Friday, November 27, 2015

Politik Uang Dalam Pilkada Serentak


Saya sudah dua malam balik tengah malam ke rumah. Beberapa orang sering mengobrol di warung makan dekat tempat tinggalku. Saya selalu singgah  setiap kali lewat, salah satu obrolan hangat adalah tentang pemilihan serentak yang akan dilaksanakan di berbagai wilayah di Sulawesi Tenggara. 


“Siapa juga yang mau pilih calon itu. Kalau tidak ada uangmu mana mau kami memilih”. Kata salah seorang bapak.

“Bukannya memilih dan dipilih itu hak semua warga negara, pak” cetusku.

“ Iya betul itu dek. Tapi kami capek dengan janji – janji palsu calon kepala daerah itu, dek” jawab Si Bapak Itu.

“Kenapa tidak golput saja kalau begitu, pak” saya mencoba memberi saran yang lebih ekstrem seperti yang pernah di kampanyekan aktivis prodem pada tahun 80an yang dipelopori oleh Arief Budiman.. hehehe

“Golput tidak berlaku sekarang dek. Golput tidak Golput, mereka (kandidat) tetap terpilih. Jadi mendingan kita kerjai saja itu calon (kandidat) dengan mengambil semua uang yang diberikan dan tidak usah pilih orangnya. kita memilih berdasarkan hati nurani” kata Si Bapak, diikuti dengan senyum senyum.

Dari perbincangan diatas saya mencoba melakukan interpretasi terkait penyebab politik uang. pertama Awalnya saya berpikir bahwa kemungkinan faktor yang mempengaruhi politik uang karena tingkat pendidikan. Si Bapak yang kutemani bicara tidak memiliki pendidikan yang mumpuni karena tidak tamat sekolah dasar. Pengetahuan menghitung hasil jualan berdasarkan pengalaman.

Namun ketika mengobrol dengan tetanggaku yang juga mahasiswa Universitas Halu Oleo, dan terlibat aktif dalam proses suksesi salah satu kandidat calon bupati di Konawe Selatan. Jawabnya sangat enteng “Daripada mencuri mendingan menjadi tim sukses (pilkada) untuk mendapatkan uang”. Memanfaatkan keahlian untuk bertahan hidup sebagai mahasiswa rantau di Kota Kendari.


Darisitu saya mengubah pandangan bahwa ternyata bukan faktor tingkat pendidikan yang mempengaruhi terjadinya politik uang. Tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi.  Dan target utama adalah masyarakat yang berada digaris kelas bawah.

Kelas bawah gampang dirasuki uang karena memang kekurangan uang untuk bertahan hidup. Momentum politik yang terjadi sekali lima tahun dijadikan ajang mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras.

Untuk kelas tengah dan atas bisa jadi agak menjadi pemilih rasional. Namun dibalik itu harapan kelas atas terutama pengusaha terhadap kandidat biasanya pengamanan usaha yang dilakukan di daerah tersebut, berupa transaksi proyek pasca terpilih terutama kalangan kontraktor dan izin usaha perkebunan, pertambangan dan sebagainya. Kelas atas bukan sebagai target politik uang tetapi target untuk menyumbang uang (donatur) dana  pemenangan dan lain-lain.

Kedua,  Dari pernyataan Si Bapak diatas, politik uang merajalela karena kandidat sebelumnya pernah berjanji dan tidak menepati janji. Janji politik tidak sesui dengan kenyataan dan menimbulkan ketidakpercayaan mengakibatkan apatisme masyarakat terhadap dunia perpolitikan kita. Kalau ABG kita sering mengatakan “PHP” Pemberi harapan palsu. Apakah kandidat Bupati/Walikota memang seperti ABG suka melakukan PHP ?.

PHP dipengaruhi  oleh dua faktor yakni Pertama, ucapan pada saat kampanye tidak masuk dalam program visi, misi dan program kandidat. dan Kedua, kandidat terjerat dengan transaksi politik dengan donatur.

PHP biasanya muncul karena ucapan kandidat didesain tim konsultan politik. Setiap daerah yang didatangi sudah diketahui permasalahan utamanya melalui kegiatan survey-survey politik yang dilakukan tim sukses. Data – data yang diucapkan kandidat terkadang tidak dimasukkan dalam Visi Misi dan Program Calon melainkan hanya sebatas harapan untuk merebut hati pemilih dan berujung lupa dan lupa dan lupa dan PHP lagi.

Selain itu dipengaruhi oleh tekanan untuk mengembalikan dana kampanye akibat dari cost politik tinggi. Biasanya ada dua sumber dana kandidat ketika mencalonkan diri. Pertama dana pribadi, dan kedua dana sumbangan dari para pengusaha (donatur). Untuk dana pribadi biasanya utang sehingga program yang dihasilkan berusaha untuk mengembalikan dana kampanye. Untuk dana pengusaha biasanya dikembalikan dalam bentuk proyek pembangunan. Ketika kedua itu yang terjadi dalam diri kandidat terpilih, maka janji terhadap masyarakat banyak dilupakan dan memilih untuk mengembalikan dana kampanye baik itu dana pribadi, dana utang maupun dana pengusaha.

Ketiga, penyebab politik uang merajalela karena pendidikan politik terhadap konstituen yang kurang sehingga menggunakan uang sebagai alternatif untuk memenangkan pertarungan. Pihak yang seharusnya intensif melakukan pendidikan politik adalah partai politik pengusung calon, dunia pendidikan formal dan para tim sukses calon tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Partai politik sebagai corong utama dalam dunia demokrasi tidak melaksanakan tugas dengan baik. Partai Politik tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat dalam jaringan parpol di tingkat DPC. DPC merupakan perwakilan parpol di tingkat Kecamatan banyak yang hanya bermodalkan papan nama belaka, tidak melakukan  pendidikan politik terhadap konstituen. Visi misi dan program partai politik ketika menduduki sebuah jabatan di eksekutif maupun legislatif tidak pernah sesui dengan keinginan masyarakat.

Kurangnya pendidikan politik tidak serta merta hanya menyalahkan partai politik, tetapi juga pendidikan formal kita tidak membangun sistem pendidikan politik. Dunia pendidikan seolah alergi dalam dunia demokrasi kita. Pendidikan formal hanya berputar dengan pendidikan PPKN tanpa penjelasan yang lebih jauh dengan fungsi dan peran warga negara dalam dunia demokrasi kita. Jadi wajar kalau sebagian warga negara hanya berpatokan dengan dunia demokrasi yang berdasarkan pada politik uang sebagaimana yang lagi marak sekarang ini.

Begitupun tim pemenangan atau tim sukses kandidat tidak mempunyai kreativitas dalam membangun pendidikan politik untuk merebut suara rakyat. Uang sebagai alat yang paling mudah sebagai senjata utama untuk merebut suara rakyat.

***

Melihat fenomena politik uang diatas, fungsi uang tidak hanya dijadikan alat untuk tranksaksi barang tetapi ditingkatkan menjadi alat transaksi suara dalam dunia politik. Padahal kalau kita melirik dalam sejarah perkembangan uang sebenarnya hanya sebagai alat untuk transaksi dari sebelumnya sistem barter.

Dalam proses barter barang yang ditukarkan kadang tidak sebanding nilainya. Akhirnya diciptakan alat transaki pertama dari kerang. Kerang tidak bertahan lama karena ternyata mudah didapatkan maka alat transaksi diganti dengan logam dan  emas. Alat transaksi barang terus berkembang hingga memunculkan yang namanya uang logam dan uang kertas seperti sekarang ini.

Uang menjadikan manusia sebagai komoditas. Komoditas adalah obyek yang memiliki harga yang oleh Adam Smith disebut sebagai sebuah nilai guna dan sekaligus sebuah nilai. Manusia bisa dijual dan manusia bisa dimanfaatkan untuk bernilai uang, salah satu contohnya membeli suara pemilih.

Dalam konteks politik langsung salah satu cara untuk memaksimalkan proses pemenangan seorang kandidat dengan memberikan uang kepada pemilih atau konstituen sebagai bentuk sogokan. Uang digunakan sebagai alat untuk menukar suara pemilih. Padahal dalam konteks politik ada uang atau tidak ada uang, memilih dan dipilih merupakan sebuah hak pemilih atau konstituen yang sudah diatur dalam UU Pilkada.

Suara manusia dalam kotak suara ternyata tidak begitu berarti dihadapan para pelaku politik uang. Suara mampu dibeli berdasarkan kesepakatan dan kemampuan kandidat. Nah, apakah ini yang dimaksud dengan demokrasi dengan cara suara rakyat ditukar dengan uang ?. Menurut penulis itu memilih berdasarkan imbalan uang bukanlah demokrasi. Tetapi hanya memanfaatkan pemilih yang membutuhkan uang untuk merebut suara.

Ketika Politik Uang terus terjadi maka yakinlah pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang korup, pemimpin yang suka lupa janji politik atau pempimpin PHP pemberi harapan palsu dan pemimpin yang pro pengusaha (donatur) daripada pro rakyat.

Strategi ketika kandidat sudah terpilih yakni pemilih harus terus kritisi dan ingatkan akan janji sewaktu kampanye. Jika janji diabaikan maka solusinya harus memberi sangsi sosial dan berjanji untuk tidak memilih yang kedua kalinya.

Semoga daerah yang melakukan pilkada serentak yang tidak cukup 10 hari lagi di Sulawesi Tenggara seperti Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Wakatobi, Muna, Buton Utara dan Kolaka Utara terhindar dari politik uang. Dan semoga Rakyat Sulawesi  Tenggara memilih berdasarkan visi, misi dan program serta latar belakang kandidat bukan berdasarkan uang demi kesejahteraan untuk semua..




No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...