Antaranews.com |
“Mari peringati 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, 25 November –10 Desember 2015” pesan itu masuk melalui media bbmku. Sesuatu banget karena hal baru dalam hidupku.
Saya mencoba mencari tingkat kekerasan perempuan selama setahun. Angka kekerasan terhadap perempuan berdasarkan catatan akhir tahun Komnas Perempuan terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2014, Komnas Perempuan mencatat jumlah kekerasan atas perempuan mencapai 305.730. Jumlah tersebut meningkat dari tahun 2013 di mana tercatat 279.688 kasus kekerasan atas perempuan. 1
Dan Kekerasan Seksual pada tahun 2014 mencapai 3.860 kasus di ranah komunitas, sebanyak 2.183 kasus atau 56%-nya adalah kasus kekerasan seksual berupa perkosaan, pencabulan, pelecehan seksual dan paksaan berhubungan badan. Menurut Komnas Perempuan setiap 2 jam, ada 3 perempuan menjadi korban kekerasan seksual dan pelaku kekerasan 60% terjadi didalam rumah dengan pelaku yaitu ayah, paman, kakak atau suami korban atau orang terdekat. 2
Lalu bagaimana dengan kondisi di Sulawesi Tenggara. Saya tidak menemukan banyak referensi untuk menyebutkan angka-angka kekerasan terhadap perempuan yang terjadi selama ini. Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait hanya mengatakan, Provinsi Sulawesi Tenggara saat ini sudah masuk zona kategori provinsi tahap darurat kejahatan seksual terhadap anak. 3
Adapun beberapa kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Sulawesi Tenggara yakni Kekerasan Seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), Kekerasan terhadap buruh sawit khususnya kaum perempuan dan terakhir Kebijakan PERDA yang menyingkirkan kaum perempuan.
Pertama, kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang terjadi yakni Kasus Kekerasan Seksual terhadap anak kandung di Kabupaten Muna. LE (35), Warga Desa Gonsume, Kecamatan Duruka Diduga mencabuli Mawar (13). 4. LE merupakan ayah kandung Mawar. Hal ini dipengaruhi karena Mawar ditinggal oleh Ibunya yang telah menikah lagi, dan tinggal bersama ayahnya dan bibinya.
Kedua, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yakni, pertama La Ode Andi Pili, Kepala Dinas Koperasi Usaha Kecil dan Menengah (DISKOP dan UKM) Provinsi Sulawesi Tenggara diduga melakukan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Wa Ode Fatma Farianti Melaporkan Ke POLDA SULTRA. 5. Kedua, Dugaan kasus KDRT melibatkan Kepala Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB) Provinsi Sulawesi Tenggara, Drs Suhardin yang dilaporkan ke POLDA SULTRA. 6
Ketiga, Data Kepolisian Sektor Wawotobi Unaha mencatat pada 2014 lalu ada 100 laporan polisi. Sekitar 25 persen didominasi kasus KDRT dan penganiayaan. sebagian besar KDRT dilatarbelakangi ketidakpuasan dalam rumah tangga, utamanya faktor ekonomi. Tapi, kerap pula karena faktor eksternal, misalnya suami yang pulang mabuk lalu memukuli istri. Sang istri keberatan lalu melaporkannya. 7
Dari ketiga berita kasus KDRT diatas dapat dilihat KDRT mayoritas dilakukan oleh laki-laki dan orang terdekat. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah faktor ekonomi. Faktor Ekonomi ada 2 hal yakni kekurangan ekonomi seperti yang terjadi di Wawotobi dan kelebihan ekonomi seperti kasus yang menimpa oknum pejabat Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Selain faktor ekonomi, kasus di Wawotobi banyak dipengaruhi oleh pengaruh minuman keras dan pulang mabuk lalu memukuli istri.
Ketiga, Kekerasan terhadap buruh sawit khususnya kaum perempuan yang terungkap oktober kemarin. Contoh kasus terjadi di Konawe Utara yang menimpa buruh perempuan PT DJL. Beberapa hak-hak buruh perempuan tidak didapatkan seperti cuti hamil, cuti melahirkan dan cuti haid serta tidak adanya fasilitas yang memadai untuk kesehatan perempuan.8
Keempat, Penerbitan Perda No 18 Tahun
2014 tentang Etika Berbusana di Kota Kendari yang menyingkirkan kaum perempuan.
Pasal 1 ayat 7 menyatakan “Busana yang baik bagi laki-laki yang tidak boleh
diperlihatkan adalah anggota tubuh dari pusat sampai ke lutut”. Dan Pasal 1
ayat 2 tentang busana perempuan “Busana yang baik bagi perempuan yang tidak
boleh diperlihatkan adalah anggota tubuh dari atas dada sampai ke lutut”.
Dalam
Pasal 7 Perda No 18 Tahun 2014,
1.
Ketentuan
mengenai busana yang baik bagi pegawai pada kantor pemerintah daerah dan Badan
Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) huruf a sebagai
berikut :
a.
Laki-laki
:
1). Memakai Celana Panjang
2). Memakai Baju Lengan panjang
/ pendek
b.
Perempuan
:
1). Memakai baju lengan panjang
/ pendek
2). Memakai rok yang menutupi
lutut atau celana panjang
2.
Busana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah busaba yang tidak tembus pandang
(tidak transparan), dan tidak memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh (tidak ketat)
Beberapa aliansi perempuan Kota Kendari yang tergabung dalam Forum Masyarakat Kota Kendari, secara tegas menyatakan penolakannya terhadap Perda ini karena dianggap bertentangan dengan undang-undang yang sudah berlaku, diantaranya Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1994, undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang pengesahan konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminatif terhadap perempuan. Dan juga melanggar instruksi presiden nomor 9 tahun 2000 tentang kesetaraan gender dalam pembangunan nasional. 9
Untuk kasus PERDA Berbusana
Kota Kendari, Saya sependapat dengan Shera Rindra, Salah Satu korban
pemerkosaan yang diliput oleh BBC Indonesia yang mengomentari tentang cara
berpakaian menjadi penyebab utama kekerasan seksual. Berikut Pernyataannya, Mungkin
baiknya lebih banyak cari tahu terlebih dahulu sebelum berasumsi dan mengambil
kesimpulan. Banyak sekali perempuan yang berhijab hingga bercadar mengalami
kekerasan seksual. Berapapun jumlah kasusnya tetap saja penting dan banyak.
Bukan angka yang jadi patokan.
Banyak sekali kasus yang
ditutup-tutupi, baik dari korbannya sendiri, keluarganya, hingga negara. Bukan
pakaian yang menjadi masalah. Tetapi cara pandang laki-laki (mayoritas) yang
melihat perempuan sebagai objek seksual. Tidak semua perempuan berani
bersuara dan melaporkan kasusnya, termasuk perempuan yang berhijab dan
bercadar, karena orang-orang seperti Andalah yang lebih senang menghakimi
korban daripada pelaku, sehingga membuat perempuan lebih memilih bungkam.
Padahal pelaku memiliki pilihan
untuk tidak melakukan kekerasan kepada siapapun. Dan banyak loh, laki-laki yang
anti kekerasan terhadap perempuan karena itu mereka memilih untuk tidak
melakukan kekerasan serta sadar bahwa kekerasan dalam bentuk apapun adalah
tindak kejahatan. Jadi apapun alasannya, tidaklah perlu membenarkan kejahatan
yang terjadi pada siapapun. Karena siapa saja bisa menjadi korban, siapa saja
bisa menjadi pelaku.
Tentunya pernah dengar dong,
ya... Kasus-kasus perkosaan yang terjadi pada bayi dan nenek-nenek? Pernah juga
dong ya dengar kasus perkosaan insest yang dilakukan oleh ayah kandung, kakek,
paman, saudara kandung dll. Apa ini karena pakaian? Ayo, sama-sama mengubah
pola pikir dan berpihak pada korban bukan pada pelaku. Jika pola pikir anda
tetap seperti itu, tidaklah jauh berbeda dengan cara berpikir pelaku yang
membenarkan tindak kejahatannya” 14
No comments:
Post a Comment