sumber mainteater.org |
Front Pembela Islam (FPI) Jawa
Barat melarang pementasan monolog Tan Malaka yang dipelopori oleh Mainteater di
Gedung Auditorium Pusat Kebudayaan Prancis, IFI Bandung, beberapa hari yang
lalu. Monolog Tan Malaka “SAYA RUSA
BERBULU MERAH” ditulis oleh Ahda Imran, Seorang Seniman berdarah
Payakumbuh, Sumatera Barat, satu kampung Tan Malaka. Wajar toh bung Ahda
membuat karya untuk pejuang dari kampungnya. Berikut sinopsis monolog Tan Malaka.
“
Maret 1946, tengah panasnya revolusi, Tan Malaka ditangkap di Madiun lalu
dijebloskan ke penjara. Dibawah pemerintahan PM Amir Syamsuddin ketika itu,
Pemerintah menuduh Tan Malaka bersama persatuan perjuangan yang didirikannya
telah bersikap oposisi serta merongrong jalannya revolusi........
Dan
Kemudian Tan Malaka ditangkap dan dilepaskan tanpa proses pengadilan...........
Dan Kemudian Sebelum 1949 di Kediri, Jawa Timur, Kaki Gunung Willis ditembak
mati” Sumber Http://wujudkan.com
Sumatera Barat merupakan salah
satu daerah kelahiran Tan Malaka. 5 tahun lalu saya mendapatkan undangan teman untuk jalan keliling di berbagai wilayah Sumatera barat. Dalam perjalanan
saya bertemu dengan beberapa orang tua di daerah pedalaman di Kaki Gunung Talang,
Kabupaten Solok. Ima kuberi nama emak-emak itu, Saya lupa nama aselinya. Ia
banyak bercerita tentang kekejaman Jepang sebelum kemerdekaan, Padi warga
dirampas danlalu dibuang ke laut. Strategi perang jepang membuat warga lapar,
sehingga tidak mampu melakukan perlawanan. Begitupun dengan anak gadisnya yang
cantik-cantik diambil paksa oleh tentara jepang kala itu.
Menurut Ima, Sosok yang
menyerukan perlawanan adalah Tan Malaka, informasi itu beredar cepat kepada
seluruh warga sehingga lapar diubah menjadi perlawanan untuk melawan penindasan
orang-orang Jepang kala itu.
Cerita Tan Malaka saya dapatkan
juga di Pasar Kota Solok, Seorang bapak-bapak yang menggunakan songkok atau
kopiah hitam dan perkiraan sudah berumur 70an tahun sedang duduk di pinggir
pasar. Si Bapak bercerita tentang gerilya yang dibangun untuk melawan penjajahan
belanda. Semasa kecilnya banyak berkecimpung di Sekolah Rakyat di Padang
Panjang, Sumatera Selatan. Dan banyak belajar tentang teknik bergerilya di
Sekolah Rakyat. Ilmu yang didapatkan di Sekolah banyak dipakai untuk melawan
penjajahan pada zaman belanda. Sekolah Rakyat padang panjang adalah sekolah
rakyat yang dibangun oleh Tan Malaka untuk mencerdaskan warga di Kampung halamannya.
Menurut Keterangan Bapak di
Pasar Kota Solok. Pada masa pemerintahan Sukarno, Warga pernah juga bergerilya
karena diburu oleh tentara. Warga keberatan terhadap Hatta sebagai Wakil
Presiden. Warga Sumatera Barat menginginkan Tan Malaka menjadi presiden, karena
jasa-jasanya dan keberaniannya dalam menuju Republik Indonesia. Namun keberatan
warga berbuah pahit, rumah adat hampir semua hilang karena dibakar oleh tentara
di Kabupaten Solok. Dan sebagian besar warga khususnya laki-laki melarikan diri
ke hutan.
Cerita Tan Malaka saya dapatkan
juga ketika berkunjung di pedalaman sungai batang kapas, Kabupaten Pesisir Selatan.
Beberapa orang tua bersemangat bercerita tentang perlawanan bawah tanah Tan Malaka sebelum dan sesudah Kemerdekaan Indonesia.
Begitupun ketika berkunjung Daerah
Tanah Datar, Daerah dimana PKS berkuasa pada saat itu, dan merupakan daerah basis
terbesar Muhammadyah. Beberapa orang tua daerah
ini bercerita tentang sosok Tan Malaka yang gagah berani menentang penjajahan
bangsa asing dan bahkan menyerukan perlawanan terhadap penindasan.
Setelah keliling di berbagai kabupaten di Sumatera Barat, Saya dapat menyimpulkan bahwa sosok Tan
Malaka adalah salah seorang pejuang kemerdekaan yang sangat dihormati warga terutama orang-orang tua yang berumur 70an keatas. Dimana Daerah Sumatera
Barat juga merupakan daerah yang penganut islam sangat fanatik sampai
sekarang ini. Bahkan ketika waktu kunjungan ke Sumatera Barat, pemenang
pilkada provinsi adalah Irwan Prayitno, salah satu kader terbaik Partai
Keadilan Sejahtera (PKS).
Nah, Mengapa FPI masih menolak
Tan Malaka dan Pemikirannya ?. Toh ternyata pengikut ideologis Tan
Malaka rata-rata penganut paham islam. Seandainya agama dibenci Tan Malaka, tentunya
pengikut ideologisnya pun tidak akan menjalankan agama. Islam bahkan makin subur di tanah kelahiran Tan Malaka di Tanah Minang. Penolakan Front Pembela Islam (FPI) terhadap Monolog
Tan Malaka dapat dianggap karena tidak paham latar belakang dan hasil akhir
dari ajaran Tan Malaka.
No comments:
Post a Comment