Hasil Perolehan Suara PILPRES 2014 versi KPU RI yang dikutip dari Kompas.co di Sulawesi Tenggara yakni Prabowo-Hatta: 511.134 (45,10 persen) dan Jokowi-JK: 622.217 (54,90 persen)
Sedangkan Hasil PILPRES 2019 versi quick qount Poltraking di Sulawesi Tenggara menunjukkan, Jokowi-Ma’ruf sebesar 46,08 persen dan Prabowo - Sandi sebesar 53,92 persen.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sehingga Jokowi - Maruf Amin kalah di Sulawesi Tenggara ?.
Menurut saya dipengaruhi beberapa faktor yakni, pertama elit politisi Sulawesi Tenggara banyak terkena hukuman korupsi pada masa kepemimpinan Jokowi - JK. Padahal kalau mau berpikir jernih, politisi korup bukan terkait dengan Jokowi, melainkan statusnya yang bersalah sehingga terkena OTT dan penangkapan oleh KPK. Murni karena status hukum, tapi itulah politik.
Kasus pertama adalah Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang tertangkap KPK karena korupsi dalam sektor pertambangan. Kader Partai PAN itu mengeluarkan Izin - izin pertambangan seenaknya, sehingga menimbulkan kerugian negara ditaksir mencapai 4,3 trilliun rupiah, lebih besar dari korupsi E-KTP yang nilainya hanya 2,3 triliun rupiah.
Nur Alam memegang kekuasaan di Sulawesi Tenggara sebanyak 2 periode atau 10 tahun menjadi Gubernur. Tentunya banyak melahirkan kader - kader yang sekarang memegang kekuasaan di Kota Kabupaten.
Kery Saiful Konggoasa, yang menjabat Bupati 2 periode Kabupaten Konawe. Ia dari kelas bawah, kelas peminum ballo jalanan dan preman diangkat perlahan-lahan Nur Alam sampai menjadi Bupati. Kader PAN Konawe itu tentunya walau bagaiman sakit hati ketika gurunya danatau kakaknya ditangkap KPK. Ia kerap melontarkan mendukung Jokowi 2 Periode, tapi itu hanya akal-akalan saja untuk selamatkan diri dari investigasi KPK yang setiap saat mengintainya sekarang ini. Pergerakan Kery sesungguhnya adalah melawan rezim Jokowi dengan cara-cara halus seperti yang terlihat kekalahan Jokowi di wilayah daratan Sulawsi Tenggara.
Selain Kery, Kader militan Nur Alam ada juga di pulau seperti Bupati Muna Barat, Laode Rajiun Tumada dan Bupati Buton Utara, Abu Hasan serta Bupati Kolaka Timur sekaligus Ketua Partai NasDem Sultra, Tony Herbiansyah.
Walaupun Bupati Muna Barat, Rajiun Tumada bergabung dengan Partai NasDem, besutan Surya Paloh tapi dia masih mendengarkan instruksi Nur Alam daripada instruksi Surya Paloh untuk memenangkan Jokowi - Amin di Sulawesi Tenggara.
Begitupun dengan lingkaran inti NasDem di Sulawesi Tenggara yang dipimpin Tony Herbiansyah. Didalamnya ada lingkaran inti Lukman Abunawas, Wakil Gubernur Sultra dll. Walau sudah bergabung dengan Partai pengusung Jokowi - Amin, tapi pasti lebih mendengarkan instruksi Nur Alam daripada Surya Paloh atau Gubernur Ali Mazi.
Selain itu, Istri Nur Alam, Tina yang sebelumnya menjadi anggota legislatif DPR RI Partai PAN, tiba-tiba mundur dan mencalonkan kembali maju DPR RI melalui Partai NasDem. Ia berkali-kali duduk bareng dengan Surya Paloh di Kendari. Tapi tak pernah sama sekali mendengarkan instruksi untuk memenangkan Jokowi di Kota Kendari khususnya dan Sulawesi Tenggara. Partai tempat bergabung bukan semata-mata untuk mengikuti garis ideologi partai tapi lebih pada menyalamatkan diri masing-masing agar tidak diganggu dengan kekuasaan Jokowi kedepan.
Kasus kedua adalah geng Asrun mantan Walikota Kendari 2 periode dan anaknya, Adriatma Dwi Putra, Walikota Kendari yang tertangkap tangan dalam suap Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara.
Asrun memiliki pengaruh terhadap Bupati Konawe Selatan, Surunuddin (Partai Golkar), Bupati Kolaka Ahmad Syafei serta Mantan Bupati Konawe Selatan, Imran yang juga Ketua Gerindra Sulawesi Tenggara. Untuk pendukung militan Asrun yang berada di Konawe Selatan, Kota Kendari dan Kolaka tentunya sangat membenci dengan Pemerintahan Jokowi karena kegagalan menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara berakhir di tahanan KPK. Sekedar info, Asrun terjerat kasus korupsi dan kasus politik dinasti.
Kasus ketiga, tertangkapnya Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat oleh KPK. Ia terjaring KPK karena OTT suap proyek tahun 2018 lalu. Selain itu, ia juga termasuk kader politik dinasti di Sulawesi Tenggara. Safei Kahar, orang tuanya menjabat 2 periode Bupati Buton Selatan dan kemudian mengangkat anaknya menjadi Bupati pengganti. Ironis penangkapannya Agus Feisal disaat Safei Kahar, Orang tuanya bertarung dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara. Mirip kasus yang menimpa Asrun dan Adriatma Dwi Putra.
Kekuatan Safei Kahar tentunya pernah mengusai wilayah Buton. Pendukung militannya tentu tidak akan pernah mendukung Jokowi menjadi Presiden 2 periode. Kini Safei Kahar bertarung melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menuju kursi DPR RI senayan. Walau bergabung dengan Partai Pendukung Jokowi tapi isi hatinya masih dendam dan tak akan pernah mendukung Pemerintahan Jokowi. Padahal yang menangkap anaknya adalah KPK, Lembaga hukum yang mengurusi korupsi para pejabat di Indonesia.
Kedua, Oposisi lebih agresif karena didukung tokoh-tokoh mumpuni. Imran, Mantan Bupati Konawe Selatan yang kini sebagai Ketua Gerindra Sulawesi Tenggara mempunyai cukup luas untuk wilayah daratan di Sulawesi Tenggara. Model pergerakan Imran dengan cara perkawinan politik.
Siska Imran, anak perempuannya dikawinkan dengan Adriatma Dwi Putra, Walikota Kendari Terpilih yang kini menjadi tahanan KPK RI. Anak Asrun, Mantan Walikota 2 periode di Kota Kendari. Selain itu, anak lakinya Wahyu Ade Pratama dikawinkan dengan anak perempuan Ahmad Safei, Bupati Kolaka.
Sebagai oposisi mati-matian akan memenangkan Prabowo dan menenggelamkan Jokowi di Sulawesi Tenggara. Tentunya, ia pasti gunakan segala cara mengalahkan Jokowi demi nama baik di internal Gerindra Pusat dan sekaligus BALAS DENDAM buat besannya (Asrun) dan mantunya (Adriatma Dwi Putra) yang terciduk KPK pada saat mencalonkan diri menjadi Gubernur tahun 2018 lalu. Kekuatan politik Imran cukup luas khususnya didaratan Sulawesi Tenggara. Ia mempunyai pasukan militan di Konawe Selatan, Kendari dan Kolaka. Kini ia terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili Partai Gerindra dari Sulawesi Tenggara. Ia menyingkirkan incumbent, Haerul Saleh yang duduk di DPR RI 5 tahun lalu.
Selain itu, Partai Demokrat terutama Umar Arsal dan Rusda Mahmud mempunyai massa militan. Umar Arsal mempunyai massa militan di Pulau Buton dan Rusda Mahmud menguasai massa dari tanah bugis yang hidup di Konawe Selatan, Bombana, dan Kolaka Raya serta Kendari. Tentunya mereka lebih pro Prabowo dibandingkan Jokowi dalam pemilihan Presiden.
Partai PAN terdapat Fachry Pahlevi, anak kandung Kery Bupati Konawe yang gencar kampanye anti Jokowi demi meraih kekuasaan DPR RI. Begitupun Caleg Provinsi terutama Abdul Rahman Saleh dan Sukarman yang gencar kampanye demi menjadi anggota legislatif Provinsi Sulawesi Tenggara Dapil Kota Kendari.
Kader Partai PKS dari tingkat Kota Kendari sampai tingkat pusat menjelekkan kinerja Jokowi dimana-mana. Beberapa Caleg PKS bahkan setiap hari door to door mempengaruhi warga untuk tidak memilih Jokowi 2 Periode. Hal ini banyak terjadi di Kota Kendari.
Sebelumnya PKS mendudukkan 2 periode Wakil Walikota Kendari, Musaddar Mappasomba. Pada pemilihan Walikota 2018 lalu, kembali merebut kekuasaan dengan mendudukkan Sulkarnain sebagai Wakil Kota Kendari. Setelah Walikota Kendari, Adriatma tertangkap KPK, kini jabatan Walikota dipegang Sulkarnain, kader militan PKS Kota Kendari. Dengan adanya kekuasaan Kota Kendari ditangan PKS maka seenanknya gunakan Camat dan Lurah untuk menjelekkan Jokowi di Masyakarat banyak. Bahkan lebih ironis, Kekuatan Camat dan Lurah ditekan demi menangkan Prabowo dan Caleg PKS di wilayah masing - masing.
Ketiga, gerakan islam terutama kader
Hisbut Tahrir dan HTI yang massif kampanye negatif terkait Jokowi terutama di Kota Kendari.
Sebenarnya HTI banyak menciptakan basis dari kalangan Muhammadyah, terutama Universitas Muhammadyah Kendari. Seiring perkembangan waktu, sayap gerakan mahasiswa PKS makin berkembang ke kampus - kampus lainnya di Kota Kendari. Gerakan sayap PKS makin meningkat yang sebelumnya hanya berputar di Kampus memasuki ruang ruang publik seperti cafe, mesjid, perdagangan online dan seterusnya.
Dalam proses kampanye Presiden - kader HTI sangat militan dengan mempengaruhi pemilih dengan cara door to door dan gunakan media sosial sebagai alat agitasi dan propaganda. Jalur door to door mereka menggarap wilayah pesisir, Haji Haji Kampung, dan kader kader mesjid. Bukan hanya itu, sebagian dari mereka menggunakan Aparat Pemerintahan Kota Kendari untuk menekan masyarakat.
Berita hoax yang banyak dijadikan alat untuk agitasi dan propaganda masyakarat Kota Kendari, sehingga yang kurang literasi termakan dan banyak caci maki di media sosial. Jadi wajar Jokowi kalah telak khususnya di Kota Kendari.
Keempat, Partai pendukung Jokowi tidak bekerja maksimal sukseskan PILPRES, melainkan fokus untuk memenangkan Pemilihan Legislatif di dapil masing-masing.
Secara jumlah Caleg Partai Pendukung Jokowi lebih banyak dibandingkan Caleg Partai pendukung Prabowo. Tetapi Caleg pendukung lebih banyak sosialisasikan diri masing-masing daripada Calon Presiden. Partai pendukung Prabowo (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat) sebaliknya dengan mendahulukan agitasi Calon Presiden Prabowo daripada calegnya. Calegnya mengikut ketika masyarakat sudah mulai percaya berita bohong tentnang Jokowi yang disebar selama ini.
Kelima, Gubernur Alimazi dan Wakil Gubernur, Lukman Abunawas yang sebelumnya duduk karena didukung Koalisi Jokowi Partai NasDem dan Partai Golkar ternyata mulai pecah kongsi. Ali Mazi mendukung penuh Presiden Jokowi tapi basis massanya hanya berada di Kepulauan Buton. Tapi untuk wilayah daratan nampaknya Lukman Abunawas tidak mendukung penuh Jokowi, jadi wajar basis utamanya di Kabupaten Konawe dan sekitarnya kalah.
Jadi faktor kekalahan Jokowi di Sulawesi Tenggara yakni Pertama, gerakan balas dendam 4 elit politisi Sulawesi Tenggara terkena hukuman korupsi pada masa kepemimpinan Jokowi - JK. Kedua, gerakan partai oposisi sangat militan untuk jatuhkan pemerintahan Jokowi. Ketiga, Gerakan Anti Jokowi Hisbut Tahrir dan Islam keras yang terakumulasi pasca pembubaran lembaganya oleh negara. Keempat, Pengurus Partai Pendukung Jokowi di Sulawesi Tenggara tidak bekerja maksimal. Kelima, Pecah kongsi antara Gubernur Ali Mazi dan Wakil Gubernur, Lukman Abunawas.
Terakhir, Pemilihan Presiden sudah lewat, Kita hanya mampu mengamati hasilnya. Prabowo - Sandi menang di Sulawesi Tenggara, berbeda 5 tahun lalu Jokowi sebagai pemenang. Itulah politik, namun Siapapun yang terpilih menjadi Presiden itulah yang terbaik bagi bangsa Indonesia dan Sulawesi Tenggara kedepan.
Sedangkan Hasil PILPRES 2019 versi quick qount Poltraking di Sulawesi Tenggara menunjukkan, Jokowi-Ma’ruf sebesar 46,08 persen dan Prabowo - Sandi sebesar 53,92 persen.
Pertanyaannya, apa yang menyebabkan sehingga Jokowi - Maruf Amin kalah di Sulawesi Tenggara ?.
Menurut saya dipengaruhi beberapa faktor yakni, pertama elit politisi Sulawesi Tenggara banyak terkena hukuman korupsi pada masa kepemimpinan Jokowi - JK. Padahal kalau mau berpikir jernih, politisi korup bukan terkait dengan Jokowi, melainkan statusnya yang bersalah sehingga terkena OTT dan penangkapan oleh KPK. Murni karena status hukum, tapi itulah politik.
Kasus pertama adalah Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara yang tertangkap KPK karena korupsi dalam sektor pertambangan. Kader Partai PAN itu mengeluarkan Izin - izin pertambangan seenaknya, sehingga menimbulkan kerugian negara ditaksir mencapai 4,3 trilliun rupiah, lebih besar dari korupsi E-KTP yang nilainya hanya 2,3 triliun rupiah.
Nur Alam memegang kekuasaan di Sulawesi Tenggara sebanyak 2 periode atau 10 tahun menjadi Gubernur. Tentunya banyak melahirkan kader - kader yang sekarang memegang kekuasaan di Kota Kabupaten.
Kery Saiful Konggoasa, yang menjabat Bupati 2 periode Kabupaten Konawe. Ia dari kelas bawah, kelas peminum ballo jalanan dan preman diangkat perlahan-lahan Nur Alam sampai menjadi Bupati. Kader PAN Konawe itu tentunya walau bagaiman sakit hati ketika gurunya danatau kakaknya ditangkap KPK. Ia kerap melontarkan mendukung Jokowi 2 Periode, tapi itu hanya akal-akalan saja untuk selamatkan diri dari investigasi KPK yang setiap saat mengintainya sekarang ini. Pergerakan Kery sesungguhnya adalah melawan rezim Jokowi dengan cara-cara halus seperti yang terlihat kekalahan Jokowi di wilayah daratan Sulawsi Tenggara.
Selain Kery, Kader militan Nur Alam ada juga di pulau seperti Bupati Muna Barat, Laode Rajiun Tumada dan Bupati Buton Utara, Abu Hasan serta Bupati Kolaka Timur sekaligus Ketua Partai NasDem Sultra, Tony Herbiansyah.
Walaupun Bupati Muna Barat, Rajiun Tumada bergabung dengan Partai NasDem, besutan Surya Paloh tapi dia masih mendengarkan instruksi Nur Alam daripada instruksi Surya Paloh untuk memenangkan Jokowi - Amin di Sulawesi Tenggara.
Begitupun dengan lingkaran inti NasDem di Sulawesi Tenggara yang dipimpin Tony Herbiansyah. Didalamnya ada lingkaran inti Lukman Abunawas, Wakil Gubernur Sultra dll. Walau sudah bergabung dengan Partai pengusung Jokowi - Amin, tapi pasti lebih mendengarkan instruksi Nur Alam daripada Surya Paloh atau Gubernur Ali Mazi.
Selain itu, Istri Nur Alam, Tina yang sebelumnya menjadi anggota legislatif DPR RI Partai PAN, tiba-tiba mundur dan mencalonkan kembali maju DPR RI melalui Partai NasDem. Ia berkali-kali duduk bareng dengan Surya Paloh di Kendari. Tapi tak pernah sama sekali mendengarkan instruksi untuk memenangkan Jokowi di Kota Kendari khususnya dan Sulawesi Tenggara. Partai tempat bergabung bukan semata-mata untuk mengikuti garis ideologi partai tapi lebih pada menyalamatkan diri masing-masing agar tidak diganggu dengan kekuasaan Jokowi kedepan.
Kasus kedua adalah geng Asrun mantan Walikota Kendari 2 periode dan anaknya, Adriatma Dwi Putra, Walikota Kendari yang tertangkap tangan dalam suap Pemilihan Kepala Daerah Sulawesi Tenggara.
Asrun memiliki pengaruh terhadap Bupati Konawe Selatan, Surunuddin (Partai Golkar), Bupati Kolaka Ahmad Syafei serta Mantan Bupati Konawe Selatan, Imran yang juga Ketua Gerindra Sulawesi Tenggara. Untuk pendukung militan Asrun yang berada di Konawe Selatan, Kota Kendari dan Kolaka tentunya sangat membenci dengan Pemerintahan Jokowi karena kegagalan menjadi Gubernur Sulawesi Tenggara berakhir di tahanan KPK. Sekedar info, Asrun terjerat kasus korupsi dan kasus politik dinasti.
Kasus ketiga, tertangkapnya Bupati Buton Selatan, Agus Feisal Hidayat oleh KPK. Ia terjaring KPK karena OTT suap proyek tahun 2018 lalu. Selain itu, ia juga termasuk kader politik dinasti di Sulawesi Tenggara. Safei Kahar, orang tuanya menjabat 2 periode Bupati Buton Selatan dan kemudian mengangkat anaknya menjadi Bupati pengganti. Ironis penangkapannya Agus Feisal disaat Safei Kahar, Orang tuanya bertarung dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara. Mirip kasus yang menimpa Asrun dan Adriatma Dwi Putra.
Kekuatan Safei Kahar tentunya pernah mengusai wilayah Buton. Pendukung militannya tentu tidak akan pernah mendukung Jokowi menjadi Presiden 2 periode. Kini Safei Kahar bertarung melalui Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menuju kursi DPR RI senayan. Walau bergabung dengan Partai Pendukung Jokowi tapi isi hatinya masih dendam dan tak akan pernah mendukung Pemerintahan Jokowi. Padahal yang menangkap anaknya adalah KPK, Lembaga hukum yang mengurusi korupsi para pejabat di Indonesia.
Kedua, Oposisi lebih agresif karena didukung tokoh-tokoh mumpuni. Imran, Mantan Bupati Konawe Selatan yang kini sebagai Ketua Gerindra Sulawesi Tenggara mempunyai cukup luas untuk wilayah daratan di Sulawesi Tenggara. Model pergerakan Imran dengan cara perkawinan politik.
Siska Imran, anak perempuannya dikawinkan dengan Adriatma Dwi Putra, Walikota Kendari Terpilih yang kini menjadi tahanan KPK RI. Anak Asrun, Mantan Walikota 2 periode di Kota Kendari. Selain itu, anak lakinya Wahyu Ade Pratama dikawinkan dengan anak perempuan Ahmad Safei, Bupati Kolaka.
Sebagai oposisi mati-matian akan memenangkan Prabowo dan menenggelamkan Jokowi di Sulawesi Tenggara. Tentunya, ia pasti gunakan segala cara mengalahkan Jokowi demi nama baik di internal Gerindra Pusat dan sekaligus BALAS DENDAM buat besannya (Asrun) dan mantunya (Adriatma Dwi Putra) yang terciduk KPK pada saat mencalonkan diri menjadi Gubernur tahun 2018 lalu. Kekuatan politik Imran cukup luas khususnya didaratan Sulawesi Tenggara. Ia mempunyai pasukan militan di Konawe Selatan, Kendari dan Kolaka. Kini ia terpilih menjadi anggota DPR RI mewakili Partai Gerindra dari Sulawesi Tenggara. Ia menyingkirkan incumbent, Haerul Saleh yang duduk di DPR RI 5 tahun lalu.
Selain itu, Partai Demokrat terutama Umar Arsal dan Rusda Mahmud mempunyai massa militan. Umar Arsal mempunyai massa militan di Pulau Buton dan Rusda Mahmud menguasai massa dari tanah bugis yang hidup di Konawe Selatan, Bombana, dan Kolaka Raya serta Kendari. Tentunya mereka lebih pro Prabowo dibandingkan Jokowi dalam pemilihan Presiden.
Partai PAN terdapat Fachry Pahlevi, anak kandung Kery Bupati Konawe yang gencar kampanye anti Jokowi demi meraih kekuasaan DPR RI. Begitupun Caleg Provinsi terutama Abdul Rahman Saleh dan Sukarman yang gencar kampanye demi menjadi anggota legislatif Provinsi Sulawesi Tenggara Dapil Kota Kendari.
Kader Partai PKS dari tingkat Kota Kendari sampai tingkat pusat menjelekkan kinerja Jokowi dimana-mana. Beberapa Caleg PKS bahkan setiap hari door to door mempengaruhi warga untuk tidak memilih Jokowi 2 Periode. Hal ini banyak terjadi di Kota Kendari.
Sebelumnya PKS mendudukkan 2 periode Wakil Walikota Kendari, Musaddar Mappasomba. Pada pemilihan Walikota 2018 lalu, kembali merebut kekuasaan dengan mendudukkan Sulkarnain sebagai Wakil Kota Kendari. Setelah Walikota Kendari, Adriatma tertangkap KPK, kini jabatan Walikota dipegang Sulkarnain, kader militan PKS Kota Kendari. Dengan adanya kekuasaan Kota Kendari ditangan PKS maka seenanknya gunakan Camat dan Lurah untuk menjelekkan Jokowi di Masyakarat banyak. Bahkan lebih ironis, Kekuatan Camat dan Lurah ditekan demi menangkan Prabowo dan Caleg PKS di wilayah masing - masing.
Ketiga, gerakan islam terutama kader
Hisbut Tahrir dan HTI yang massif kampanye negatif terkait Jokowi terutama di Kota Kendari.
Sebenarnya HTI banyak menciptakan basis dari kalangan Muhammadyah, terutama Universitas Muhammadyah Kendari. Seiring perkembangan waktu, sayap gerakan mahasiswa PKS makin berkembang ke kampus - kampus lainnya di Kota Kendari. Gerakan sayap PKS makin meningkat yang sebelumnya hanya berputar di Kampus memasuki ruang ruang publik seperti cafe, mesjid, perdagangan online dan seterusnya.
Dalam proses kampanye Presiden - kader HTI sangat militan dengan mempengaruhi pemilih dengan cara door to door dan gunakan media sosial sebagai alat agitasi dan propaganda. Jalur door to door mereka menggarap wilayah pesisir, Haji Haji Kampung, dan kader kader mesjid. Bukan hanya itu, sebagian dari mereka menggunakan Aparat Pemerintahan Kota Kendari untuk menekan masyarakat.
Berita hoax yang banyak dijadikan alat untuk agitasi dan propaganda masyakarat Kota Kendari, sehingga yang kurang literasi termakan dan banyak caci maki di media sosial. Jadi wajar Jokowi kalah telak khususnya di Kota Kendari.
Keempat, Partai pendukung Jokowi tidak bekerja maksimal sukseskan PILPRES, melainkan fokus untuk memenangkan Pemilihan Legislatif di dapil masing-masing.
Secara jumlah Caleg Partai Pendukung Jokowi lebih banyak dibandingkan Caleg Partai pendukung Prabowo. Tetapi Caleg pendukung lebih banyak sosialisasikan diri masing-masing daripada Calon Presiden. Partai pendukung Prabowo (Gerindra, PKS, PAN, Demokrat) sebaliknya dengan mendahulukan agitasi Calon Presiden Prabowo daripada calegnya. Calegnya mengikut ketika masyarakat sudah mulai percaya berita bohong tentnang Jokowi yang disebar selama ini.
Kelima, Gubernur Alimazi dan Wakil Gubernur, Lukman Abunawas yang sebelumnya duduk karena didukung Koalisi Jokowi Partai NasDem dan Partai Golkar ternyata mulai pecah kongsi. Ali Mazi mendukung penuh Presiden Jokowi tapi basis massanya hanya berada di Kepulauan Buton. Tapi untuk wilayah daratan nampaknya Lukman Abunawas tidak mendukung penuh Jokowi, jadi wajar basis utamanya di Kabupaten Konawe dan sekitarnya kalah.
Jadi faktor kekalahan Jokowi di Sulawesi Tenggara yakni Pertama, gerakan balas dendam 4 elit politisi Sulawesi Tenggara terkena hukuman korupsi pada masa kepemimpinan Jokowi - JK. Kedua, gerakan partai oposisi sangat militan untuk jatuhkan pemerintahan Jokowi. Ketiga, Gerakan Anti Jokowi Hisbut Tahrir dan Islam keras yang terakumulasi pasca pembubaran lembaganya oleh negara. Keempat, Pengurus Partai Pendukung Jokowi di Sulawesi Tenggara tidak bekerja maksimal. Kelima, Pecah kongsi antara Gubernur Ali Mazi dan Wakil Gubernur, Lukman Abunawas.
Terakhir, Pemilihan Presiden sudah lewat, Kita hanya mampu mengamati hasilnya. Prabowo - Sandi menang di Sulawesi Tenggara, berbeda 5 tahun lalu Jokowi sebagai pemenang. Itulah politik, namun Siapapun yang terpilih menjadi Presiden itulah yang terbaik bagi bangsa Indonesia dan Sulawesi Tenggara kedepan.
No comments:
Post a Comment