Jual-beli suara (voter buying) menjadi salah satu topik diskusi paling menarik pasca penyelenggaran Pemilu di Indonesia. Bagi negara-negara demokrasi “berusia muda”, praktik perdagangan suara dalam kontestasi politik elektoral adalah fenomena umum, termasuk di Indonesia.
Sebab uang masih dianggap instrumen efektif dalam pengarahan massa ke tempat pemungutan suara dibandingkan janji-janji politik. Sehingga tidak berlebihan jika sebagian besar kalangan menduga tidak ada satupun orang di Indonesia yang berhasil merebut kekuasaan (legislatif atau eksekutif) tanpa praktik jual-beli suara.
Berdasarkan hasil survei Muhtadi (2018), praktik jual-beli suara diproksi berdasarkan penargetan voter buying, jumlahnya semakin bertambah. Pada April 2009, hanya 11,2% responden yang menganggap praktik jual-beli suara sebagai hal wajar dan dapat diterima.
Namun, dit ahun 2014, jumlah responden yang meniai praktik jual-beli suara sebagai hal wajar untuk memenangkan pertarungan jumlahnya bertambah menjadi 29%, naik 9% dari tahun 2013. Data ini sekaligus menggambarkan bahwa praktik perdagangan suara dalam Pemilu di Indonesia semakin intensif dan mendapat tempat di tengah-tengah pemilih Indonesia.
Mereka tidak lagi melihat kualitas visi-misi, program, pengalaman, kinerja, dan berbagai pertimbangan rasional lainnya dalam memilih kandidat, tapi mengggunakan “rasionalitas material”. Pemilu menjadi pasar karena mempertemukan kandidat (pemberi) yang “lapar” kekuasaan dan masyarakat (penerima) rela menjual suaranya untuk kepentingan jangka pendek.
Tingginya praktik jual-beli suara dalam Pemilu di Indonesia setidaknya disebabkan oleh dua hal mendasar, yaitu kinerja penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) yang belum maksimal dan rendahnya kedekatan masyarakat terhadap institusi partai politik (party ID). Kedua institusi ini penting dibenahi jika kita berkomitmen memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu di Indonesia, baik di tingkat nasional maupun di daerah.
Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Bawaslu memiliki dua tugas utama, yaitu melakukan pencegahan dan penindakan terhadap pelanggaran Pemilu dan sengketa proses Pemilu. Dalam poin lebih spesifik, UU menugaskan Bawaslu untuk mencegah terjadinya praktik politik uang atau praktik perdagangan suara. Namun, sejak pemilihan langsung dilaksanakan hingga sekarang, dua fungsi utama tersebut belum maksimal dijalankan.
Dalam menjalankan fungsinya, Bawaslu cenderung pasif, menunggu laporan masyarakat tentang praktik pelanggaran Pemilu dan tidak melakukan pengawasan intensif, terutama ketika mendekati hari pencoblosan. Sementara pelaku (pemberi dan penerima) jual-beli suara bekerja intensif ketika menjelang Pemilu dan biasanya berlangsung pada malam/subuh hari (serangan fajar).
Jika Bawaslu bekerja di pagi hari dan pelaku perdagangan suara bekerja di malam hari, maka sulit bagi Bawaslu untuk melihat langsung bagaimana praktik jual-beli suara dan akhirnya sulit membuktikan perilaku kejahatan pemilu ini.
Partai politik juga harus bertanggung jawab terhadap tingginya intensitas praktik jual-beli suara di Indonesia. Sebab institusi inilah yang menjadi kendaraan bagi siapa pun di Indonesia yang ingin masuk dalam gelanggang pertarungan politik elektoral.
Sayangnya, partai politik di Indonesia hanya bertambah jumlah tapi tidak menunjukkan perbaikan kualitas. Partai politik di Indonesia hanya bertarung untuk merebut kekuasaan tanpa berpikir dan bertindak untuk menjawab permasalahan publik. Mereka mendekati dan berjanji untuk memperbaiki kesejahteraan masyarakat jika pesta demokrasi sudah menjelang dan lupa terhadap janji politik setelah kekuasaan sudah dalam genggaman.
Ketidakhadiran partai politik dalam menjawab permasalahan publik menyebabkan tingkat kepercayaan terhadap institusi ini terus memburuk. Tercatat, tahun 2016, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya 39,2%, paling rendah setelah DPR di antara enam institusi yang disurvei oleh Indikator Politik Indonesia.
Rendahnya tingkat kepercayaan menyebabkan minat masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai partisan partai politik semakin rendah. Selain itu, sebagian besar hasil survei menunjukkan bahwa dalam memilih kandidat, masyarakat tidak lagi melihat parpol pengusung tapi cenderung memilih sosok kandidat.
Kasus menangnya kolom kosong di Kota Makassar dalam Pemilukada serentak baru-baru ini membuktikan bahwa partai kehilangan kepercayaan publik. Rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik membuat praktik jual-beli suara semakin marak dalam Pemilu di Indonesia.
Membenahi Bawaslu dan Parpol akan signifikan pengaruhnya terhadap penurunan perdagangan suara. Bawaslu harus menjaga independensi sebagai penyelenggara pemilu dan bekerja cerdas dengan melakukan pengawasan intensif, terutama menjelang hari pencoblosan.
Jika dimungkinkan, Bawaslu dapat bekerja sama dengan kelompok-kelompok masyarakat dan kepolisian untuk menjalankan fungsi intelejen untuk memotret dan membuktikan langsung terjadinya kecurangan dalam Pemilu. Bawaslu tidak boleh pasif menunggu laporan, sebab “tak ada pencuri yang melaporkan dirinya mencuri”.
Selain Bawaslu, Partai Politik juga harus menyadari dan membenahi diri. Membangun kedekatan dengan masyarakat dengan cara melakukan pembasisan sosial (membantu masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan) meski Pemilu belum dilaksanakan sangat penting.
Jika mampu melakukan ini, maka Partai Politik tidak hanya sekadar lembaga tapi juga menjadi nilai yang menjadi identitas masyarakat. Kasus ini dapat dilihat di Amerika Serikat, di mana Demokrat dan Republik bukan hanya sekadar partai tapi menjadi identitas partisan mereka.
Penulis Syahril, Peneliti
No comments:
Post a Comment