Sumber ; Kompas cetak |
Nikel, salah satu hasil tambang Indonesia, digunakan untuk bahan campuran logam-logam bukan besi, baja tahan karat, baja jenis lain, pelapis logam-logam, campuran tahan listrik dan suhu tinggi, besi tuang, katalisator, keramik, magnet, dan sebagainya.
Bachrawi Sanusi dalam tulisannya ”Masa Depan Nikel Indonesia” di rubrik Opini harian Kompas, Senin, 28 Maret 1977, mengungkapkan, bijih nikel di Indonesia ditemukan untuk pertama kali di wilayah Sulawesi pada 1917 oleh Jawatan Pertambangan yang pada masa itu melakukan eksplorasi.
Pada tahun 1935, Boni Tolo Maatschappij, anak perusahaan Oost Borneo Maatschappij, melakukan eksplorasi di sekitar Pomalaa, Kolaka, Pulau Maniang, dan Pulau Lemo. Eksplorasi itu menemukan endapan bijih yang besar.
Pada 1936-1941, usaha penambangan bijih nikel secara sederhana dan selektif dimulai. Pada 1942-1945, usaha penambangannya diperluas hingga Pulau Maniang. Pada akhir Perang Dunia II, Jepang membangun sebuah pabrik nikel matte.
Setelah Indonesia merdeka, 1947-1950, perusahaan Amerika Serikat, Freeport Sulphur Company—yang kemudian bernama Oost Borneo Maatschappij—berupaya menambang nikel. Namun, kondisi keamanan menjadi kendala utama sehingga kedua perusahaan Jepang dan AS tersebut tidak berhasil.
Pada 1957, penambangannya diusahakan oleh NV Perto (Pertambangan Toraja). Pada 1961, perusahaan ini diambil alih pemerintah dan usahanya dilanjutkan PT (Negara) Pertambangan Nikel Indonesia.
Pada 1962, BPU Perusahaan Tambang Umum Negara dan PT Pertambangan Nikel Indonesia menandatangani kontrak dengan Sulawesi Nickel Development Co Ltd (Sunideco) untuk mengusahakan pengembangan nikel di Pomalaa, Kolaka.
Pada 1968, BPU Perusahaan Tambang Umum Negara diubah menjadi Perusahaan Negara Aneka Tambang dan PT Pertambangan Nikel Indonesia menjadi Unit Pertambangan Nikel Pomalaa. Pada Juni 1974, PN Aneka tambang menjadi persero, yaitu PT Aneka Tambang.
Sebagian besar bijih nikel Indonesia diekspor ke Jepang. Produksi nikel pada 1969 tercatat 256.213 ton. Dua tahun kemudian, pada 1971, produksi mencapai 900.000 ton. Pada 1972 produksi naik menjadi 935.000 ton. Pada 1975, produksinya turun menjadi 801.000 ton, tetapi pada 1976 naik lagi menjadi 828.816 ton.
Sumber nikel terdapat di Sulawesi Tengah, persisnya di Soroako yang memiliki cadangan 700.000 ton dan di Bulubalang dengan cadangan 320.000 ton. Di Sulawesi Tenggara, sumber nikel terdapat di Pomalaa dengan cadangan 1,37 juta ton, sedangkan Pulau Maniang memiliki cadangan 62.000 ton.
Harian Kompas, Rabu, 15 Juni 1977, melaporkan, Menteri Pertambangan (masa itu) Prof Sadli menyebutkan, Indonesia mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia. Sekitar 15 persen dari seluruh cadangan nikel di dunia berada di Indonesia.
Undang investor asing
Pada 1967, Pemerintah Indonesia menawari para pengusaha nikel asing yang berminat mengolah tambang nikel di danau-danau di Sulawesi Tenggara. Menteri Pertambangan (masa itu) Ir Bratanata, Rabu, 10 Mei 1967, secara resmi membuka tender kepada investor asing dalam pertemuan dengan wakil-wakil Kedutaan Besar negara-negara sahabat di Jakarta.
Menteri Bratanata mempersilakan para pengusaha asing mengajukan penawaran kepada Pemerintah Indonesia sebelum 30 Oktober 1967. Bratanata seperti diwartakan harian Kompas, Kamis, 11 Mei 1967, halaman 1 menyebutkan, kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia berlimpah ruah, tetapi karena kesulitan biaya untuk mengolahnya, Indonesia mengundang pengusaha asing untuk menanamkan investasi.
"Kekayaan yang terkandung di bumi Indonesia berlimpah ruah, tetapi karena kesulitan biaya untuk mengolahnya, Indonesia mengundang pengusaha asing untuk menanamkan investasi"
Penawaran kepada investor asing tersebut, kata Bratanata, untuk mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing bagi pembangunan ekonomi. Dalam UU Penanaman Modal Asing itu, disebutkan investasi modal asing di bidang pertambangan harus dalam bentuk joint venture dengan pemerintah, berdasarkan ”kontrak karya”.
Sampai Mei 1967, sudah 15 pengusaha nikel dari sejumlah negara yang mengajukan penawaran untuk mengolah tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Empat dari 15 pengusaha nikel tersebut merupakan pengusaha nikel terbesar di dunia. Pemerintah Indonesia akan memilih pengusaha yang paling bonafide dan sanggup memberikan syarat-syarat yang menguntungkan Indonesia.
Dalam harian Kompas, Rabu, 12 Juli 1967, Menteri Pertambangan Ir Bratanata mengungkapkan, antara tahun 1968 dan 1977 dibuka empat tambang baru yang dikelola investor asing dari Eropa dengan modal 400 juta dollar AS. Keempat tambang tersebut adalah tambang tembaga di Irian Barat (sekarang disebut Papua) dan Sulawesi, tambang bauksit di Kepulauan Riau, Singkap, dan Kalimantan, serta tambang timah di sekitar Selat Malaka.
Jika keempat tambang tersebut sudah beroperasi, pemerintah akan mendapatkan tambahan pendapatan nasional sebesar 130 juta dollar AS setahun dan membuka lapangan kerja untuk 15.000 orang.
Kontrak karya dengan INCO
Pada Sabtu, 27 Juli 1968, Pemerintah Indonesia menandatangani kontrak karya dengan International Nickel Company (INCO) dari Kanada untuk mengembangkan tambang nikel di Sulawesi.
Penandatanganan kontrak karya tersebut dilakukan Menteri Pertambangan (masa itu) Prof Ir Sumantri Brodjonegoro mewakili Pemerintah Indonesia dan Ketua Dewan Direksi INCO Henry S Wingate, yang juga Direktur Utama PT International Nickel Indonesia.
Acara penandatanganan kontrak karya di Departemen Pertambangan (sekarang disebut Kementerian ESDM) itu, menurut harian Kompas, Senin, 29 Juli 1968, disaksikan antara lain Duta Besar Kanada untuk Indonesia WGM Olivier dan Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Marshall Green serta Menteri Tenaga Kerja Laksamana Murshalin.
Wilayah operasi PT INCO meliputi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah, terutama daerah Malili, Bulubalang, dan Soroako seluas 75.000 mil persegi (atau setara dengan 194.249 kilometer persegi).
Pada tahun-tahun pertama, PT International Nickel Indonesia yang dibentuk sebagai pelaksanaan kontrak karya melakukan eksplorasi nikel dengan biaya minimal 1,5 juta dollar AS. Bila eksplorasi itu sesuai harapan, perusahaan itu akan menanamkan investasi minimal 75 juta dollar AS untuk membiayai pengolahan bijih nikel kadar rendah, termasuk memasarkan hasilnya. Dalam tiga tahun setelah itu, PT INCO diwajibkan menjual 25 persen sahamnya kepada Pemerintah Indonesia atau kepada perusahaan swasta nasional.
"Pembukaan tambang nikel di Sulawesi dimulai 5 Agustus 1968, diawali dengan eksplorasi oleh para ahli dari PT INCO"
Pembukaan tambang nikel di Sulawesi dimulai 5 Agustus 1968, diawali dengan eksplorasi oleh para ahli dari PT INCO. Menurut harian Kompas, Kamis, 1 Agustus 1968, para ahli tersebut dikirim ke Sulawesi dengan pesawat amfibi dan kapal laut. Perusahaan ini mempekerjakan sekitar 500 tenaga Indonesia, termasuk tenaga ahli dari Direktorat Geologi di Bandung.
William L Bell dari International Nickel Company (INCO) Kanada menyebutkan, pada tahun 1968, PT INCO sudah mengeluarkan 1,179 juta dollar AS—belum termasuk uang muka pajak sebesar 500.000 dollar AS di Indonesia. Dalam empat bulan pertama tahun 1969, PT INCO mengeluarkan 200.000 dollar AS per bulan.
Harian Kompas, Jumat, 4 Juli 1969, mewartakan, PT INCO juga memberi hadiah senilai 10.000 dollar AS kepada Universitas Hasanuddin Makassar untuk membeli peralatan dan perlengkapan serta membiayai program pemberantasan malaria di Malili, Sulawesi Tenggara.
Demikianlah sekelumit sejarah pertambangan nikel di Indonesia. (DIOLAH DARI ARSIP HARIAN KOMPAS)
Sumber : Kompas Cetak 6 November 2017
No comments:
Post a Comment