Saya sudah dua
malam balik tengah malam ke rumah. Beberapa orang sering mengobrol di warung
makan dekat tempat tinggalku. Saya selalu singgah setiap kali lewat, salah satu obrolan hangat
adalah tentang pemilihan serentak yang akan dilaksanakan di berbagai wilayah di
Sulawesi Tenggara.
“Siapa juga
yang mau pilih calon itu. Kalau tidak ada uangmu mana mau kami memilih”. Kata
salah seorang bapak.
“Bukannya
memilih dan dipilih itu hak semua warga negara, pak” cetusku.
“ Iya betul itu
dek. Tapi kami capek dengan janji – janji palsu calon kepala daerah itu, dek”
jawab Si Bapak Itu.
“Kenapa tidak
golput saja kalau begitu, pak” saya mencoba memberi saran yang lebih ekstrem
seperti yang pernah di kampanyekan aktivis prodem pada tahun 80an yang
dipelopori oleh Arief Budiman.. hehehe
“Golput tidak
berlaku sekarang dek. Golput tidak Golput, mereka (kandidat) tetap terpilih.
Jadi mendingan kita kerjai saja itu calon (kandidat) dengan mengambil semua
uang yang diberikan dan tidak usah pilih orangnya. kita memilih berdasarkan
hati nurani” kata Si Bapak, diikuti dengan senyum senyum.
Dari
perbincangan diatas saya mencoba melakukan interpretasi terkait penyebab
politik uang. pertama Awalnya saya berpikir bahwa kemungkinan faktor yang
mempengaruhi politik uang karena tingkat pendidikan. Si Bapak yang kutemani
bicara tidak memiliki pendidikan yang mumpuni karena tidak tamat sekolah dasar.
Pengetahuan menghitung hasil jualan berdasarkan pengalaman.
Namun ketika
mengobrol dengan tetanggaku yang juga mahasiswa Universitas Halu Oleo, dan
terlibat aktif dalam proses suksesi salah satu kandidat calon bupati di Konawe
Selatan. Jawabnya sangat enteng “Daripada mencuri mendingan menjadi tim sukses
(pilkada) untuk mendapatkan uang”. Memanfaatkan keahlian untuk bertahan hidup
sebagai mahasiswa rantau di Kota Kendari.
Darisitu saya
mengubah pandangan bahwa ternyata bukan faktor tingkat pendidikan yang mempengaruhi
terjadinya politik uang. Tetapi lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Dan target utama adalah masyarakat yang
berada digaris kelas bawah.
Kelas bawah
gampang dirasuki uang karena memang kekurangan uang untuk bertahan hidup. Momentum
politik yang terjadi sekali lima tahun dijadikan ajang mendapatkan uang tanpa
harus bekerja keras.
Untuk kelas
tengah dan atas bisa jadi agak menjadi pemilih rasional. Namun dibalik itu
harapan kelas atas terutama pengusaha terhadap kandidat biasanya pengamanan
usaha yang dilakukan di daerah tersebut, berupa transaksi proyek pasca terpilih
terutama kalangan kontraktor dan izin usaha perkebunan, pertambangan dan
sebagainya. Kelas atas bukan sebagai target politik uang tetapi target untuk
menyumbang uang (donatur) dana pemenangan
dan lain-lain.
Kedua, Dari
pernyataan Si Bapak diatas, politik uang merajalela karena kandidat sebelumnya
pernah berjanji dan tidak menepati janji. Janji politik tidak sesui dengan
kenyataan dan menimbulkan ketidakpercayaan mengakibatkan apatisme masyarakat
terhadap dunia perpolitikan kita. Kalau ABG kita sering mengatakan “PHP”
Pemberi harapan palsu. Apakah kandidat Bupati/Walikota memang seperti ABG suka
melakukan PHP ?.
PHP
dipengaruhi oleh dua faktor yakni Pertama, ucapan pada saat kampanye tidak
masuk dalam program visi, misi dan program kandidat. dan Kedua, kandidat terjerat dengan transaksi politik dengan donatur.
PHP biasanya
muncul karena ucapan kandidat didesain tim konsultan politik. Setiap daerah
yang didatangi sudah diketahui permasalahan utamanya melalui kegiatan
survey-survey politik yang dilakukan tim sukses. Data – data yang diucapkan kandidat
terkadang tidak dimasukkan dalam Visi Misi dan Program Calon melainkan hanya
sebatas harapan untuk merebut hati pemilih dan berujung lupa dan lupa dan lupa
dan PHP lagi.
Selain itu
dipengaruhi oleh tekanan untuk mengembalikan dana kampanye akibat dari cost
politik tinggi. Biasanya ada dua sumber dana kandidat ketika mencalonkan diri. Pertama
dana pribadi, dan kedua dana sumbangan dari para pengusaha (donatur). Untuk
dana pribadi biasanya utang sehingga program yang dihasilkan berusaha untuk
mengembalikan dana kampanye. Untuk dana pengusaha biasanya dikembalikan dalam
bentuk proyek pembangunan. Ketika kedua itu yang terjadi dalam diri kandidat
terpilih, maka janji terhadap masyarakat banyak dilupakan dan memilih untuk
mengembalikan dana kampanye baik itu dana pribadi, dana utang maupun dana
pengusaha.
Ketiga, penyebab politik uang merajalela karena pendidikan politik terhadap konstituen
yang kurang sehingga menggunakan uang sebagai alternatif untuk memenangkan
pertarungan. Pihak yang seharusnya intensif melakukan pendidikan politik adalah
partai politik pengusung calon, dunia pendidikan formal dan para tim sukses
calon tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Partai politik
sebagai corong utama dalam dunia demokrasi tidak melaksanakan tugas dengan
baik. Partai Politik tidak berjalan sebagaimana mestinya dapat dilihat dalam
jaringan parpol di tingkat DPC. DPC merupakan perwakilan parpol di tingkat
Kecamatan banyak yang hanya bermodalkan papan nama belaka, tidak melakukan pendidikan politik terhadap konstituen. Visi misi
dan program partai politik ketika menduduki sebuah jabatan di eksekutif maupun
legislatif tidak pernah sesui dengan keinginan masyarakat.
Kurangnya
pendidikan politik tidak serta merta hanya menyalahkan partai politik, tetapi
juga pendidikan formal kita tidak membangun sistem pendidikan politik. Dunia
pendidikan seolah alergi dalam dunia demokrasi kita. Pendidikan formal hanya
berputar dengan pendidikan PPKN tanpa penjelasan yang lebih jauh dengan fungsi
dan peran warga negara dalam dunia demokrasi kita. Jadi wajar kalau sebagian
warga negara hanya berpatokan dengan dunia demokrasi yang berdasarkan pada
politik uang sebagaimana yang lagi marak sekarang ini.
Begitupun tim
pemenangan atau tim sukses kandidat tidak mempunyai kreativitas dalam membangun
pendidikan politik untuk merebut suara rakyat. Uang sebagai alat yang paling
mudah sebagai senjata utama untuk merebut suara rakyat.
***
Melihat
fenomena politik uang diatas, fungsi uang tidak hanya dijadikan alat untuk
tranksaksi barang tetapi ditingkatkan menjadi alat transaksi suara dalam dunia
politik. Padahal kalau kita melirik dalam sejarah perkembangan uang sebenarnya
hanya sebagai alat untuk transaksi dari sebelumnya sistem barter.
Dalam proses
barter barang yang ditukarkan kadang tidak sebanding nilainya. Akhirnya
diciptakan alat transaki pertama dari kerang. Kerang tidak bertahan lama karena
ternyata mudah didapatkan maka alat transaksi diganti dengan logam dan emas. Alat transaksi barang terus berkembang
hingga memunculkan yang namanya uang logam dan uang kertas seperti sekarang
ini.
Uang menjadikan
manusia sebagai komoditas. Komoditas adalah obyek yang memiliki harga yang oleh
Adam Smith disebut sebagai sebuah nilai guna dan sekaligus sebuah nilai.
Manusia bisa dijual dan manusia bisa dimanfaatkan untuk bernilai uang, salah
satu contohnya membeli suara pemilih.
Dalam konteks
politik langsung salah satu cara untuk memaksimalkan proses pemenangan seorang
kandidat dengan memberikan uang kepada pemilih atau konstituen sebagai bentuk
sogokan. Uang digunakan sebagai alat untuk menukar suara pemilih. Padahal dalam
konteks politik ada uang atau tidak ada uang, memilih dan dipilih merupakan
sebuah hak pemilih atau konstituen yang sudah diatur dalam UU Pilkada.
Suara manusia
dalam kotak suara ternyata tidak begitu berarti dihadapan para pelaku politik
uang. Suara mampu dibeli berdasarkan kesepakatan dan kemampuan kandidat. Nah,
apakah ini yang dimaksud dengan demokrasi dengan cara suara rakyat ditukar
dengan uang ?. Menurut penulis itu memilih berdasarkan imbalan uang bukanlah
demokrasi. Tetapi hanya memanfaatkan pemilih yang membutuhkan uang untuk merebut
suara.
Ketika Politik Uang terus terjadi maka
yakinlah pemimpin yang dihasilkan adalah pemimpin yang korup, pemimpin yang
suka lupa janji politik atau pempimpin PHP pemberi harapan palsu dan pemimpin
yang pro pengusaha (donatur) daripada pro rakyat.
Strategi ketika kandidat sudah terpilih
yakni pemilih harus terus kritisi dan ingatkan akan janji sewaktu kampanye.
Jika janji diabaikan maka solusinya harus memberi sangsi sosial dan berjanji
untuk tidak memilih yang kedua kalinya.
Semoga daerah yang
melakukan pilkada serentak yang tidak cukup 10 hari lagi di Sulawesi Tenggara seperti
Konawe Selatan, Konawe Utara, Konawe Kepulauan, Wakatobi, Muna, Buton Utara dan
Kolaka Utara terhindar dari politik uang. Dan semoga Rakyat Sulawesi Tenggara memilih berdasarkan visi, misi dan
program serta latar belakang kandidat bukan berdasarkan uang demi kesejahteraan
untuk semua..
No comments:
Post a Comment