Prof. Dr. H.
Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
C. Mengatasi
Konflik
Berbagai
tradisi, struktur dan proses yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat membantu
dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian (Fisher, 2001). Di beberapa
tempat ada metode yang sudah diterapkan selama berabad-abad untuk menangani
konflik antar pribadi dan antar kelompok. Fenomena tersebut terdapat dalam
budaya Suku Tolaki yang disebut Kalosara
sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik (Tarimana, 1993). Dengan
demikian, maka mengatasi konflik diperlukan sutau strategi atau suatu seni,
karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu
budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal
segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir
orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh
diganggu-gugat, misaknya peran pabitara dalam Masyarakat Tolaki, yang
memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk
mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang
berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya
dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.
Popularisasi
konsep HAM sebagai “Adat Baru”, termasuk sikap damai, toleran, penghargaan
hukum serta pengakuan hak setiap orang. Pelatihan “Adat Baru” di tingkat
masyarakat akar rumput, perlu dilakukan dalam bentuk: Penyuluhan mengenai
pelestarian alam dan lingkungan yang sehat, pemantauan pengoperasian
perusahaan-perusahaan besar dari segi dampaknya atas lingkungan, menggali
tradisi pelestarian lingkungan/alam dan mengakui peraturan tradisional secara
hukum. Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan memperbaiki pendidikan, sehingga
dapat menunjang pengembangan kepribadian para warga secara merata.
Penemuan tambang
nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya
berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Izin Usaha Penambangan. Berbagai cara
untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah
masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan
penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga
dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1)
nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai karena
tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa adanya proses
penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan
pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena masyarakat
sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk
memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar
tambang dengan memanfaatkan dana CSR.
Pasca penemuan
tambang nikel dan tambang emas, sejumlah permasalahan yang mengarah konflik
sara meledak ke permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu
mengedepankan, wacana pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang
melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak melibatkan
rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya
sebagai everyday forms of resistence, perlawanan terselubung
(Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain
perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984)
mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru
selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan
pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan
penghidupan kembali (revivalisme).
Konflik
pertanahan di daerah ini bermula ketika pemerintah menempatkan warga
transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak
penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan
transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap
menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan
pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu,
o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin tergusur karena lahan
tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek transmigrasi.
Selain itu,
permasalahan lain yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin
melebarnya kesenjangan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli atau suku
Tolaki. Secara sosial ekonomi, para pendatang memiliki kecakapan dan
keahlian. Sementara hal ini berbanding
terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih
memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi dan pemberian IUP, penduduk asli
semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya. Kondisi sosial
tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan
rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki
sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan
menampilkan kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima
oleh kelompok lain.
Peran Pabitara:
juru bicara adat yang memfungsikan kalosara dalam berbagai
kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa
memiliki minimal seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan
masyarakat Toilaki dalam menyelesaikan setiap masalah.
Kondisi ini
merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti
dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi
masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat)
yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan
memanfaatkan istrumen kalosara.
Bagi masyarakat
Sultra khususnya Suku Tolaki yang wilayahnya paling banyak terbit IUP, memiliki
bentuk instrumen adat yang dapat dijadikan sebagai solusi konflik yang disebut kalosara.
Prospek pemanfataan instrumen kalosara dalam kehidupan sosial. Kasus
sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga
Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan
berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H.
Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua
belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2
orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif
dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan
komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi
aspirasi kedua belah pihak.
Kasus kawin lari
dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki
dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi
masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara.
Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang
bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan
diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat
setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga
pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi
adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda)
yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.
Kasus
penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu
adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan
oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk
berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara.
Secara empiris bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda
berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos
pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan
perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara
keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara dihadapan
kedua belah pihak.
D. Penutup
Munculnya
tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain merupakan rahmat, juga membawa
masalah baru termasuk konflik ekonomi yang bernuansa sara. Suku Tolaki yang
mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam dinamikanya memiliki
instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara.
Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era
sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat,
terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan
perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan
melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah
pertambangan, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan
dan dikembangkan.
Berbagai masalah
telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah
sengketa tanah, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas di wilayah
pertambangan, terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya.
Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model
bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan
biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang
otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam
penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan
memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Tips: Mengatasi
Konflik. http://www.sabda.org/c3i/c3i_tips_mengatasi_konflik,
25-3-2009.
Anonim. 2009. Membangun Budaya
Damai & Rekonsiliasi.
http://search.yahoo.com/search?p=langkah+mengatasi+konflik+,25-3-2009
Anonim. 2013.
Minim Part Isipasi Masyarakat, Sektor Tambang Penuh Konflik.
http://www.walhi.or.id/v3/index.php?option=com_
content&view=article&id=3125. Akses, 31 Agustus 2013.
Anonim. 2013. Konflik di
Kawasan Pertambangan. http://radyanprasetyo.blogspot.com/2012/07/konflik-di-kawasan-pertambangan.html.
Akses, 31 Agustus 2013.
Fisher, Simon, dkk. 2001. Working
with Counflict: Skills and Strategies for Action. London: Zed Books, Ltd.
Mazi, Ali. 2004. Peranan
Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi
Tenggara. Kendari.
Harsono, Boedi, 2007. Hukum
Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan
pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.
Idaman. 2012. Kalosara sebagai
Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe
Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi. multiply.com/journal. Akses, 5
Oktober 2012
Karsadi, 2002. Sengketa Tanah
dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman
Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Desertasi Doktor
Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.
Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan
Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi
Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Jaya.
Kendari Pos, 24 Juli 2013.
Kendari Pos, 5 September 2013.
Lederach, John Paul. 2005. “Konflik
dan Perubahan”, Transformasi Konflik (terjemahan). Jogyakarta: Duta Wacana
Press.
Scott, James C., 1985. Weapon
of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale
University Press.
Siahaan, Hotman M., 1996. Pembangkangan
Terselubung Petani dalam Program TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi.
Surabaya: Disertasi Doktor Universitas Airlangga.
Soemarjan, Selo. 1964. Pengantar
Sosiologi. Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia.
Suhartono, 1995. Bandit-Bandit
Pedesaaan di Jawa. Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.
Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas
Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas
Haluoleo.
Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi
Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.
Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan
Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.
Tondrang, Azis, 2000. Peranan
Kalosara dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah
dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.
Ubbe, Ahmad, et al., 1990.
Monografi Hukum Adat Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.
Undang-undang No.4 Tahun 2009.
tentang Pertambangan Minerba. Jakarta: Sekreatriat Negara RI.
Yozami, M. Agus. 2012. Banyak
Kepala Daerah Keluarkan IUP Palsu Izin dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota
Baru Tanpa Melihat Izin-izin yang Pernah Dikeluarkan oleh Pejabat Sebelumnya. http://www.hukumonline.com/berita/baca/
lt4f3d02d9787d6/ banyak-kepala-daerah keluarkan-iup-palsu. Akses, 31
Agustus 2013.
Zulkarnain, Iskandar. 2010. Strategi
Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat di Bombana Sulawesi Tenggara.
Jakarta: Lipi.
KONFLIK SARA DI
WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus Sulawesi
Tenggara)
Makalah
Disajikan dalam
Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta,
Tanggal 8-11
Oktober 2013
Oleh:
Prof. Dr. H.
Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs
Universitas Haluoleo
No comments:
Post a Comment