Thursday, November 12, 2015

KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN (Kasus Sulawesi Tenggara)


Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo

C. Mengatasi Konflik

Berbagai tradisi, struktur dan proses yang terdapat dalam setiap budaya bisa sangat membantu dalam menyelesaikan konflik dan mengembangkan perdamaian (Fisher, 2001). Di beberapa tempat ada metode yang sudah diterapkan selama berabad-abad untuk menangani konflik antar pribadi dan antar kelompok. Fenomena tersebut terdapat dalam budaya Suku  Tolaki yang disebut Kalosara sebagai instrumen untuk menyelesaikan konflik (Tarimana, 1993). Dengan demikian, maka mengatasi konflik diperlukan sutau strategi atau suatu seni, karena menanganinya tidak mudah, sehingga dituntut suatu seni tersendiri, suatu budaya tersendiri sehingga suatu konflik dapat diatasi. Dalam kebudayaan feodal segala konflik diatasi dengan memakai kekuasaan yang dimiliki oleh segelintir orang yang menentukan segalanya dan keistimewaan mereka tidak boleh diganggu-gugat, misaknya peran pabitara dalam Masyarakat Tolaki, yang memanfaatkan Kalosara. Dalam suatu dunia yang penuh perubahan termasuk mengatasi konflik, menuntut suatu keterbukaan dari semua pihak yang berkepentingan untuk mencari jalan keluar dengan memanfaatkan instrumen budaya dan menyesuaikannya dengan perkembangan zaman.

Popularisasi konsep HAM sebagai “Adat Baru”, termasuk sikap damai, toleran, penghargaan hukum serta pengakuan hak setiap orang. Pelatihan “Adat Baru” di tingkat masyarakat akar rumput, perlu dilakukan dalam bentuk: Penyuluhan mengenai pelestarian alam dan lingkungan yang sehat, pemantauan pengoperasian perusahaan-perusahaan besar dari segi dampaknya atas lingkungan, menggali tradisi pelestarian lingkungan/alam dan mengakui peraturan tradisional secara hukum. Kesemuanya itu dapat dilakukan dengan memperbaiki pendidikan, sehingga dapat menunjang pengembangan kepribadian para warga secara merata.

Penemuan tambang nikel dan emas di beberapa wilayah Sulawesi Tenggara, menyebabkan masuknya berbagai perusahaan yang berusaha memiliki Izin Usaha Penambangan. Berbagai cara untuk memperoleh tanah sebagai wilayah penambangan diantaranya membeli tanah masyarakat setempat dengan harga yang murah, setelah itu secepatnya melakukan penambangan dengan jalan menggali tanah tanpa memperhatikan AMDAL, sehingga dalam waktu singkat para anggota masyarakat merasakan dampaknya. Misalnya: (1) nelayan tidak lagi dapat memperoleh ikan dalam radius tertentu dari pantai karena tercemar air pembuangan tambang yang langsung mengalir ke laut tampa adanya proses penyaringan, (2) akan terjadi kecemburuan sosial dalam jangka menengah dan pajang, melalui rekrutmen tenaga kerja umumnya dari luar, karena masyarakat sekitar kurang terampil dan pendidikan rendah, (3) belum ada pemikiran untuk memberdayakan masyarakat melalui pendidikan kepada generasi muda sekitar tambang dengan memanfaatkan dana CSR.

Pasca penemuan tambang nikel dan tambang emas, sejumlah permasalahan yang mengarah konflik sara meledak ke permukaan. Beragam konflik yang terjadi pada prinspinya selalu mengedepankan, wacana pertahanan diri atau egoisme antar-kelompok yang melakukan konflik. Bentuk-bentuk sengketa pertanahan yang banyak melibatkan rakyat atau para petani biasanya beragam bentuk. Scott (1985) menyebutnya sebagai everyday forms of resistence, perlawanan terselubung (Siahaan, 1996), dan perbanditan sosial (Suhartono, 1995). Bentuk lain perlawanan petani dimotivasi oleh sikap-sikap keagamaan. Kartodirdjo (1984) mencatat bahwa perlawanan para tani dapat diidentifikasi sebagai gerakan juru selamat (messianisme), gerakan ratu adil (millenearisme), gerakan pribumi (nativisme), gerakan kenabian (prophetisme), dan penghidupan kembali (revivalisme).

Konflik pertanahan di daerah ini bermula ketika pemerintah menempatkan warga transmigrasi di beberapa wilayah di daerah ini. Menurut Karsadi (2002) sejak penyelanggaraan program transmigrasi di Kabupaten Kendari dengan menempatkan transmigran dengan jumlah yang relatif besar telah berdampak terhadap menyempitnya lahan pertanian secara tradisional. Keberadaan lahan-lahan pertanian tradisional seperti homa, anahoma atau anasepu, o’epe, arano, lokua, dan walaka semakin tergusur karena lahan tersebut sebagian besar digunakan untuk proyek transmigrasi.

Selain itu, permasalahan lain yang mempertajam munculnya konflik dilatari oleh semakin melebarnya kesenjangan antara penduduk pendatang dengan penduduk asli atau suku Tolaki. Secara sosial ekonomi, para pendatang memiliki kecakapan dan keahlian.  Sementara hal ini berbanding terbalik dengan penduduk asli khusuusnya di kalangan petani yang hidupnya masih memprihatinkan. Dengan proyek transmigrasi dan pemberian IUP, penduduk asli semakin kehilangan lahan pertanian untuk menyambung hidupnya. Kondisi sosial tersebut memerlukan solusi dalam bentuk kalosara untuk melakukan rekonsisliasi antara pihak-pihak yang berkonflik. Peran tokoh adat Tolaki sangat strategis untuk tampil menjadi bagian dari solusi konflik dengan menampilkan kalosara sebagai instrumen utama adat Tolaki dapat diterima oleh kelompok lain.

Peran Pabitara: juru bicara adat yang memfungsikan kalosara dalam berbagai kesempatan. Pabitara masih tetap eksis karena dipelihara, bahkan setiap desa memiliki minimal seorang Pabitara, ini seiring dengan kepentingan masyarakat Toilaki dalam menyelesaikan setiap masalah.

Kondisi ini merupakan suatu titik rawan di Sulawesi Tenggara, karena telah terbukti dirasakan dampaknya di berbagai wilayah di Nusantara. Untuk itu, bagi masyarakat Tolaki perlu memelihara peran pabitara (juru bicara adat) yang selalu hadir menjadi mediasi dalam berbagai permasalahan masyarakat dengan memanfaatkan istrumen kalosara.

Bagi masyarakat Sultra khususnya Suku Tolaki yang wilayahnya paling banyak terbit IUP, memiliki bentuk instrumen adat yang dapat dijadikan sebagai solusi konflik yang disebut kalosara. Prospek pemanfataan instrumen kalosara dalam kehidupan sosial. Kasus sengketa tanah di Kecamatan Unaaha Kabupaten Kendari tahun 1994 antara Warga Desa Puosu (Komunitas Tolaki) dengan Warga Transmigrasi berhasil dieselesaikan berkat adanya kalosara, yang difasilitasi oleh Bupati Kendari Drs. H. Razak Porosi. Secara operasional Bupati meminta tokoh masyarakat dari kedua belah pihak, untuk melakukan pertemuan, selanjutnya dibentuk tim mediasi dari 2 orang tokoh masyarakat Tolaki, satu orang melakukan komunikasi secara intensif dengan tokoh dan kelompok masyarakat trasmigran dan satu orang melakukan komunikasi dengan masyarakat Tolaki. Kedua tokoh berupaya mengidentifikasi aspirasi kedua belah pihak.

Kasus kawin lari dimana keluarga perempuan melakukan tuntutan kepada keluarga pihak laki-laki dalam bentuk dendam yang mengarah kepada pembunuhan. Akan tetapi bagi masyarakat Tolaki, ketegangan pihak perempuan dapat diredam dengan membawakan kalosara. Jika kalosara dihadirkan dihadapan pihak keluarga perempuan, maka yang bersangkutan tidak bisa melakukan reaksi, jika dia tetap bereaksi maka akan diberikan sangsi adat dan akan dihukum secara fisik oleh segenap masyarakat setempat. Sebaliknya, jika ia menerima kehadiran kalosara, maka keluarga pihak perempuan diberi kesempatan untuk mengajukan tuntutan sebagai solusi adat, berupa: 1 pis kain kaci dan 1 ekor kerbau sebagai peahala (denda) yang harus dibayar pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan.

Kasus penyelesaian pembunuhan dapat diselesaikan dengan hukum Adat Tolaki yaitu adanya konsensus antara keluarga korban dengan pihak pelaku yang disaksikan oleh toono motuo, kapala kambo/kapala desa, pabitara untuk berdamai. Pelaku harus memenuhi permintaan keluarga korban dengan menghadirkan kalosara. Secara empiris bahwa sesuai ketentuan adat bahwa pelaku harus menanggung denda berupa: (1) satu pis kain kaci sebagai perngganti pembungkus mayat, (2) ongkos pesta kematian, dan (3) satu ekor kerbau sebagai tanda berkabung. Diadakan perdamaian dengan jalan upacara mosehe yaitu upacara perdamaian antara keluarga korban dan keluarga pelaku dengan menghadirkan kalosara dihadapan kedua belah pihak.

D. Penutup
Munculnya tambang dari bumi Sulawesi Tenggara, selain merupakan rahmat, juga membawa masalah baru termasuk konflik ekonomi yang bernuansa sara. Suku Tolaki yang mendiami sebagian besar wilayah pertambangan dalam dinamikanya memiliki instrumen adat yang mengatur segenap tata tingkah laku masyarakat yang disebut kalosara. Kalosara sebagai instrumen utama tata kehidupan masyarakat sampai di era sekarang ini masih eksis dipertahankan oleh segenap lapisan masyarakat, terutama dalam kehidupan sosial budaya. Dengan demikian seiring dengan perkembangan dinamika kehidupan masyarakat yang semakin kompleks dan melahirkan berbagai permasalahan termasuk konflik bernuansa sara di wilayah pertambangan, maka kehadiran kalosara sebagai instrumen solusi perlu dipertahankan dan dikembangkan.

Berbagai masalah telah terbukti berhasil diatasi melalui pemanfaatan kalosara. Masalah sengketa tanah, masalah perkawinan, dan masalah kriminalitas di wilayah pertambangan, terbukti kehadiran kalosara sebagai solusinya. Pemanfaatan kalosara sebagai media solusi, dapat menjadi model bagi masyarakat lain, karena pilihan ini dapat berjalan dengan mudah dan biaya yang murah. Peran pabitara selaku tokoh masyarakat Tolaki pemegang otoritas kalosara, perlu dikembangkan untuk menjadi mediasi dalam penyelesaian berbagai masalah yang dihadapai masyarakat dengan memanfaatkan kalosara sebagai instrumen utama.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2009. Tips: Mengatasi Konflik. http://www.sabda.org/c3i/c3i_tips_mengatasi_konflik, 25-3-2009.

Anonim. 2009. Membangun Budaya Damai & Rekonsiliasi. http://search.yahoo.com/search?p=langkah+mengatasi+konflik+,25-3-2009

Anonim. 2013. Minim Part Isipasi Masyarakat, Sektor Tambang Penuh Konflik. http://www.walhi.or.id/v3/index.php?option=com_ content&view=article&id=3125. Akses, 31 Agustus 2013.

Anonim. 2013. Konflik di Kawasan Pertambangan. http://radyanprasetyo.blogspot.com/2012/07/konflik-di-kawasan-pertambangan.html. Akses, 31 Agustus 2013.

Fisher, Simon, dkk. 2001. Working with Counflict: Skills and Strategies for Action. London: Zed Books, Ltd.

Mazi, Ali. 2004. Peranan Nilai-nilai Budaya Lokal dalam Pelaksnaan Pembinaan Teritorial di Sulawesi Tenggara. Kendari.

Harsono, Boedi, 2007. Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan.

Idaman. 2012. Kalosara sebagai Medium Resolusi Konflik Pertanahan pada Masyarakat Tolaki di Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. http://idamanalwi. multiply.com/journal. Akses, 5 Oktober 2012

Karsadi, 2002. Sengketa Tanah dan Kekerasan di Daerah Transmigrasi: Studi Kasus di Lokasi Pemukiman Transmigrasi di Kabupaten Kendari Sulawesi Tenggara. Desertasi Doktor Sosiologi, PPS UGM Yogyakarta.

Kartodirdjo, Sartono, 1984. Pemberontakan Petani Banten 1888: Kondisi, Jalan Peristiwa dan Kelanjutannya. Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia.
Jakarta: Pustaka Jaya.

Kendari Pos, 24 Juli 2013.

Kendari Pos, 5 September 2013.

Lederach, John Paul. 2005. “Konflik dan Perubahan”, Transformasi Konflik (terjemahan). Jogyakarta: Duta Wacana Press.

Scott, James C., 1985. Weapon of the Weak: Everyday of Peasant Resistance. New Haven and London: Yale University Press.

Siahaan, Hotman M., 1996. Pembangkangan Terselubung Petani dalam Program TRI sebagai Upaya Mempertahankan Subsistensi. Surabaya: Disertasi Doktor Universitas Airlangga.

Soemarjan, Selo. 1964. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Yayasan Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suhartono, 1995. Bandit-Bandit Pedesaaan di Jawa. Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta: Aditya Media.

Su’ud, Muslimin, 1986. Asas-Asas Hukum Adat Pertanahan Orang Tolaki. Kendari: Balai Penelitian Universitas Haluoleo.

Su’ud, Muslimin, 2012. Kompilasi Hukum Adat Perkawinan di Sulawesi Tenggara. Kendari: HISPISI Cabang Sultra.

Tarimana, Abdurrauf, 1993. Kebudayaan Tolaki. Jakarta: Balai Pustaka.

Tondrang, Azis, 2000. Peranan Kalosara dalam Pembentukan Karakter Masyarakat Tolaki. Unaaha: Makalah dalam Rangka Musyawarah Adat I Suku Bangsa Tolaki.

Ubbe, Ahmad, et al., 1990. Monografi Hukum Adat Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi Tenggara. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman R.I.

Undang-undang No.4 Tahun 2009. tentang Pertambangan Minerba. Jakarta: Sekreatriat Negara RI.

Yozami, M. Agus. 2012. Banyak Kepala Daerah Keluarkan IUP Palsu Izin dikeluarkan oleh Bupati atau Walikota Baru Tanpa Melihat Izin-izin yang Pernah Dikeluarkan oleh Pejabat Sebelumnya. http://www.hukumonline.com/berita/baca/ lt4f3d02d9787d6/ banyak-kepala-daerah keluarkan-iup-palsu. Akses, 31 Agustus 2013.

Zulkarnain, Iskandar. 2010. Strategi Pengembangan Wilayah Pertambangan Rakyat di Bombana Sulawesi Tenggara. Jakarta: Lipi.

KONFLIK SARA DI WILAYAH PERTAMBANGAN
(Kasus Sulawesi Tenggara)
Makalah
Disajikan dalam Kongres Kebudayaan Indonesia di Jakarta,
Tanggal 8-11 Oktober 2013
Oleh:
Prof. Dr. H. Anwar Hafid
Dosen FKIP/PPs Universitas Haluoleo

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...