Ilustrasi |
Bencana makin massif
terjadi di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2019 tepatnya bulan Juni, telah
terjadi bencana besar yang meliputi tujuh Kabupaten Kota meliputi Kabupaten
Bombana, Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Utara,
Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari. Banjir
terbesar terjadi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara.
Berdasarkan data BPBD Provinsi Sulawesi Tenggara, Jumlah warga terdampak kurang lebih 105.107 jiwa.
Korban terdampak tersebar
di Kabupaten Konawe sebesar 72.297 jiwa tersebar di 21 Kecamatan, di Kabupaten
Konawe Utara sebesar 18.765 jiwa yang tersebar di 7 kecamatan 51 desa /
kelurahan, di Konawe Selatan sebesar 5.245 jiwa yang tersebar di 17 Kecamatan,
di Kolaka Timur 7.786 jiwa yang tersebar di 5 kecamatan. Kabupaten Bombana
kurang lebih 100 jiwa yang bermukim di Desa Tongkoseng Kecamatan Tontonunu. Di Kota
Kendari ribuan warga terdampak di 10 Kelurahan meliputi Lepo-lepo, Wandudopi,
Wua Wua, Anawai, Bonggoeya, Mataiwoi, Andonouhu, Kampung Salo, Sodoha dan
Kemaraya. Untuk bencana banjir di Kabupaten Konawe Kepulauan tidak terlalu
parah. Intesitas bencana banjir terparah di Kota Kendari, berdasarkan data dibi
BNPB sudah 4 kali terjadi banjir di Kota Kendari selama tahun 2019 ini.
Kerugian materi yang dialami akibat bencana banjir di Sulawesi Tenggara, berdasarkan data yang kami himpun dari berbagai media sebesar Rp. 921,8 miliar.
Kerugian terbesar di
Kabupaten Konawe Utara, berdasarkan penuturan Bupati, Ruksamin menyatakan di
salah satu media, kerugian meteri akibat bencana banjir mencapai Rp. 674,8
miliar. Kemudian disusul di Kabupaten Konawe, Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali
Mazi menyatakan di media bahwa kerugian bencana banjir di Kabupaten Konawe
mencapai Rp. 226,58 miliar. Disusul Kabupaten Konawe Selatan berdasarkan data
BPBD, kerugian mencapai Rp 19,42 miliar.
Untuk Kota Kendari berdasarkan data BPDB Kota Kendari yang diliput
inilahsultra.com menyebutkan, kerugian akibat bencana banjir dan tanah longsor
antara bulan Mei dan Juni 2019 kurang lebih Rp. 1 miliar. Kerugian di Kabupaten
Bombana dan Konawe Kepulauan belum ada data.
Kerusakan
Lingkungan Sebagai Penyebab
Berbagai pihak merasa
prihatin dengan kondisi alam di Sulawesi Tenggara yang menyebabkan banjir besar
antara bulan Mei – Juni 2019 lalu. Penyebabnya eksploitasi alam yang berlebihan
dengan mengurangi lahan hijau sebagai penahan air untuk masuk ke bumi. Air
bebas masuk ke sungai. Selain itu, Daerah aliran sungai yang kritis sehingga
tanah dan lumpur masuk ke sungai mengakibatkan pendangkalan. Ketika intensitas
hujan yang tinggi tidak mampu untuk menampung semua air.
Rektor Universitas
Haluoleo Kendari, Prof Dr Muhammad Zamrun, dalam acara Kongres Nasional Silvikultur
di Hotel Zahra tahun 2018 lalu menyatakan,“sekitar 900 ribu ha lahan
kritis berada dalam kawasan hutan di Sulawesi Tenggara. Kurang lebih 300 ribu
hektar lahan kritis ada dalam kawasan hutan. Untuk lahan kritis yang ada diluar
kawasan hutan sekitar 600 ribu hektar” Prof Dr Muhammad Zamrun
Guru Besar Kehutanan
Universitas Haluoleo, Husna Faad Mande dalam kompas cetak menyatakan, 70%
tutupan lahan hutan habis karena alih fungsi lahan menjadi pertambangan dan
perkebunan skala besar. Lahan kritis di Sulawesi Tenggara menyumbang sepertiga
dari total lahan kritis di Sulawesi yang mencapai 2,7 hektar.
Data perkebunan sawit
dalam skala besar di Sulawesi Tenggara, yang kami dapatkan dari Ditjenbun
Pertanian, menunjukkan peningkatan pembukaan lahan dari tahun 2015 ke tahun
2017 sebesar 5.060 Hektar. Pada tahun 2015, Perkebunan kelapa sawit sebesar
45.759 hektar meningkat pada tahun 2017 menjadi 50.819 hektar. Sebanyak 85%
pengelolaan perkebunan Sawit didominasi oleh pihak swasta. Perusahaan negara hanya
mengelola 5% dan perkebunan rakyat 10%.
Menurut Dinas Kehutanan
Provinsi Sulawesi Tenggara, Sepanjang tahun 2018 sebanyak 50 izin pinjam pakai
kawasan hutan untuk industry pertambangan dengan luas 43.636 hektar yang
dikeluarkan di Sulawesi Tenggara.
Menurut Nur Alam, mantan
Gubernur Sulawesi Tenggara, IUP pertambangan yang diterbitkan mencapai 528 IUP,
dengan luas lahan mencapai 1.495 juta hektar lebih atau 39,21 persen dari luas
Sulawesi Tenggara (antara.com, 24/04/2013). Berbeda dengan Ali Mazi, Gubernur
Sulawesi Tenggara yang diliput Kompas.com 26/06 menyatakan, jumlah Izin Usaha
Pertambangan di Sulawesi Tenggara mencapai 393 IUP. Jadi sebanyak 135 IUP telah
dicabut dalam masa transisi kepemimpinan dari Nur Alam ke Ali Mazi. Ironisnya dari
393 IUP hanya dua perusahaan yang Clean and Clear secara sempurna.
Sorotan
Berbagai Pihak
Kerusakan lingkungan
sebagai penyebab banjir bukan hanya datang dari kalangan akademisi Universitas
Haluoleo. Organisasi Lingkungan Hidup Walhi menyoroti izin pertambangan dan perkebunan
sawit yang massif tanpa pemulihan lingkungan.
Wakil Presiden Jusuf Kalla
dalam pembukaan Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (11/07)
menyoroti banjir yang terjadi di Konawe Sulawesi Tenggara. Ia menginstruksikan
“Kalau selesai menambang harus reklamasi dan menghutankan kembali. Tanpa itu
akan terjadi bencana”.
Menyambut komentar Wakil
Presiden dalam acara yang sama, Menteri
LHK Siti Nurbaya menyatakan, Pemerintah akan membuat aturan permanen
agar tidak ada izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut.
Begitupun dengan Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Letnan Jenderal Doni Monardo
ketika mengunjungi Konawe yang diliput bisniscom menyatakan, pengembalian
fungsi hutan sebagai resapan air patut menjadi perhatian serius Pemerintah
Sulawesi Tenggara. Air adalah sumber kehidupan tetapi air akan murka ketika
tidak lagi meresap ke dalam perut bumi. Ia menginstruksikan agar pembentukan
tim lintas ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan bencana banjir di
Sulawesi Tenggara.
Solusi
Tidak bisa dipungkiri
tambang masih menjadi primadona dalam pembangunan di Sulawesi Tenggara. Ekspor
pertambangan masih mendominasi tahun 2019 ini,
mencapai 70% dari total ekspor. Hasil pertanian berupa mente dan kakao
dan hasil perikanan kalah bersaing dengan sektor pertambangan.
Namun darisegi pendapatan
sektor pertambangan hanya menyumbang Rp 99,8 miliar pada tahun 2018 dari total
penerimaan daerah Rp. 705 miliar rupiah. Jauh lebih besar kerugian yang
diakibatkan bencana karena kerusakan lingkungan diakibatkan pertambangan.
“Rakyat biasa” terkena dampak dan total kerugian mencapai 921,8 miliar.
Nasi sudah jadi bubur,
kerugian yang sangat besar tentunya akan membebani APBD Provinsi Sultra dan
APBN kedepan. Olehnya itu, Kita perlu mengubah paradigma dalam pembangunan
Sulawesi Tenggara kedepan.
Pertama,
mitigasi bencana semua sektor dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi. Bersama
para pakar berbagai bidang ilmu harus bersama-sama Pemerintah Daerah merancang
RPJMND berdasarkan karakter bencana masing – masing daerah. Selain itu, Pemprov
Sultra harus bisa menjadi penengah bagi kawasan DAS dan hutan yang lintas
Kabupaten/Kota.
Kedua,
Bencana bukan dilawan, melainkan bagaimana beradaptasi dengan bencana tersebut.
Misalnya menciptakan adaptasi dalam pertanian, adaptasi ketersediaan air,
adaptasi kesehatan, adaptasi tata ruang, serta adaptasi perkotaan dll.
Ketiga,
Mengevaluasi semua Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Perkebunan,
bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak terkait
lainnya. Izin yang sudah kadaluarsa distop untuk tidak dilanjutkan lagi.
Keempat, Pemerintah Provinsi Sultra
harus mencoba merumuskan sistem ekonomi hijau atau green economic. Menciptakan
pertumbuhan ekonomi berbasis pada lingkungan hidup agar anak cucu tidak terkena
dampak bencana kedepan. Semua sektor pembangunan harus berdasarkan ekonomi
hijau seperti sektor perikanan, sektor pertanian, sektor industri, sektor
perkotaan dll.
Membangun dengan konsep
ekonomi hijau memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena butuh
waktu, tenaga, pikiran dan uang yang besar. Pembangunan masa sekarang bukan
hanya untuk dinikmati 5 tahun yang akan datang, tetapi 10 tahun, 20 tahun
hingga 50 tahun kedepan. Butuh kemauan yang besar untuk mengubah lingkungan
yang rusak menjadi hijau kembali, dan pertumbuhan ekonomi tetap membaik di
Sulawesi Tenggara kedepan
Baca Juga
No comments:
Post a Comment