Friday, March 9, 2018

PENYEBAB DINASTI POLITIK BERUJUNG DI KPK

Ilustrasi
Pasca tertangkapnya Adriatma Dwi Putra ADP, Walikota Kendari dan Ayahnya Asrun, Calon Gubernur Sulawesi Tenggara, Walikota Kendari dua periode itu menimbulkan berbagai polemik tentang dinasti politik di Indonesia. ADP dan Asrun tertangkap KPK karena suap proyek tambat labuh teluk kendari dan jalan pelabuhan bungkutoko sebesar 2,8 milliar. Dana tersebut akan digunakan untuk membiayai kampanye Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara yang sedang berlangsung sekarang ini. 

ADP dan Asrun dikaitkan dengan politik dinasti, berdasarkan keterangan Eka Suaib, Pengajar Ilmu Politik, Universitas Halu oleo Kendari (kompas cetak 2/03/2018) yang menyatakan, setidaknya ada 15 satuan kerja perangkat daerah SKPD di Kota Kendari yang dipimpin Keluarga dan Kerabat Asrun. Asrun juga mempunyai hubungan kekerabatan dengan Bupati Konawe Selatan, H. Surunuddin dan Bupati Kolaka, H.Ahmad Syafei serta Mantan Bupati Konawe Selatan, H. Imran.

Dinasti dalam kamus bahasa indonesia diartikan sebagai keturunan raja-raja yang memerintah atau semua berasal dari satu keluarga. Karena negara Indonesia bukanlah kerajaan maka muncul istilah dinasti politik.

Data kementerian dalam negeri per 2013 menyebutkan, sedikitnya 58 dinasti politik di Indonesia (kompas.com 7/01/2018). Begitupun data Mantan Dirjen Otonomi Daerah, Djohermansyah Johan, menyebutkan sepanjang tahun 2015, politik dinasti terjadi di 61 daerah atau 11% dari total daerah yang ada.

Ketika dinasti politik berkuasa maka cenderung menimbulkan konflik kepentingan dan menciptakan korupsi. Hal ini diungkapkan oleh DjohermansyaH Djohan, Pakar otonomi daerah. "Para kepala daerah yang menggunakan politik dinasti cengerung korup. terjadi penyalahgunaan wewenang dalam jabatan. Dan pada praktiknya, orang yang sudah lengser karena masa jabatan habis, tetap menyetir pemerintahan. Ini bikin tidak sehat, sebaiknya dibatasi".

Dinasti politik juga cenderung meraup kekayaan dari wilayah kekuasaaanya. Hal tersebut diungkapkan Wakil Ketua KPK, Bansaria Panjaitan bahwa, Dinasti politik cenderung memiliki atau meraup kekayaan di wilayah atau daerah kewenangannya. (detik.com 01/03/2018)

JENIS DINASTI POLITIK
Dinasti politik dibagi menjadi 3 oleh Robert Endi Jaweng, Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah yakni pertama, model dinasti politik regenerasi seperti arisan keluarga. Satu keluarga memimpin satu daerah tanpa jeda. Kedua, Dinasti politik lintas kamar dengan cabang kekuasaan. Misalnya Sang kakak menjadi bupati daerah tertentu, sang adik Ketua DPR dan posisi keluarga lain memegang jabatan Kepala Dinas yang strategis. Ketiga, Model lintas daerah, Satu keluarga memegang jabatan penting di berbagai daerah yang berbeda. 

Contoh kasus politik dinasti regenerasi terjadi di Kediri. Sutrisno bupati dua periode 1999-2009 digantikan oleh istri pertamanya dan menjabat sudah hampir dua periode saat ini. Jadi selama 20 tahun kekuasaaan dipegang oleh keluarga Sutrisno. Mirip dengan kasus di Kota Kendari, dimana Adriatma Dwi Putra menggantikan Ayahnya Asrun setelah 2 periode berkuasa. 

Contoh kasus dinasti lintas kamar terjadi di Aceh, Kontrol check and balance tidak terjadi. Begitupun terjadi di Kota Kendari, Adriatma sebagai Walikota dan Ibunya sebagai Kepala Dinas dan Saudara kandungnya duduk di DPRD Kota Kendari sebagai Ketua Fraksi PAN. 

Contoh kasus model lintas daerah terjadi di Sulawesi Selatan. Syahrul Yasin Limpo menjabat sebagai Gubernur, Kemenakanya, Adnan Purichta Ichsan menggantikan ayahnya yang sudah 2 periode sebagai Bupati Gowa, dan banyak lagi keluarganya yang lain memegang jabatan strategis di Provinsi Sulawesi Selatan.

PENYEBAB POLITIK DINASTI
Pertama, UU PILKADA Nomor 8 Tahun 2015, Pasal 7 secara khusus pada huruf R menyebutkan Bagi WNI yang hendak mencalonkan diri menjadi kepala daerah tidak boleh memiliki konflik kepentingan dengan petahana. Konflik kepentingan diartikan tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, garis keturunan satu tingkat lurus keatas, kebawah ke samping dengan petahana, kecuali setelah melewati jeda satu kali masa jabatan. 

Aturan tersebut digugat oleh kandidat calon bupati, sehingga Mahkamah Konstitusi MK membatalkan pasal 7 huruf R pada tanggal 8 Juli 2015. Pasal tersebut dianggap melanggar konstitusi dan deskriminatif.  Karena itu, DjohermansyaH Djohan, Pakar otonomi daerah, mengusulkan untuk mengkaji kembali pasal pembatasan dinasti politik di Indonesia.

Kedua, Faktor partai politik. Dalam penentuan kandidat Kepala Daerah kadang hanya ditentukan berdasarkan kedekatan dan restu ketua umum. Demokratisasi partai politik belum dewasa karena dipengaruhi kuatnya pengaruh elite partai politik dan ketua umum, sehingga cenderung calon Kepala Daerah yang dipilih berasal dari keluarga petahana dari daerah tersebut.

Selain itu, Partai politik bermasalah dalam hal mahar politik. Keberadaan mahar politik dalam pencalonan dimanfaatkan partai politik untuk mendapatkan keuntungan dan bisa dipastikan orang yang bisa menjadi Calon Kepala Daerah adalah orang-orang memiliki modal, dan biasanya kebanyakan dari keluarga inkumben yang memiliki akses luas anggaran daerah dan jaringan pengusaha. 

Dengan itu, Abraham Samad, Mantan Ketua KPK mengusulkan Partai Politik seharusnya mempunyai pertanggungjawaban keuangan, agar praktek mahar politik bisa diketahui dan diaudir sehingga kader politik tidak leluasa menerapkan mahar politik dengan kandidat.

Ketiga, Faktor Pemilik Modal. Para pemilik modal  setiap pemilihan Kepala Daerah terus menunggu kandidat yang haus akan modal. Harapan setelah terpilih akan mendapatkan keuntungan lebih besar dari taruhan yang dipasang. Para pemilik modal ( Si Kapitalis) cenderung menopang politik dinasti demi mengamankan kapitalnya. Mereka secara konsisten memberikan modal agar Kepala Daerah dibawah kendali mereka. 

Karena itu, Khairul Fahmi, Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas menawarkan gagasan pembatasan keterlibatan pemilik modal dalam PILKADA. Tidak hanya membatasi sumbangan dana kampanye, tetapi juga sumbangan dalam bentuk apapun kepada calon kepala daerah. Apabila terbukti melanggar, maka akan diancam dengan pidana penjara dan sanksi administratif berupa dicoret dari daftar perusahaan yang boleh mengikuti tender-tender pengadaan barang atau jasa instansi pemerintahan di semua tingkatan. Bahkan, lebih ekstrem lagi membatasi hak pilih pengusaha dalam PEMILU maupun PILKADA.

Keempat, Faktor Kesadaran Pemilih. Mayoritas pemilih yang melanggengkan politik dinasti memilih berdasarkan hubungan kesukuan, kedaerahan, kekerabatan. Pola pemilih yang tradisional ini diperkuat oleh kerja-kerja tim sukses di lapangan untuk meraih simpati masyarakat. Karena itu, dibutuhkan gerakan sosial dari aktor-aktor yang peduli demokrasi Indonesia untuk melakukan pendidikan politik agar memilih berdasarkan visi misi dan kinerja, bukan berdasarkan hubungan keluarga dengan Kepala Daerah serta uang money politik dan bagi-bagi sembako.

Lalu, Apakah dinasti politik dan korupsi mengancam demokrasi ?. Iya, mengancam demokrasi, jika tidak mengubah sistem politik secara sistematis mulai dari Proses perekrutan calon kepala daerah oleh partai politik, Pembatasan para pemodal dalam PEMILU dan PILKADA, serta pendidikan politik yang massif terhadap masyarakat tentang keburukan politik dinasti dan korupsi bagi perkembangan bangsa Indonesia kedepan.


Artikel dikutip dari berbagai sumber

No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...