat berupa Kalosara yang selama ini dapat dijadikan solusi konflik. demikian pula sikap keterbukaan dan toleransi etnis Tolaki dan Moronene dalam menerima pendatang dari luar, termasuk proses kawin-mawin dengan pendatang. Kedua hal ini menjadi instrumen solusi konflik, sehingga selama ini tidak terjadi konflik terbuka di Sulawesi Tenggara.


A. Pendahuluan

Kehadiran investor untuk melakukan eksploitasi tambang sejatinya akan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar tambang, namun kenyataannya mereka kurang dilibatkan karena penduduk sekitar tambang memiliki keterbatasan pengetahuan dan keterampilan. kondisi ini merupakan suatu ironi, karena konsep partisipasi masyarakat begitu penting saat ini, terutama setelah era Orde Baru, selain karena merupakan bagian dari hak konstitusional warga negara dalam pembangunan, juga karena fakta empiriknya menunjukkan bahwa minimnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan menjadi faktor pemicu munculnya konflik antara masyarakat terkena dampak dengan pemerintah dan penerima izin usaha dari pemerintah. Dalam sektor pertambangan minerba, sebagai contoh, sepanjang tahun 2011 dan 2012 telah terjadi konflik pertambangan sebanyak 203 kasus di seluruh wilayah Indonesia (Anonim, 2013).

Buruknya mekanisme partisipasi masyarakat dalam sektor tambang, dipicu oleh lemahnya pengaturan secara hukum mengenai partisipasi masyarakat dalam penetapan Wilayah Pertambangan yang menjadi acuan dasar penerbitan izin-izin pertambangan. Posisi masyarakat di tempat sebagai objek yang hanya perlu diperhatikan saja dalam proses penetapan wilayah pertambangan. Padahal resikonya, masyarakat akan kehilangan tanahnya dan atau rusaknya ruang hidup mereka. Seharusnya negara wajib melindungi, menghormati, dan memenuhi kepentingan masyarakat yang wilayah maupun tanah miliknya akan dimasukkan ke dalam wilayah pertambangan dan masyarakat yang akan terkena dampak”.

Siapa saja yang tinggal pada kawasan tambang di Wilayah Sultra dewasa ini sudah terbiasa dengan adanya konflik, dan mungkin juga menyimpan ingatan akan penderitaan, atau sebaliknya akan kegembiraannya sewaktu suatu konflik dapat diatasi. Sejalan dengan itu muncul Rencana Pemerintah Daerah Sulawesi Tenggara menetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Rencana ini dipandang berpotensi kuat melahirkan konflik atas tanah dan sumber daya alam. Dimana penetapan KEK Pertambangan Nasional akan memaksa petani dan masyarakat adat serta warga yang berdomisili di wilayah yang ditunjuk sebagai KEK, akan berhadap-hadapan secara vertikal dengan gabungan kepentingan pemilik modal dan aparatur negara. Warga yang menolak juga akan berpotensi konflik horizontal dengan warga yang menerima wilayahnya jadi KEK Pertambangan Nasional.

Upaya menjadikan Sultra sebagai kawasan pertambangan nasional juga akan mengancam secara ekologis Kawasan Ekologi Genting (KEG) yang menjadi sumber-sumber kehidupan rakyat. Pertambangan akan selalu identik dengan tindakan brutal merusak alam, khususnya hutan dan pesisir-laut, mencemari lingkungan, menyuburkan konflik vertikal dan horizontal di tengah rakyat, menyuburkan korupsi aparat negara, menciptakan kemiskinan ekonomi-sosial-budaya struktural, serta melestarikan pembiaran pencurian sumber daya alam oleh pemodal asing maupun nasional.

Pemerintah Sulawesi Tenggara mestinya belajar dari cerita praktek pertambangan di sejumlah wilayah Nusantara. Karena kenyataannya di wilayah-wilayah tambang tersebut, negara jelas mendapatkan kerugian ekonomi, sosial maupun ekologis dari industri ekstraktif pertambangan. Hadirnya perusahaan tambang, bukan saja tak dapat mensejahterakan negeri, untuk mensejahterakan masyarakat lingkar tambang beserta alamnyapun sulit. Hasil tambang
habis dikuras untuk kepentingan ekspor (pemilik modal), dan meninggalkan lubang-lubang tambang beracun, serta derita kemiskinan dan kehancuran lingkungan hidup. Kasus di Konawe Utara, misalnya: Data tahun 2012 menunjukkan bahwa ada sebanyak 100 buah Perusahaan yang telah memperoleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan luas masing-masing bervariasi mulai dari 100Ha sampai dengan 164.293Ha, dengan luas keseluruhan 392.901 Ha. Belum termasuk 7 kabupaten lain yang ada di Sultra sebagai wilayah operasional pertambangan nikel, aspal, dan emas.

Fenomena tersebut menimbulkan kecemburuan sosial masyarakat di sekitar tambang  yang selama ini merasa dirugikan, karena tidak banyak terlibat dalam pengelolaan tambang, akhirnya tidak memperoleh manfaat dari tambang. Sementara para investor bersama stafnya yang umumnya dari etnis luar Sultra hidup dalam kemewahan, bahkan sering berprilaku tidak sesuai dengan budaya masyarakat setempat. Akhirnya, lahirlah konflik yang dipermukaan nampak bersifat ekonomi, tetapi dibalik itu ada konflik bernuansa sara, karena adanya perbedaan sosial budaya dan agama.

Konflik bernuansa sara yang terjadi antar lain: (1) konflik antara perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat adat karena dianggap merebut wilayah adat/leluhur, (2) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemilik lahan karena dianggap merebut lahar perkebunan dan peternakan mereka, (3) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap mencemari sumber air, sungai, dan perairan tempat mereka mencari/memelihara ikan, (4) konflik antar perusahaan pemegang IUP dengan pemerintah daerah dan masyarakat pemukim di sekitar wilayah tambang, karena dianggap melakukan eksplorasi di luar wilayah izin penguasaan dengan merambah hutan lindung. Terdapat pula konflik bernuansa ekonomi semata, seperti: kasus tumpang- tindih lahan, dan konflik antar pemilik saham dalam suatu perusahaan.

Kenyataannya menurut Fisher, dkk (2001) bahwa ketika berhadapan dengan konflik sosial dan politik, budaya sering muncul sebagai faktor yang harus diakui dan diatasi karena pengaruhnya terhadap konflik. Untuk itu upaya menangani konflik harus memiliki pengertian konteks budaya pihak-pihak yang terlibat, khususnya fihak-fihak yang berkonflik berasal dari budaya yang berbeda.

B. Jenis-Jenis Konflik
1. Konflik antara Perusahaan Pemegang IUP dengan Masyarakat Adat karena Merebut Wilayah Adat/Leluhur

Kesempatan dan persaingan kerja, umumnya konflik ini dipicu oleh kesempatan kerja antara masyarakat pendatang di perusahaan dengan putra daerah. Mengingat, industri tambang sangat spesifik, high risk, high capacity dan high technology sehingga pekerja datang dengan kemampuan tinggi dan renumerasi yang sesuai. Kemudian masyarakat sekitar umumnya adalah mereka dengan kemampuan skill terbatas bahkan tingkat pendidikan juga tidak tinggi sehingga kesempatan berusaha mereka lebih kecil dari para pendatang. Gap yang terjadi inilah memicu timbulnya konflik akibat persaingan kerja dengan putra daerah.

Masalah hak ulayat dan hak individu, konflik ini berakar dari ketidakterimaan masyarakat terhadap perusahaan akibat terambilnya tanah warisan dan ulayat masyarakat setempat. Tanah ulayat diklaim sebagai kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Jadi mengambil tanah dan hak ulayat akan memutuskan hubungan mekanis antara masyarakat denga leluhurnya.

Pemanfaatan lahan bekas pemukiman yang sudah ditinggalkan, selama ini tidak pernah menjadi persoalan namun dengan adanya kandungan emas di lahan tersebut, mendadak persoalan hak ulayat dimunculkan. Contoh, kasus Kabupaten Bombana: Momentum penutupan tambang oleh pemerintah Kabupaten Bombana dimanfaatkan oleh sejumlah tokoh masyarakat dan keluarganya untuk mengklaim lokasi tersebut sebagai wilayah hak ulayat mereka. Konsekuensinya, sejumlah tokoh suku Moronene mulai memberlakukan pungutan terhadap penambang, bila para penambang tersebut menggali lubang untuk menambang di lahan tersebut. Mereka menganggap para penambang itu beraktivitas di wilayah tanah ulayat mereka. Itulah sebabnya mereka mengajukan protes kepada DPRD dan Bupati atas beroperasinya PT Panca Logam Makmur (PLM) yang telah mengantongi IUP dari Bupati di wilayah yang mereka klaim sebagai wilayah mereka. Puluhan warga yang menamakan diri Forum Masyarakat Rumpun Pewaris Tanah Adat Rarowatu mendesak Bupati Bombana untuk mencabut semua rekomendasi IUP yang sudah dikeluarkan karena dinilai telah merugikan masyarakat pewaris tanah adat khususnya di wilayah Rarowatu. Tidak diketahui berapa nilai kompensasi dari pemanfaatan tanah ulayat tersebut, akan tetapi sejak ramainya pendulangan di lahan lokasi penambangan, pungutan mengatasnamakan masyarakat setempat mulai marak. Para penambang bahkan dikenai pungutan lebih sekali dalam sehari (Zulkarnain, 2010).

Banyak penduduk datang dari luar Tanah Sultra dan mulai mencari dasar hidupnya di Sultra. Proses demikian berjalan begitu pesat (dan didorong oleh pemerintah pusat), membuat banyak orang protes karena mulai takut kehilangan peluang hidupnya atau karena merasa bahwa perlahan-lahan mereka (warga asli) tidak diakui lagi sebagai ‘tuan rumah’. Apalagi muncul perbedaan ungkapan budaya, gaya hidup, gaya religiositas, daya penyesuaian, perbedaan kedudukan, dan kekuasaan.

Banyak warga masyarakat tradisional mengalami bahwa apa yang mereka hargai dan lestarikan selama sekian lama tiba-tiba dinilai “tidak laku” lagi, karena tidak modern atau malahan dinilai primitif. Kenyataan semacam itu sangat sulit diterima bahkan cenderung menimbulkan ketegangan dan perasaan marah pada mereka yang dinilai ketinggalan zaman; atau menimbulkan perasaan minder pada pihak yang dinilai tradisional, sedangkan pihak dari luar (yang menilai) merasa diri mantap betul: lebih baik, paling benar, berbobot dan yang lain ‘tingka laku’. Sikap diskriminatif semacam ini sering muncul dan membuat banyak warga terluka begitu dalam. Tidak mengherankan bahwa warga yang merasa dicap ‘bodoh dan miskin’ tidak begitu berminat untuk mengambil suatu peran aktif dalam kehidupan kemasyarakatan, atau kehidupan sosial keagamaan, karena mereka merasa diri tidak diakui sebagai manusia sejati dan semartabat dengan siapa saja dari luar. Ternyata kemajemukan kependudukan membawa serta segala macam gejala dimana perbedaan menjadi unsur yang lebih ditonjolkan daripada unsur kesamaan. Kenyataan demikian merupakan tanah subur bagi lahirnya konflik.

Bersambung : Konflik Sara di wilayah pertambangan 2 , Konflik Sara Wilayah Pertambangan (Kasus Sulawesi Tenggara) 3

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...