Mustang (29) duduk termenung memandang air laut di bawah rumah panggungnya di pesisir Desa Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, Jumat (3/11). Delapan tahun sudah nasibnya keruh, seolah mengikuti keruhnya laut di hadapannya itu.
Aktivitas nelayan di Kampung Kenanga dan Kampung Mustang siang itu agak lengang. Perahu kecil berkapasitas dua orang hanya tertambat di kolong rumah. Anak-anak kecil berenang dalam air laut yang berwarna kemerahan.
“Maaf ini, duduk kering ki. Saya tidak melaut beberapa minggu, jadi tidak ada uang,” kata Mustang. Istilah “duduk kering” berarti tuan rumah tidak menyediakan minuman bagi tamunya.
Saat penambangan nikel mulai marak satu dekade lalu di Desa Hakatutobu, warga bak kehilangan arah. Teripang dan rumput laut yang menjadi andalan penghasilan warga pergi menjauh. Setelah mengeruk kekayaan desa, perusahaan tambang hengkang dan meninggalkan dampaknya.
Bagi Mustang, melaut kini suatu kemewahan. Untuk menjala ikan, ia harus berlayar hingga Teluk Bone, sekitar enam jam perjalanan dari desanya. Butuh biaya minimal Rp 400.000 untuk membeli bahan bakar. Namun, tak jarang Mustang merugi karena ikan yang diperoleh tidak sebanding dengan biaya melaut. Karena itu, diam di rumah pun menjadi pilihan rasional. “Sekarang kalau mencari ikan harus jauh karena laut di sekitar sini sudah tercemar tambang nikel,” ujarnya. Air kemerahan di pesisir desa itu warnanya makin pekat ketika teraduk. Lumpur sedalam sekitar 50 sentimeter juga mengendap di dasarnya.
Di sekitar pesisir Hakatutobu, ada empat dermaga (jetty) yang menghubungkan tempat penampungan bijih nikel (tanah merah bercampur bebatuan) dengan tongkang. Material itu dikeruk dari perbukitan yang menyisakan lubang-lubang berkedalaman lebih dari 5 meter. Ketika hujan datang, tanah dari lokasi tambang merembes menjadi sedimen di pesisir.
Kondisi ini dilaporkan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Sulawesi Tenggara, dikutip dari disertasi Hamzah (Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor 2016) berjudul “Pengembangan Masyarakat Pesisir di Kawasan Tambang Nikel Pomalaa, Sultra”.
Laporan itu menunjukkan bahwa pada 2009, seiring maraknya penambangan, sedimentasi di pesisir dan sungai di Pomalaa mencapai 1.330.281 meter kubik per tahun dengan laju pendangkalan 0,507 meter per tahun. Desa Hakatutobu menjadi salah satu yang terparah.
Keterangan Mustang mengonfirmasi, sejak saat itu, biota laut, seperti ikan dan teripang, menjauh dari pesisir. Produksi teripang di Pomalaa, sesuai data Dinas Kelautan dan Perikanan Kolaka, mencapai 39 ton pada 2006 dan anjlok menjadi 13 ton pada 2014.
Padahal, teripang merupakan komoditas andalan warga karena harganya bisa mencapai Rp 1,3 juta per kilogram dalam kondisi kering. Ini jauh di atas harga rumput laut yang tengah dibudidayakan nelayan.
Masih jernih
Pada 1982, Desa Hakatutobu menjadi sentra budidaya teripang dan rumput laut. Ketika itu, air masih sangat jernih. Saking beningnya, warga setempat kerap menggambarkannya dengan ungkapan “jarum jatuh saja kelihatan”. Laut pun menjadi sumber penghidupan mayoritas dari 1.000 warga desa.
Keruhnya air juga memunculkan bahaya. Nurtia (50), warga lain, mengatakan, tahun lalu, dua keponakannya yang berusia 4 dan 5 tahun tenggelam. “Sekarang, kalau ada yang jatuh ke air, kami tidak tahu karena airnya keruh,” ujar perempuan tersebut seraya meminta pesisir itu ditimbun saja.
Sekretaris Desa Hakatutobu Ruslan Gafur mengatakan, awalnya mereka menolak tambang. “Namun, mulai 2008, semakin banyak penambangan. Akhirnya, warga pasrah dengan beberapa kesepakatan, seperti penambangan tidak merusak pesisir,” ujarnya.
Nestapa serupa juga dirasakan petani tambak di Desa Matandahi, Motui, Kabupaten Konawe Utara, Sultra. Hampir setiap fajar menyingsing, Abdul Azis (59) menatap nanar ke petak-petak tambak miliknya yang kini ditumbuhi rerumputan liar.
Hatinya teriris karena sebagian sumber penghasilannya kini tak bisa lagi diolah. Dulu, ikan bandeng memenuhi petak-petak tambak berukuran 50 meter x 50 meter tersebut.
Kini, selama enam tahun terakhir, petak tambak tersebut mati suri karena terdampak tambang nikel di bukit yang persis berbatasan dengan area tambak di Desa Matandahi. “Sejak 2011, saat musim hujan, tambak-tambak berubah menjadi berwarna merah. Bagaimana ikan bisa hidup dalam kondisi seperti itu?” kata Abdul.
Perubahan warna tersebut akibat aliran air dari bukit lokasi tambang. Air yang mengandung material tambang masuk ke dalam petak-petak tambak.
Tambak-tambak itu tidak lagi diolah sejak 2011, bersamaan perusahaan yang mulai mengeruk bijih nikel di bukit.
Di Desa Matandahi, seluas 50 hektar tambak tidak diolah karena diduga tercemar penambangan dari total 90 hektar tambak di desa itu. Selain Abdul, ada sembilan keluarga lain yang tambaknya tak lagi diolah.
Dosen sosiologi Universitas Haluoleo, Kendari, Peribadi, mengatakan, dampak negatif tambang nikel betul-betul terasa terhadap aspek sosial, ekonomi, dan ekosistem. Hal itu ditemukannya setelah melakukan penelitian di Kabupaten Konawe Selatan pada 2013. “Mayoritas warga tidak dapat apa-apa selain ampasnya saja,” ujarnya
Sumber : Kompas Cetak 6 November 2017
No comments:
Post a Comment