Friday, November 10, 2017

TAMBANG NIKEL CEMARI SULTRA

Mendesak, Rehabilitasi Lahan

Kendari, Kompas - Sejumlah wilayah di Sulawesi Tenggara, terutama kawasan-kawasan pusat penambangan nikel, kini tercemar. Pencemaran lingkungan itu membuat warga yang menggantungkan hidup dari sektor tradisional, termasuk perikanan merana.

Ilustrasi, Tambang Cemari Laut
Penambangan nikel di Sultra menjamur sejak tahun 2008. Saat itu, izin usaha pertambangan (IUP), kewenangannya masih berada di tingkat kabupaten/kota banyak diterbitkan. Hingga kini, sesui data Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Pemprov Sultra, dari total 389 IUP, 109 Merupakan IUP Nikel yang terdiri dari 188 IUP Operasi produksi dan 8 IUP Eksplorasi. Sebaran wilayah nikel di Sultra meliputi Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, Konawe Utara, Konawe Selatan, Bombana dan Buton. Aktivitas pertambangan mengeruk berton-ton tanah yang mengandung nikel (bijih). 

Dari pemantauan tim Kompas di Kolaka dan Konawe Utara pada jumat (3/11), kerusakan terhadap bentang alam terlihat jelas. Lahan-lahan hijau yang terkupas oleh alat-alat berat menjadi merah dan gersang. Sejumlah bukit juga tampak bopeng-bopeng. 

Di Desa Hakatutobu, Pomalaa, KabupAten Kolaka, Bukit terkelupas tampak di sisi jalan. Di Daerah itu terdapat dua perusahaan yang masih aktif menambang dan dua perusahaan lain telah meninggalkan lokasi tambang dengan kondisi lingkungan belum dipulihkan. Jalur menuju area pertambangan berlumpur merah. Meski ada pepohonan rindang disisi jalan, dibaliknya menganga lubang-lubang bekas galian tambang. Laut di desa Hakatutobu, yang juga pusat pemukiman warga, tidak lagi berwarna biru, tetapi kemerahan. Lumpur sedalam sekitar 50 sentimeter mengendap. Di pesisir itu juga terdapat tempat penumpukan bijih nikel hasil penambangan. Tumpukan tersebut akan diangkut ke tongkang melalui dermaga (jetty) yang terhubung dengan tempat penumpukan bijih.

Di Desa Mandiodo, Molawe, Kabupaten Konawe Utara, Pertambangan nikel kebanyakan berada di pegunungan berhutan lebat. Lokasi tambang berjarak sekitar 1 kilometer dari pemukiman warga. Lokasi galian terlihat seperti longsoran yang ditengah hutan lebat. Ada juga lahan tambang yang tak jauh dari pantai. Bekas galian membentuk ceruk-ceruk yang di tengahnya ada genangan air. Air laut yang memerah juga terlihat di sisi barat salah satu jetty di Mandiodo. Bagian air yang memerah itu menjorok hingga 50 meter ke laut selebar 30 meter. Potongan kayu dan berbagai jenis sampah yang terempas di Pantai pun berwarna merah. Di Jetty ada tumpukan bijih nikel berwarna merah.

NELAYAN TERDAMPAK

Akibat kondisi itu, nelayan harus melaut lebih jauh karena populasi ikan di perairan desa anjlok. "Saya yang bermodalkan perahu ketinting harus menempuh jarak dua jam ke laut dalam untuk mencari ikan. Padahal dulu ikan dengan gampang di pukat di sekitar pantai", Kata rumang (49), Nelayan desa Mandiodo. Rumang adalah salah satu dari sekitar 20 nelayan yang menekuni pekerjaan itu setelah pertambangan masuk ke daerah itu pada tahun 2007-2008. 

Nelayan lain beralih pekerjaan menjadi buruh tambang. Berkurangnya populasi ikan di perairan diduga disebabkan material dari aktivitas penambangan nikel di pegunungan dan dermaga pengapalan yang merembes ke laut saat musim hujan. Rumang menuturukan, sebelum tambang beroperasi, sehari ia bisa meraup minimal Rp. 300.000 dari penangkapan ikan di perairan Mandiodo. Dengan tempuh yang makin jauh dan setelah dikurang biaya bahan bakar, saat ini Rumang hanya mendapatkan rata-rata Rp. 100.000 dari semalam melaut. 

Menurut Sekretaris Desa Hakatutobu, Ruslan Gafur, Penambangan nikel di desanya mulai marak sekitar tahun 2008. Menurut Dia, terdapat empat perusahaan pemegang IUP di wilayah desa itu. "ada pemegang IUP yang memberikan pekerjaan penambangan kepada rekanan kontraktor (joint operation/JO). ada lebih dari 10 JO. Ini yang merusak", Ujarnya. Ruslan mengatakan, Para penambang mengeruk perbukitan, tetapi tidak mempertimbangkan daya dukung lingkungan. Indikatornya, tidak ada dam penampungan agar tanah merah tidak menyentuh pesisir. 

Kepala Bidang Mineral Dan Batubara, Dinas ESDM Sultra, Muhammad Hasbullah Indris mengatakan, Sejak aturan larangan ekspor mineral mentah berlaku pada tahun 2014, Banyak perusahaan nikel di Sultra "Tidur". "Aktivitas mulai bergeliat lagi sejak akhir 2015 sampai sekarang, karena terbuka peluang menjual (bijih nikel) dalam negeri' Katanya.

INSTENSIFKAN PENGAWASAN

Terkait dampak tambang terhadap lingkungan, Hasbullah mengatakan, Pengawasan akan diintensifkan melalui perangkat inspektur tambang yang dibentuk sejak januari 2017. Para inspektur tambang itu merupakan pegawai kementerian ESDM yang statusnya dialihkan dari pegawai daerah. Hasbullah mengatakan, Kini Sultra memiliki 69 inspektur tambang. Jumlah itu belum ideal karena banyaknya IUP yang harus diawasi dan tersebar di Wilayah daratan serta kepualauan provinsi itu.

Direktur Walhi Sultra, Kisran Makati meminta upaya pemulihan lahan bekas tambang serta dampak di sejumlah wilayah pesisir dan pertanian segera dilakukan. " Perusahaan yang bermasalah, misalnya menambang di hutan, harus segera diproses secara hukum" ujarnya.

Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), MR Karliansyah mengatakan, Terdapat 557.000 hektar lahan akses terbuka akibat tambang di Seluruh Indonesia. Area rusak ini hampir seluas pulau ali yang memiliki luas 578.060 Hektar (BPS 2015). Dari luasan ini, KLHK baru menverifikasi di Lapangan seluas 6.368 Hektar. KLHK mengahadapi kendala rehabilitasi lahan akses terbuka pada area yang bukan dikuasai pemerintah seperti area konsesi perusahaan ataupun milik perseorangan.

Sumber : Kompas Cetak 6 November 2017

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...