Setiap perhelatan pemilu yang diadakan 5 tahun sekali akan melahirkan Calon Legislatif (Caleg) kurang lebih 300 ribu orang mulai dari tingkatan DPRD Kota Kabupaten hingga DPR RI. Jumlah kursi yang diperebutkan 17.610 kursi DPRD Kota Kabupaten, 2.207 kursi DPRD Provinsi dan 570 kursi DPR RI. Jumlah total kursi yang diperebutkan 20.392 kursi.
Pada saat menjelang pemilu 2019, Partai Politik berlomba - lomba merekrut Caleg dari Warga dengan berbagai latar belakang profesi. Dalam proses perekrutan warga menjadi Caleg tak lagi melalui standar - standar Partai Politik sebagai yang tertera dalam anggaran dasar, semuanya serba instan saja. Kemampuan dan keinginan menjadi Caleg tak lagi sesui harapan pemilih. Kaderisasi Partai Politik tidak berjalan sebagaimana mestinya. Visi Misi Partai Politik hanyalah sekedar tempelan di baliho, banner dan stiker para Caleg. Bukan pemahanan mendalam demi memberikan pendidikan politik yang baik terhadap pemilih.
Syarat utama menjadi Caleg yang menjadi perhatian utama Partai Politik hanya ada 2 yakni Warga yang tidak pernah tersangkut hukum terkait korupsi dan narkoba. Syarat lain hanyalah formalitas belaka.
Caleg yang awalnya orang biasa-biasa saja yang beraktivitas di lingkungan kerja masing-masing, tiba-tiba menjadi populer. Model marketing politik yang diwajibkan mirip cara perkenalan artis terkanal di televisi - televisi. Otak dan muka tak lagi menjadi pertimbangan. Tak lagi peduli cantik-jelek, tua-muda, cerdas - goblok, pro rakyat-pro uang dan seterusnya. Paling penting adalah memasang baliho, banner, poster poster, dan stiker di jalan - jalan utama hingga gang-gang kampung sampai tingkat rukun tetangga (RT) untuk tingkatkan popularitas. Pemilih yang belum pernah mendapatkan kesempatan menjadi Caleg terkesimak dan mengakui semua calon sebagai orang baik, keluarga, rekan kerja, teman sepermainan dan seterusnya. Walau sebenarnya sebagian Caleg sebenarnya penjahat kelas kakap. Akhirnya si Caleg besar kepala karena menjadi artis ibukota dadakan yang menjadi perbincangan publik.
Tak sedikit Caleg unjuk kekuatan dalam hal kekayaan karena investasi sosial yang sangat minim untuk meningkatkan elektabilitas atau keterpilihan. Datang dan pergi menemui pemilih dengan gaya perlente. Mobil mewah dilengkapi fasilitas sogokan berupa sembako, pakaian, alat kerja dan seterusnya. Dalam setiap perjalanan dikawal dengan tim sukses seperti halnya body guard. Janji demi janji, harapan demi harapan dilontarkan ke setiap pemilih yang ditemuinya. Sebagian pemilih yang sudah capek janji palsu Caleg melontarkan balik kata-kata "semua caleg sama dipenuhi dengan janji palsu dan pembohong". Si Caleg pun putus asa untuk menggaet suara pemilih, cara pintas ditempuh dengan memberi sogokan uang atau barang. Walau dilarang dalam UU Pemilu untuk menyogok pemilih, namun tetap saja dilakukan demi mendapatkan pujian dan rasa simpati para pemilih. Larangan menyogok pemilih tertuang juga dalam ayat suci al quran, yang perbolehkan hanyalah yang sifatnya sedekah. Bukan memberi imbalan demi mendapatkan suara. Tapi begitulah cara - cara caleg mendapatkan suara pemilih demi memuaskan nasfu berkuasa yang tertanam dalam otak bawah sadarnya.
Pasca Pencoblosan
Pasca pencoblosan 17 april lalu, Caleg yang gagal mendapatkan suara sesui dengan target dalam suatu wilayah, kembali menjadi perbincangan publik. Kali ini bukan lagi kekaguman terhadap sikap angkuh para caleg, melainkan sikap buruk para Caleg. Hasrat berkuasa dengan modal yang besar tidak sebanding dengan suara yang didapatkan untuk duduk di kursi perlemen. Media televisi, koran, media online dan media sosial kembali marak perbincangkan prilaku para caleg yang tidak terpuji itu.
Kasus kesal suara anjlok dari mengusir pemilih hingga meminta kembali serangan fajar yang telah diberikan ke pemilih. Kasus pertama, di Kolaka Utara, Sulawesi Tenggara, seorang Caleg Partai PKB mengusir salah satu warga untuk memindahkan rumahnya di lokasi yang lain. Tanah tempat berdiri adalah tanah milik si Caleg, karena kesal tidak mendapatkan suara sesui dengan harapkan maka diusir untuk angkat rumah. Lokasi kejadian di Desa Kulu-Kaluku, Kecamatan Kodeoha.
Kasus kedua di Maluku Utara, Caleg DPR RI dari Partai NasDem, Achmad Hatari kesal terhadap pemilih karena suara tidak sesui harapan di Kelurahan Tomolou, Kecamatan Tidore. Ujungnya datang kembali meminta sajadah dan jam dinding yang telah disumbangkan ke Mesjid di wilayah itu.
Kasus ketiga di Kota Kendari, Caleg DPRD Kota Kendari dari Partai berbeda-beda yakni PAN, Golkar dan Perindo mendatangi Ketua RW dan Ketua RT untuk meminta kembali uang serangan fajar yang telah diserahkan sebelumnya. Penyebabnya sama yakni suara yang diharapkan di wilayah itu tidak sesui harapan.
Resiko politik dari sogok menyogok untuk mendapatkan suara pemilih sangat tinggi yang tidak pernah diperhitungkan Caleg yang tidak menerima kekalahan. Nasfu berkuasa dalam diri sangat tinggi, sehingga menghilangkan akal sehat dan mempermalukan diri sendiri.
Sekali lagi... sogok menyogok untuk mendapatkan suara pemilih dilarang oleh Agama dan UU Pemilu, tetapi tak diindahkan oleh Para Caleg. Nafsu berkuasa memang berat, menyesal belakangan. Selain resiko kehilangan uang yang jumlahnya cukup besar dan harga diri, para Caleg rentan dengan penyakit kejiwaan seperti depresi, stres, gila bahkan meninggal dunia.
Kasus Caleg Stres di Cirebon, Caleg DPRD Cirebon Dapil 7, Yayat Abdulrahman stres berat karena hanya mendapatkan 1.000 suara dari total 7.000 yang diharapkan. Ia pun mendatangin pondok Albusthami Anti Galau untuk berobat dengan cara mandi kembang. Menurut ahli psikologi, tingkatan penyakit kejiwaan yang dialami Yayat baru sebatas stres tingkat menengah.
Kasus Caleg stres lain di Maluku yang membakar 15 kotak suara. Caleg Partai PDIP Provinsi Maluku itu diduga stres berat karena membakar surat suara dan dokumen lainnya di Sekretariat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) di Desa Weduar, Kecamatan Kei Besar Selatan, Maluku Tenggara, Kamis (18/4). Kasus stres berat terjadi di Kota Kendari, Seorang caleg DPR RI selalu merasa dirinya sudah menjadi anggota dewan padahal dari hitungan C1 dikalah telak dari partai lain. Menurut informasi Warga, setiap pagi si Caleg berpakaian jas rapi dilengkapi dengan pin DPR RI, danlalu duduk di kursi empuk yang mirip kursi anggota di DPR RI. Semua barang - barang itu disipakan setahun lalu ketika ditetapkan sebagai Calon Sementara Anggota (DCT) DPR RI. Kategori stres yang dialami para anggota diatas masuk dalam kategori stres berat dan perlu dirawat di rumah sakit jiwa terdekat.
Kasus yang lebih parah, Caleg yang masuk rumah sakit, karena sakit tiba-tiba hingga meninggal dunia. Kasus Caleg Partai NasDem Dapil 1 Kota Tasikmalaya, Cucu Darmawanti harus dilarikan ke rumah sakit Jasa Kartini, setelah mengetahui dirinya kalah. Cucu memang sakit asam lambung plus suara anjlok akhirnya masuk rumah sakit.
Kasus Caleg yang meninggal dunia menimpa Caleg PDIP, Euis Mulyati. meninggal dunia pada, Jumat (19/4/2019) pagi, akibat serangan penyakit jantung di rumahnya, saat penghitungan suara internal bersama timnya. Ia meninggal Kampung Kecapi, Kelurahan Sambongpari, Kecamatan Mangkubumi, Kota Tasikmalaya.
Kasus lain, Ketua DPC PDIP Kabupaten Ngada juga Wakil Ketua DPRD Ngada, Sely Raga Tua yang juga merupakan calon legislatif ( caleg ) dari Partai PDIP mengalami kecelakaan lalu lintas tunggal di Kota Bajawa, Rabu (17/4/2019) sekitar pukul 23.30 Wita setelah mengetahui suaranya anjlok di perhitungan suara TPS.
Membaca kasus - kasus para Caleg pemilu 2019 yang melanggar aturan pemilu, terkena penyakit jiwa hingga meninggal dunia. Setidaknya menjadi pelajaran bagi kita semua kedepan. Proses pemilu harus diperbaiki demi meminimalisir hal - hal yang merusak demokrasi dan para caleg serta pemilih kedepan. Partai Politik, KPU, Panwaslu dan pihak terkait harus melakukan evaluasi bersama demi Indonesia yang lebih baik kedepan.
Salam Demokrasi
No comments:
Post a Comment