Ilustrasi : Tambang merusak lahan penghidupan warga |
Masyarakat Hakatutobu, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara, menyambut baik rencana Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang akan terjun ke lokasi terdampak pertambangan nikel di provinsi itu. Warga berharap lingkungan kembali dipulihkan agar kehidupan lebih sehat.
“Kami hanya ingin lingkungan yang rusak kembali dipulihkan. Bekas galian tambang bisa direklamasi, misalnya,” ujar Asep Solihani dari Forum Pemberdayaan Masyarakat Lokal Kabupaten Kolaka, Selasa (7/11).
Seperti diberitakan, tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) segera mengecek kondisi lingkungan di Sultra yang tercemar penambangan nikel. Jika terjadi pelanggaran hukum, pelakunya ditindak tegas (Kompas, 7/11).
Asep mengatakan, pada Selasa pagi, Pemerintah Provinsi Sultra melalui Dinas Lingkungan Hidup setempat telah terjun ke pesisir Hakatutobu mengambil sampel air laut yang kemerahan karena diduga tercemar tambang nikel. “Pesisir ini juga harus dipulihkan, seperti dengan menanam mangrove,” ujarnya.
Sekretaris Desa Hakatutobu Ruslan Gafur bersama sejumlah warga, Selasa malam, bertemu dengan pemda di Kabupaten Kolaka. Ruslan berharap daerah pesisir dipulihkan karena menjadi ladang nafkah sebagian besar dari 1.018 warga desa yang merupakan nelayan. Ia mengusulkan agar pemerintah fokus memajukan kehidupan nelayan, bukan membuat mereka beralih profesi.
Wilayah pesisir dan perbukitan desa itu rusak diduga akibat penambangan nikel selama bertahun-tahun. Menurut Abadi (42), warga Hakatutobu, meski banyak perusahaan tambang tak lagi beroperasi, dampak dari penambangan belum juga hilang.
Saat hujan, lumpur merah bekas tambang dan aktivitas pengapalan di dermaga (jetty) merembes ke permukiman penduduk di pesisir. Lumpur itu datang dari empat aliran sungai di sekitar bukit menuju pesisir.
Bekas areal tambang juga tidak lagi bisa ditanami karena lubangnya sudah terlampau dalam. “Padahal, desa ini dulunya sentra jambu mete,” ujar Abadi.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Kolaka, luas areal perkebunan jambu mete di Pomalaa anjlok. Tahun 2011 masih terdapat 494 hektar lahan jambu mete, tetapi pada 2016 tersisa 174 hektar. Dalam rentang waktu yang sama, produksi juga turun dari 57,2 ton jadi 15,6 ton.
Asep mengatakan, terdapat 220 hektar lahan yang jadi kubangan bekas tambang di Hakatutobu. Kondisi ini membuat desa yang berjarak sekitar 12 kilometer dari ibu kota Kolaka itu terkepung areal tambang.
Kepala Bidang Tata Lingkungan Dinas Lingkungan Hidup Sultra Aminoto Kamaluddin berjanji akan lebih aktif mengontrol pengelolaan lingkungan perusahaan tambang. Pengecekan fakta lapangan menjadi prioritasnya ke depan.
Selama ini, langkah itu sulit dilakukan karena keterbatasan anggaran. Dinas hanya mengkaji laporan tahunan pengelolaan lingkungan setiap perusahaan untuk melihat dampaknya. Kalau ditemukan indikasi pencemaran dari laporan itu, dinas terkait melayangkan surat agar pengelolaan lingkungan diperbaiki.
Dosen Sosiologi Universitas Haluoleo, Kendari, Peribadi, yang pernah meneliti dampak tambang nikel terhadap masyarakat di Kabupaten Konawe Selatan, Sultra, mengatakan, dibutuhkan solusi pengelolaan tambang yang menyeimbangkan lingkungan, ekonomi, dan sosial. “Kuncinya pada kepemimpinan kepala daerah yang harus peka terhadap masalah ini,” katanya.
Pengolahan
Salah satu perusahaan yang mendirikan fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Sultra, PT Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI), berkomitmen untuk mengelola lingkungan secara baik. PT VDNI membangun pabrik pengolahan bijih nikel menjadi nickel pig iron (NPI) di Desa Morosi, Kecamatan Morosi, Kabupaten Konawe, sejak 2014 dan mulai beroperasi secara bertahap pada September 2017.
Manajer Umum PT VDNI Rudi Rusmadi mengatakan, selain menampung bijih nikel dari sekitar 10 perusahaan tambang lain, PT VDNI juga memiliki konsesi tambang seluas 5.600 hektar dengan cadangan mencapai 250 juta ton nikel. Satu metrik ton NPI diperoleh dari pengolahan 10 ton bijih nikel.
Rudi memastikan, PT VDNI berkomitmen mengelola lingkungan areal tambang. Selain itu, perusahaan-perusahaan pemasok bijih juga diharuskan memenuhi komitmen penataan lingkungan yang baik. Mereka diikat dengan kejelasan dana jaminan reklamasi yang nantinya dipakai untuk reklamasi dan penghijauan kembali lahan bekas tambang.
Dari segi tenaga kerja, menurut Rudi, saat ini perusahaan mempekerjakan 2.300 warga lokal dengan 64 persen berasal dari lingkar pabrik yang tersebar di Kecamatan Morosi, Kapoiala, dan Bondoala. “Perusahaan masih membutuhkan tenaga kerja saat produksi penuh pada Maret 2018 dengan proyeksi kebutuhan 8.000 orang,” ujarnya.
Dalam rencana besar perusahaan, perekrutan tenaga kerja lokal terus dilakukan hingga terwujudnya Kawasan Industri Konowe pada 2019. Kawasan itu diproyeksikan menyerap 20.000 tenaga kerja.
Sumber : Kompas Cetak 6 November 2017
No comments:
Post a Comment