Perizinan tambang yang tidak mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku, apalagi jika disertai dengan praktik buruk korupsi, tidak hanya membawa dampak buruk pada timbulnya kerugian negara, tetapi juga memperparah kerusakan lingkungan. Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi contoh paling nyata, bagaimana kerusakan lingkungan terjadi akibat korupsi terkait izin pertambangan.
Izin-izin tambang yang diperjualbelikan oleh kepala daerah cenderung mengabaikan syarat-syarat krusial terkait dengan keberlangsungan lingkungan yang lestari. Kerusakan alam di sejumlah daerah di Sulawesi Tenggara sebagaimana ditulis Kompas, 6 November 2017, menjadi bukti nyata dari dampak kerusakan lingkungan itu.
Sebelumnya, tahun 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mencermati provinsi yang kaya nikel itu lantaran adanya dugaan praktik perizinan tambang nikel yang diwarnai praktik korupsi oleh Gubernur Sultra Nur Alam.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan izin usaha pertambangan (IUP) di wilayah Sultra tahun 2008-2014. Sejak ditetapkan sebagai tersangka Agustus 2016, KPK telah memeriksa 62 saksi terkait kasus korupsi izin tambang di Sultra yang diduga dilakukan oleh Nur Alam.
Nur Alam diduga memperkaya diri sendiri atau korporasi dengan menerbitkan IUP dan Surat Keterangan (SK) Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) selaku perusahaan pertambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra. Negara dirugikan Rp 1,5 triliun dalam perkara ini.
”Perkara NA (Nur Alam) telah dilimpahkan ke proses penuntutan sehingga tidak lama lagi akan disidangkan di Pengadilan Tipikor. Dalam pekan ini atau pekan depan perkaranya sudah bisa disidangkan. Perkara NA dilimpahkan 31 Oktober lalu,” kata Febri Diansyah, Juru Bicara KPK, Senin (6/11) di Jakarta.
Selain Nur Alam, KPK juga sedang memproses dugaan suap yang diterima mantan Bupati Konawe Utara, Sultra, Aswad Sulaiman. Ia diduga menerima suap dari sejumlah perusahaan pertambangan nikel swasta dengan mengabaikan prosedur yang berlaku.
Total, negara dirugikan Rp 2,7 triliun akibat perbuatan korupsi yang diduga dilakukan Aswad. KPK menduga Aswad menerima suap dalam rentang waktu 2007-2014. Indikasi kerugian negara Rp 2,7 triliun diperoleh KPK dari catatan penjualan hasil produksi nikel, yang diduga diperoleh akibat proses perizinan yang dikeluarkan Aswad selama menjadi bupati, sarat dengan praktik korupsi.
9.155 IUP
Deputi Bidang Pencegahan KPK Pahala Nainggolan mengatakan, saat ini ada 9.155 IUP yang tersebar di seluruh daerah di Indonesia. Dari jumlah itu, baru 6.638 IUP yang sudah memenui syarat clear and clean (CNC) sebagaimana disyaratkan oleh Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) Nomor 43 Tahun 2015 tentang Tata Cara Evaluasi Penerbitan Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
”Permen ESDM nomor 43 itu mengatur detail tentang syarat-syarat suatu IUP bisa dikeluarkan oleh provinsi. Jadi, tidak bisa semena-sema lagi seperti dulu ketika izin pertambangam bisa dikeluarkan oleh kabupaten. Permen itu mengatur izin pertambangan kini dikeluarkan oleh provinsi,” tutur Pahala.
Permen ESDM No 43/2015 juga memudahkan pengawasan terhadap penerbitan IUP oleh gubernur karena praktis kini hanya 33 daerah yang dimonitor oleh Kementerian ESDM dan KPK. Berbeda dengan kondisi sebelumnya ketika KPK dan Kementerian ESDM harus memantau semua kabupaten di Indonesia yang berjumlah 415.
Ada potensi sekitar 3.000 IUP ilegal apabila proyek pertambangan masih dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang. Huruf Besar
Dari total 6.638 IUP yang dinyatakan telah memenuhi syarat CNC, KPK mencatat sekitar 3.000 telah habis izinnya atau masa produksi dan eksplorasinya habis. Dengan status itu, ada potensi sekitar 3.000 IUP ilegal apabila proyek pertambangan masih dilakukan oleh perusahaan-perusahaan tambang yang luput dari pengawasan pemerintah.
”Ada dua hal yang kami dorong. Pertama, agar Kementerian ESDM mengeluarkan SK untuk menegaskan status mati atau habisnya suatu izin pertambangan terhadap perusahaan-perusahaan yang IUP-nya sudah habis. Itu penting untuk menghindari pertambangan terus dilakukan perusahaan itu kendati IUP mereka telah habis dan semestinya secara otomatis usaha pertambangan mereka harus berhenti,” kata Pahala.
Kedua, KPK mendorong Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) untuk memperjelas status izin pertambangan yang diberikan kepada perusahaan tambang, yaitu apakah izinnya sebatas eksplorasi atau telah dinaikkan statusnya menjadi operasi produksi.
”Pengalaman di masa lalu, terjadi ketidakjelasan status pertambangan, apakah masih tahapan eksplorasi atau sudah dinaikkan menjadi izin operasi produksi. Hal ini membuka celah pada praktik penyalahgunaan izin dan wewenang,” ujar Pahala.
Kendati demikian, potensi korupsi di dalam perizinan pertambangan berusaha ditekan oleh KPK melalui pemantauan dan pendampingan intensif kepada Ditjen Minerba dan daerah-daerah. Penerbitan izin oleh provinsi pun membantu perbaikan perizinan tambang.
”Jika dulu saat kabupaten masih bisa mengeluarkan izin tambang, kerap ditemui dokumen perizinan tidak lengkap, royalti pertambangan tidak dibayarkan, koordinat wilayah pertambangan yang tidak tepat, dan aneka masalah lainnya. Dengan perizinan di tangan provinsi, segala permasalahan itu berupaya diatasi,” ucapnya.
Problem lain bagi IUP yang belum memenuhi syarat CNC, menurut Pahala, adalah gugatan hukum di pengadilan. Kerap kali perusahaan-perusahaan tambang itu memenangi gugatan di pengadilan meskipun mereka tak memenuhi persyaratan.
”Itu salah satu kendalanya. Bagaimana mungkin pengadilan memenangkan perusahaan tambang yang jelas-jelas tidak memenuhi syarat izin pertambangan,” ujarnya.
Kerap kali perusahaan-perusahaan tambang itu memenangi gugatan di pengadilan meskipun mereka tak memenuhi persyaratan
Pahala mengatakan, potensi kerusakan lingkungan akan terus membebani negara apabila tidak ada tindakan tegas dalam penertiban izin pertambangan di daerah. Jual-beli IUP kerap dijadikan alat oleh kepala daerah untuk menangguk untung demi kepentingan politik sesaat, yakni pemilihan kepala daerah (pilkada). Bahkan, sejumlah tokoh telah lama mengistilahkan IUP bukan sebagai izin usaha pertambangan, melainkan izin usaha pilkada.
”Setiap kali menjelang pilkada, IUP ramai-ramai diterbitkan oleh daerah. Ini bisa menjadi indikasi dari adanya jual beli perizinan tambang yang dilakukan oleh kepala daerah,” kata Pahala.
”Bila praktik buruk ini terus dipelihara oleh kepala daerah, kerugian terbesar harus ditanggung oleh masyarakat dan lingkungan yang rusak parah. Sebab, dengan IUP yang tak sesuai aturan, perusahaan-perusahaan tambang itu bisa seenaknya menghindari kewajiban reklamasi dan perbaikan lingkungan pascatambang,” lanjutnya.
Dari catatan KPK, perusahaan tambang juga banyak yang menghindari pajak royalti. Totalnya sekitar Rp 3 triliun,” ucap Pahala.
Industri smelter
Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara memang menjadi basis produksi bahan baku nikel untuk memasok industri smelter (pemurnian dan pengolahan) serta turunannya. Direktur Jenderal Pengembangan Perwilayahan Industri Kementerian Perindustrian Imam Haryono menyebutkan, Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara, terutama di sekitar Kabupaten Konawe, memiliki cadangan bahan baku nikel yang sangat besar.
”Saat ini, industri smelter di Kawasan Industri Konawe yang dibangun PT Virtue Dragon Nickel Industry untuk kapasitas produksi Nickel Pig Iron (NPI) 10-12% 600.000 ton per tahun telah dioperasikan dan berproduksi. Sebanyak 5 furnaces (tungku) dari total rencana 15 furnaces sudah beroperasi,” tutur Imam.
Adapun pabrik kedua yang dibangun PT Obsidian Stainless Steel untuk kapasitas 1,2 juta ton NPI 10-12% per tahun dan kapasitas 3 juta ton per tahun untuk produk stainless steel (baja tahan karat) sedang dalam tahap pembangunan atau konstruksi.
Imam mengakui, yang menjadi kendala saat ini dalam pengembangan Kawasan Industri Konawe adalah permasalahan lahan, yakni di dalam deliniasi Kawasan Industri Konawe terdapat Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) Kementerian Pertanian serta aset saluran irigasi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
Meskipun demikian, telah diambil beberapa langkah penyelesaian, yaitu mengidentifikasi luasan lahan Kawasan Industri Konawe yang beririsan dengan LP2B dan aset saluran irigasi yang akan menjadi dasar untuk dilakukannya pengalihan lahan dan aset tersebut yang saat ini prosesnya sedang terus dipercepat penyelesaiannya.
Imam mengatakan, keberadaan industri pemurnian dan pengolahan nikel dan turunannya tersebut akan berdampak terhadap perkembangan ekonomi daerah, berupa peningkatan penerimaan pajak, pendapatan per kapita, dan produk domestik regional bruto (PDRB) seperti halnya yang sudah berjalan di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.
”Bertumbuhnya hilirisasi industri smelter nikel akan menarik investasi, menyerap tenaga kerja, serta membangkitkan kegiatan pendukung industri dan jasa di sekitar kawasan industri,” ujar Imam.
Pada akhirnya, lanjut Imam, diharapkan Kawasan Industri Konawe bertumbuh dan berkembang menjadi sebuah kota industri baru.
Menurut Imam, penyerapan tenaga kerja di Kawasan Industri Konawe saat ini mencapai 1.500 tenaga kerja asing dan 4.000 tenaga kerja lokal. Jumlah tenaga kerja langsung dan tidak langsung yang diperkirakan akan mampu diserap tahun 2021 mendatang sebanyak 16.500 orang.
Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM Sultra Muhammad Hasbullah Idris mengatakan, sebenarnya sejak aturan larangan ekspor mineral mentah berlaku pada Januari 2014, banyak perusahaan tambang nikel di Sultra ”tidur”.
”Aktivitas mulai bergeliat lagi sejak akhir 2015 sampai sekarang karena terbuka peluang menjual (bijih nikel) di dalam negeri,” katanya.
Terkait dampak tambang terhadap lingkungan, Hasbullah menyebutkan, pengawasan akan diintensifkan melalui perangkat inspektur tambang yang dibentuk sejak Januari 2017. Para inspektur tambang itu merupakan pegawai Kementerian ESDM yang statusnya dialihkan dari pegawai daerah.
Hasbullah mengatakan, kini Sultra memiliki 69 inspektur tambang. Jumlah itu belum ideal karena banyaknya IUP yang harus diawasi dan tersebar di wilayah daratan serta kepulauan provinsi tersebut.
Sumber : Kompas Cetak 6 November 2017
No comments:
Post a Comment