Infografis Makanan Tradisi Idul Fitri |
Pasca lebaran idul fitri, kemenakan mengajak diriku untuk pergi silaturahmi di rumah keluarga yang berada di wilayah pesisir Kota Kendari. Kami mengunjungi lima rumah dan rata-rata menyuguhkan makanan berupa lapa-lapa dan ketupat disertai dengan daging. Karena itu makanan lapa-lapa dan ketupat yang kuanggap sebagai makanan khas idul fitri di Kendari hari ini.
Menurut tanteku, namanya Wa Ode Nur bahwa, proses pembuatan lapa-lapa menggunakan beras ketan, sedangkan ketupat dibuat dari beras biasa. Bahan pembungkus keduanya sama berasal dari daun kelapa muda atau biasa disebut Janur.
Bahasa ketupat berbeda-beda di seluruh wilayah Nusantara, tetapi bahan dan cara pembuatan hampir mirip semua. Penamaan ketupat di Sunda biasa disebut kupat tahu, Kupat Glabet (Kota Tegal), Ketupat Coto (Makassar), Ketupat Sayur (Minangkabau), Doclang (Kota Cirebon), Ketupat Gado-Gado dan Ketupat Sate (Madura) serta Ketupat Coto (Muna).
Penamaan Lapa-Lapa juga berbeda-beda di suluruh wilayah Nusantara. Lapa- Lapa (Sulawesi Tenggara), Leppe - Leppe (Bugis), Lepet (Jawa) dan Leupeut (Sunda). Begitupun cara pembuatannya tergantung dari racikan si pembuat. Bahan pembuatan lapa-lapa Sulawesi Tenggara biasanya berasal dari beras ketan hitam, ketan putih dicampur dengan beras merah. Namun pembungkus makanan lapa-lapa tetap sama dengan daerah lain menggunakan Janur, daun muda kelapa.
Dalam proses pembicangan dengan tanteku. Saya teringat dengan lontong yang dibungkus plastik di kantin sekolahku. Saya coba kembali bertanya. Kenapa harus memakai janur ?. kenapa tidak menggunakan plastik saja supaya gampang.
Menurut tanteku, penggunaan janur sebagai bahan pembungkus makanan khas idul fitri karena tahan panas dan kuat serta mempunyai cita rasa tersendiri. Selain itu, Janur memiliki makna tersendiri bagi umat islam.
Media Kumparan memaparkan Janur kependekan dari kata Jatining Nur, yang artinya hati nurani. Isi beras dalam janur menandakan nafsu duniawi. Jadi dapat diartikan sebagai simbol nafsu duniawi yang dibungkus hati nurani.
Jay Akbar dalam Historia mengutip hasil penelitian De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur kuning berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisir yang banyak ditumbuhi pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai De Graff sebagai upaya masyarakat jawa untuk membedakan warna hijau dari timur tengah dan merah dari asia timur.
Lain halnya dengan Ahmad Hilmy Hasan dalam tulisannya di blog yang menghubungkan pengertian janur dengan bahasa arab. Menurutnya, Janur dalam bahasa arab berasal dari kata “Jaa’a Al-Nur” yang bermakna telah datang cahaya. Dalam arti luas sebagai keadaan suci setelah mendapatkan percerahan selama bulan ramadhan.
Penggunaan janur dalam kebudayaan Warga Kendari tidak hanya digunakan sebagai pembungkus makanan pada saat menjelang idul fitri. Tetapi juga digunakan sebagai bahan hiasan dalam proses perkawinan. Ngomong-ngomong, kamu kapan kawin ?.. hehe
Untuk pemaknaan makanan ketupat dan lepet dalam perayaan idul fitri, saya belum menemukan referensinya yang terkait dengan Sulawesi Tenggara, begitupun dengan tanteku tidak terlalu paham arti dan makna dari kedua makanan tersebut. Karena itu, saya coba artikan kedua makanan berdasarkan referensi dari bahasa jawa.
Dalam bahasa Jawa ketupat berasal dari kata Kupat kependekan dari Kula Lepat yang artinya "saya salah". Ketupat adalah simbol pengakuan atas kesalahan dan kekurangan.
Sedangkan Lepet artinya Silep Kang Rapet, "mari kita kubur atau tutup rapat". Lepet merupakan simbol permohonan maaf agar kesalahan kesalahan yang ada dilupakan dan dikubur rapat- rapat seolah tak pernah ada.
Jadi setelah mengakui kesalahan kemudian minta maaf (Kupat) dan mengubur kesalahan (Lepet) yang sudah dimaafkan untuk tidak diulang kembali dengan hati bersih bersinar agar persaudaraan semakin erat. Dengan saling memaafkan maka kesalahan tidak menjadi dendam yang terbawa sampai mati.
Wa Ode Nur, Keluarga yang berasal dari Buton dan kemudian pindah bermukim dan menetap di Kota Kendari menceritakan, sejak dahulu Kerajaan Buton memeluk islam terdahulu di Sulawesi Tenggara. Kerajaan Islam Buton mewajibkan warga untuk menjadikan lapa-lapa sebagai makanan saat awal puasa ramadan dan perayaan idul fitri. Kadang disertai dengan ketupat, tetapi proses anyaman ketupat kadang susah, sehingga banyak orang hanya menggunakan bahan yang simpel seperti lapa-lapa yang tidak perlu anyaman.
Sekedar Informasi menurut Wikipedia, Kerajaan Buton secara resmi menjadi kerajaan Islam pada pemerintahan Raja Buton ke 6 yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Raja buton diislamkan oleh Syeikh Abdul Wahid Bin Syarif Sulaiman Al Fathani yang dating dari Johor pada tahun 948 H/1538 M.
Kata Ketupat dalam kerajaan buton, terdapat dalam budaya Pakande – Kandea atau makan – makan. Dalam artikel yang ditulis Susi Ivvanty di Kompas.com menyebutkan kata “ketupat” dalam pantun perempuan buton yang ingin mempersihlahkan tamu untuk memulai acara pakade-kandea. “Maimo Sapo Lapana Puuna Gau. Katupana mia bari atamajano” Artinya ‘mari turun (datanglah), telah terwujud tekad yang diikrarkan. Ketupatnya banyak untuk orang banyak, datanglah”. Dalam pantun tersebut, mengisyarakatkan bahwa Ketupat menjadi salah satu tradisi dalam kerajaan Islam Buton yang berlangsung hingga sekarang.
Bukan hanya Kerajaan Buton yang menggunakan makanan lapa-lapa dan ketupat dalam mengajarkan Islam. Sebelumnya kerajaan Demak, sebagai kerajaan Islam Pertama di Jawa, melakukan penyebaran islam melalui Walisongo (sembilan wali) dengan menggunakan metode pendekatan kearifan lokal. Ketupat dan Lapa-Lapa dijadikan alat untuk mengajarkan spiritual dalam menjaga kehidupan. Pengenalan makanan yang dibungkus janur kuning ke masyarakat luas dilakukan oleh Raden Mas Sahid atau Sunan Kalijaga.
Menurut H.J De Graaf dalam Malay Annal dikutip dari Historia menyatakan, makanan berbungkus janur kuning itu dijadikan simbol perayaan hari raya islam pada pemerintahan kerajaan demak yang dipimpin Raden Patah pada awal abad 15.
Akulturasi Budaya
Dalam proses penyebaran islam yang dilakukan Sunan Kalijaga menggunakan ketupat dan lapa-lapa yang dibumbui berbagai makna. Dia melakukan pendekatan agraris, tempat unsur keramat dan berkah untuk melanggengkan kehidupan.
Beberapa sejarah menyebutkan bahwa Ketupat dan Lapa-lapa bukan hanya dipakai kerajaan Islam. Tetapi jauh sebelumnya sudah digunakan warga sebagai alat untuk memuja Dewi Sri. Dewi yang dianggap sebagai dewi pertanian dan kesuburan, pelindung kelahiran dan kehidupan, kekayaan dan kemakmuran. Dewi Sri sangat dimuliakan sejak zaman Majapahit dan Pajajaran. Dewi yang dianggap tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Dewi Sri dihormati dan dimuliakan oleh masyarakat Jawa, Sunda, dan Bali.
Dalam perkembangannya bagi sebagian masyarakat di Pulau Jawa, lepet dan ketupat memiliki nilai sakral. Makanan yang berbungkus janur kuning itu biasanya digantung diatas pintu masuk rumah dan dianggap sebagai tolak bala atau jimat. Begitupun sebagian masyarakat Sulawesi kadang menggunakan makanan yang dibungkus janur kuning digantung dekat pintu masuk sebagai penolak bala.
Dalam budaya masyarakat Bali, menurut Retno Sulisyowati, makanan yang dibungkus janur kuning dijadikan sebagai bahan sesajian upacara. Salah satu bentuk penggabungan budaya lokal dengan agama hindu. Janur kuning dibentuk berbagai macam untuk dijadikan simbol ritual dalam acara sembahyangan yang memiliki makna filosofis dalam jagad mikrokosmik dan makrokosmik.
Janur kuning memiliki makna yang berbeda sesui dengan penganutnya berbagai wilayah di Nusantara. Nilai sakral yang terdapat dalam janur kuning mengakibatkan dijadikan sebagai bahan pembungkus makanan, hiasan pada pesta perkawinan hingga kegiatan spiritual keagamaan seperti yang dilakukan umat islam dalam perayaan idul fitri saat ini dan agama hindu bali.
Darimana pun asal usul makanan lapa-lapa dan ketupat yang menggunakan janur kuning, kedua makanan itu memang enak, apalagi dimakan disertai dengan bajabu, opor ayam dan coto. Hehehe.
Sebelum meninggalkan rumah tanteku, saya mengucapkan terima kasih telah disuguhkan ketupat dan lapa-lapa. Kedua makanan itu mengingatkan untuk selalu meminta maaf (ketupat) dan mengubur kesalahan (lepet / lapa-lapa) yang sudah dimaafkan untuk tidak diulang kembali dengan hati yang bersih dan bersinar.
Sumber
Mengunyah sejarah ketupat, Jay Akbar Historia, diakses 26 Juni 2017
Ketupat, Sejarah dan Filosofi, Retno Sulistyowati, Diakses 26 Juni 2017
Janur, Wikipedia, Diakses 26 Juni 2017
Lapa-lapa, Si Gurih Makanan Khas Lebaran Bugis, Liputan 6, Diakses 26 Juni 2017
Mengenal jenis daun pembungkus makanan, Jitu News, Diakses 26 Juni 2017
Menyelami Filosofi Ketupat, Kumparan, Diakses 26 Juni 2017
Sejarah dan Makna Filosofi Kupat/Ketupat, Blog Ahmad Hilmy Hasan, Diakses 26 Juni 2017
Ketupat, Simbol mengakui kesalahan ala sunan kalijaga, Sudrajat, Detikcom. Diakses 26 Juni 2017
Kesultanan Buton, Wikipedia, Diakses 26 Juni 2017
Lepet, Wikipedia, Diakses 26 Juni 2017
Filosofi Ketupat dan Lepet Warisan Walisanga, Dunia Islam, Diakses 26 Juni 2017
Tradisi Suku Buton, Keriangan Pakande-Kandea, Susi Ivvaty, Kompas.com, Diakses 26 Juni 2017
Wawancara dengan tanteku, Wa Ode Nur, 26 Juni 2017
No comments:
Post a Comment