Ilustrasi. Sumber Aktual.com |
Chalid Muhammad. (Ketua Institut Hijau Indonesia/Direktur WALHI NASIONAL 2005-2008 dan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang 1996-2003)
Reklamasi teluk Jakarta adalah tindakan paling bodoh dan primitif yg dilakukan penguasa. Reklamasi tidak saja hancurkan teluk Jakarta akan tetapi juga wilayah yg ditambang sebagai bahan timbunan untuk membuat pulau-palau palsu hasil reklamasi.
Alasan bahwa teluk Jakarta telah rusak sehingga sah untuk dibunuh dengan cara reklamasi adalah logika sesat dan fasis. Seharusnya sumber daya yg ada digunakan untuk melakukan pemulihan 13 sungai dan teluk JAKARTA secara terukur dan tepat bukan malah membunuhnya.
Sejak awal kegiatan Reklamasi Teluk Jakarta cacat hukum dan moral. Sanksi hukum yg dikeluarkan Menteri LHK, Gugatan PTUN WALHI dan Nelayan Jakarta serta kasus korupsi reklamasi adalah buktinya.
Lamahnya pengawasan oleh Pemda DKI terhadap perusahaan yg buang limbah ke sungai dan teluk Jakarta jangan dijadikan alasan untuk memutus urat nadi ekonomi nelayan dengan cara reklamasi.
Para pendukung reklamasi sungguh adalah kompok yang sangat arogan dan tidak kreatif dalam menata kota Jakarta. Rakyat Jakarta berhak untuk mendapatkan kualitas lingkungan hidup yang baik karena itu adalah hak konstitusional mereka.
Biaya sosial dan ekologis reklamasi jauh lebih mahal daripada biaya penindakan para pencemar besar sungai dan teluk Jakarta dan biaya pemulihannya. Rakyat Jakarta juga berhak menikmati indahnya pantai teluk Jakarta secara gratis dan nyaman.
Pemerintah DKI harusnya menata teluk Jakarta untuk kepentingan rakyat banyak dan bukan MALAH MENJUALNYA pada segelintir orang kaya yang sanggup membeli lahan di Pulau Palsu hasil reklamasi yang merusak itu.
GUBERNUR ITU ADALAH JABATAN PUBLIK YANG HARUSNYA MENGURUS URUSAN PUBLIK. KARENANYA DIA TIDAK BOLEH SIBUK HANYA MENGURUS URUSAN PENGEMBANG PROPERTI APALAGI SAMPAI MENGELUARKAN DISKRESI YANG HANYA UNTUGKAN SEDIKIT ORANG DAN MEMRUGIKAN ORANG BANYAK
Henri Subagiyo (Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law)
Saya menolak reklamasi Teluk Jakarta. Sejak awal proyek ini diinisiasi tanpa adanya proses yang partisipatif dan akuntabel. Persoalan lingkungan di Jakarta tidak cukup hanya didekati dengan model-model proyek yang sifatnya hilir seperti reklamasi Teluk Jakarta yang menelan banyak biaya dan resiko, minim keberhasilan untuk menjawab kompleksitas persoalan, rentan dengan penyalahgunaan, dan justru potensial menimbulkan persoalan baru.
Proyek ini tidak akan menyentuh akar persoalan. Masalah lingkungan di Jakarta lebih banyak disebabkan oleh timpangnya pembangunan yang bias Jakarta, booming kependudukan, spatial, tidak terintegrasinya Jakarta dan sekitarnya. Akibatnya, daya dukung dan daya tampung lingkungan Jakarta sudah tidak memadahi lagi.
Pembenahan seharusnya dilakukan oleh Pemerintah, khususnya Pemda DKI dengan lebih mendasar.
Pemerataan pembangunan yang terintegrasi Jakarta-sekitar, penataan kependudukan dan spatial, review kebijakan yang menjadi pressure lingkungan, dan penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran penyebab kerusakan dan pencemaran adalah sederat agenda yang belum dituntaskan hingga saat ini.
Lebih lanjut, kompleksitas persoalan Jakarta tidak dapat hanya diselesaikan oleh segelintir aktor pemodal melalui pendekatan bisnis-teknokratis belaka melainkan justru harus melibatkan seluruh aktor -khususnya yang berkontribusi bagi melemahnya daya dukung dan daya tampung Jakarta- untuk memulihkannya, melalui perubahan perilaku dan memperbesar kontribusi mereka kepada lingkungan. Dalam konteks ini dibutuhkan para pemimpin yang lebih cerdas yang dapat menggerakkan peran seluruh aktor.
Bosman Batubara—Kandidat PhD UNESCO-Institute for Water Education, Delft, Belanda.
Saya tidak setuju reklamasi karena dua hal. Yang pertama, permasalahan Jakarta adalah konsentrasi spasial. Terlalu banyak orang, barang, dan kapital dalam area geografi yang terbatas ini.
Untuk mensubstansiasi argumen saya ini, saya perlihatkan data berikut. Di aglomerasi perkotaan Jabodetabek, konsentrasi bekerja dengan sempurna. Secara total area Jabodetabek adalah seluas 6.392 km persegi, atau sekitar 0,3% dari keseluruhan Indonesia yang memiliki luas 1.904.569 km persegi. Namun, di ruang geografi yang cuma 0,3% itulah "terkonsentrasi" sebanyak 11,78% manusia Indonesia dari keseluruhan total 255 juta orang. Lapis kedua konsentrasi dapat kita lihat di Pula Jawa yang memiliki luas hanya sekitar 6,6% dari total area Indonesia namun harus menampung sebanyak 62,75% penduduk.
Proyek reklamasi hanya akan menarik lebih banyak orang, barang, intinya, kapital ke kawasan geografi ini. Ini artinya, alih-alih menjadi solusi, tapi justru akan menambah masalah.
Gejala ini sudah bisa dilihat dalam hal konsentrasi bahan mentah. Pasir dari berbagai tempat macam Desa Domas, Serang, Banten, benar-benar diangkut secara fisik—dikonsentrasikan—ke Teluk Jakarta. Inilah salah satu jantung dari pembangunan kapitalistik yang bekerja dengan hukum konsentrasi dan sentralisasi. Sentralisasi adalah penumpukan aset di tangan kapitalis. Ini tidak usah saya jelaskan, cari saja data ketimpangan kepemilikan tanah di Indonesia. Ada banyak di internet. Konsentrasi dan sentralisasi memiliki dampak ekologi macam banjir, macet, penurunan tanah, dan seterusnya dan seterusnya. Tidak usah saya bahas.
Yang kedua, saya ingin menanggapi secara spesifik tentang masalah kontribusi tambahan. Dari yang bisa saya tonton di Youtube, konstruksi logika yang terbangun adalah, DPRD hanya ingin kontribusi tambahan sebesar 5%, sementara Ahok menginginkan kontribusi tambahan sebesar 15%. Selanjutnya, konstruksi seperti ini menempatkan sikap Ahok sebagai sikap yang progresif karena mau meningkatkan porsi bagi hasil untuk pemerintah. Dengan demikian, selanjutnya menurut konstruksi logika seperti ini, Ahok tidak pro-pengembang, dan justru DPRD-lah yang pro pengembang. Karena itu Ahok dengan program reklamasinya, pantas didukung.
Saya mau memperdalam tema kontribusi tambahan ini, atau selanjutnya saya sebut juga sebagai bagi hasil. Berapa sebenarnya kontribusi dari Manggala Krida Yudha (MKY) pada 1997 dalam kontrak ketika mereka mereklamasi pantai utara Jakarta? Bisakah Pemprov DKI membuka kontrak ini ke publik untuk mengetahui besaran bagi hasil antara Pemprov DKI/Negara dengan pengembang di tahun 1997?
Mengapa ini menjadi penting bagi saya? KOMPAS (30 September 1995 halaman 8) menyebutkan bahwa skema bagi hasil adalah 75:25% (MKY mendapatkan 75% lahan, dan PT Pelindo II/perusahaan negara, mendapatkan 25% lahan). Kalau benar bahwa skema bagi hasil dalam kontrak MKY adalah 75:25%, maka konstruksi logika soal dana kontribusi akan berubah total.
Sikap Ahok tidaklah progresif dalam meminta kontribusi tambahan sebesar 15%, karena itu justru adalah penurunan dari apa yang terjadi di 1997 (25%). Artinya, ditinjau dari sisi prosentase bagi hasil untuk negara, Ahok lebih buruk dari Orde Baru. Dengan demikian, kalau ini yang terjadi, maka tidak ada pilihan lain kecuali menyatakan bahwa Ahok pro pengembang.
Akhirul kalam, kalau masalahnya adalah konsentrasi dan sentralisasi seperti yang saya deteksi di atas, maka solusinya bukanlah pembangunan, yang justru akan menambah densitas konsentrasi dan sentralisasi. Namun, yang kita butuhkan adalah, argumen saya, dekonsentrasi dan desentralisasi. Desentralisasi adalah salah satu pokok tuntutan Reformasi 98. Namun itu belum tuntas, karena belum menyentuh wilayah dekonsentrasi dan desentralisasi spasial. Ada banyak teknis operasionalisasi dekonsentrasi dan/atau desentralisasi spasial. Tidak perlu saya jelaskan di sini. Yang perlu dan mendesak sekarang adalah: dengan menolak reklamasi di Teluk Jakarta, mari kita lanjutkan tuntutan Reformasi '98: dekonsentrasi dan/atau desentralisasi spasial radikal di Indonesia!
Martin Hadiwinata. (KNTI)
Saya menolak reklamasi selain karena masalah lingkungan juga karena merupakan perampasan laut dari rakyat nelayan. Laut sebagai milik publik seharusnya tidak boleh dikonversi menjadi pulau-pulau yang menjadi kepemilikan segelintir orang perorang. Ketimpangan antara si kaya-miskin akan semakin menjadi dimana tidak tak terelakkan penggusuran kembali terjadi.
Reklamasi hanya menjadi alat untuk mengeruk keuntungan perusahaan pengembang properti elit, sama sekali bukan alat untuk adaptasi bencana pesisir. Nelayan tradisional akan melaut lebih jauh, biaya hidup semakin tinggi dan pada akhirnya yang untung hanya oligarkhi.
Sudirman Asun (Ciliwung Institute)
Saya menolak reklamasi Teluk Jakarta karena pembangunan letak pulau palsu menutup teluk dan menutup jalan keluar outlet muara aliran air 13 sungai Jakarta ditambah dengan tanggul betonisasi sempadan hulu sungai kawasan selatan Jakarta yang memperkecil daya tampung dimensi ruang sungai ketika sungai meluap yang segarusnya mengisi di halte kanan kiri sempadan sungai kini makin cepat dan makin deras dan betonisasi hanya memindahkan masalah banjir dan dan beban sedimentasi terperangkap di kawasan daerah hilir dibawahnya pesisir Jakarta Utara.
#JakartaSkakMatCity
Cara Mahal Bunuh Diri Jakarta
Puspa Dewy (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan)
Kami menolak reklamasi di Teluk Jakarta karena proyek ini secara nyata merusak pesisir sebagai wilayah kelola perempuan sehingga hilang sumber kehidupannya dan mengancam identitas nelayan dan perempuan nelayan yg selama ini berperan besar dalam kedaulatan pangan. Reklamasi adalah proyek kolusi pengusaha dan penguasa yg akan semakin memperkuat ketidakadilan gender dan memiskinkan perempuan pesisir.
Iwan (Ketua Komunitas Nelayan Tradisional Muara Angke).
Saya menolak reklamasi karena proyek ini sudah secara langsung mempengaruhi kehidupan saya sebagai nelayan tradisional. Saya dan nelayan tradisiona. Budaya, pola hidup dan penghidupan yang kami telah jalani Kami puluhan tahun dari teluk jakarta terancam dengan proyek yang secara harfiah membunuh tidak hanya budaya dan pola hidup namun laut yang menjadi sandaran utama kehidupan nelayan di Jakarta.
Tercemarnya Teluk Jakarta, adalah dampak dari sesat pikir yang di pelihara terus menurus berupa kebijakan-kebijakan bermatra darat yang eksploitatif pada dan menghancurkan lingkungan Jakarta dari hulu hingga hilir. Dengan kembali menggunakan bias matra darat di Teluk Jakarta hanya menunjukan bagaimana buas koalisi pengusaha - penguasa untuk terus menghancurkan tidak hanya penghidupan nelayan tradisional namun juga Kota Jakarta secara keseluruhan.
Sekarang kami nolak Reklamasi. Reklamasi menghilangkan laut kami, membuat teluk semakin tercemar karena limbah dari sungai terhambat tidak bisa dicuci gelombang laut. Seharusnya mereka yang dengan sombong mendaku diri sebagai aktivis lingkungan Ibu tidak hanya ikut menolak reklamasi namun beraktiviras bersama kami untuk merestorasi kembali Teluk Jakarta!
Mahmud Syaltout, Doktor Hukum Alumni Sorbonne-Paris, Ketua PP ISNU dan Anggota Departemen Hubungan dan Kajian Strategis GP ANSOR, mengajar di Universitas Indonesia
Saya menolak Reklamasi, karena meyakini bahwa dalam setiap kebijakan yang bermasalah, selalu ada pembentukan hukum dan/atau peraturan hukum yang juga bermasalah; termasuk tentu saja, tidak adanya kajian pendahuluan entah itu bernama AMDAL dan/atau socio-economic cost benefit analysis yang baik, tepat dan lagi valid.
Untuk Reklamasi Pantura Jakarta, buatku kontroversi atau ributnya sosialisasi AMDAL dll, setidaknya mengindikasikan betapa bermasalahnya pembentukan hukum dan/atau peraturan hukumnya...
Silakan saja, endorse jagoan kalian sampai mulut berbusa atau sampai seluruh jari jadi jempol semua; begitu terdapat bukti bahwa pembentukan hukum dan/atau peraturan hukumnya bermasalah, gak hanya berlaku untuk kasus Reklamasi Pantai Utara Jakarta, tapi juga untuk Pembangunan Pabrik Semen di Kendeng, Reklamasi Teluk Benoa, dst; buatku sih udah jelas: Wassalam!
Sumber : Facebook Chalid Muhammad
No comments:
Post a Comment