Sunday, December 1, 2019

KRISIS LINGKUNGAN BAWA SULAWESI TENGGARA DALAM KEHANCURAN

Ilustrasi


Bencana makin massif terjadi di Sulawesi Tenggara. Pada tahun 2019 tepatnya bulan Juni, telah terjadi bencana besar yang meliputi tujuh Kabupaten Kota meliputi Kabupaten Bombana, Kabupaten Kolaka Timur, Kabupaten Konawe, Kabupaten Konawe Utara, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Konawe Selatan dan Kota Kendari. Banjir terbesar terjadi di Kabupaten Konawe dan Konawe Utara.

Berdasarkan data BPBD Provinsi Sulawesi Tenggara, Jumlah warga terdampak kurang lebih 105.107 jiwa.

Korban terdampak tersebar di Kabupaten Konawe sebesar 72.297 jiwa tersebar di 21 Kecamatan, di Kabupaten Konawe Utara sebesar 18.765 jiwa yang tersebar di 7 kecamatan 51 desa / kelurahan, di Konawe Selatan sebesar 5.245 jiwa yang tersebar di 17 Kecamatan, di Kolaka Timur 7.786 jiwa yang tersebar di 5 kecamatan. Kabupaten Bombana kurang lebih 100 jiwa yang bermukim di Desa Tongkoseng Kecamatan Tontonunu. Di Kota Kendari ribuan warga terdampak di 10 Kelurahan meliputi Lepo-lepo, Wandudopi, Wua Wua, Anawai, Bonggoeya, Mataiwoi, Andonouhu, Kampung Salo, Sodoha dan Kemaraya. Untuk bencana banjir di Kabupaten Konawe Kepulauan tidak terlalu parah. Intesitas bencana banjir terparah di Kota Kendari, berdasarkan data dibi BNPB sudah 4 kali terjadi banjir di Kota Kendari selama tahun 2019 ini.

Kerugian materi yang dialami akibat bencana banjir di Sulawesi Tenggara, berdasarkan data yang kami himpun dari berbagai media sebesar Rp. 921,8 miliar.

Kerugian terbesar di Kabupaten Konawe Utara, berdasarkan penuturan Bupati, Ruksamin menyatakan di salah satu media, kerugian meteri akibat bencana banjir mencapai Rp. 674,8 miliar. Kemudian disusul di Kabupaten Konawe, Gubernur Sulawesi Tenggara, Ali Mazi menyatakan di media bahwa kerugian bencana banjir di Kabupaten Konawe mencapai Rp. 226,58 miliar. Disusul Kabupaten Konawe Selatan berdasarkan data BPBD, kerugian mencapai Rp 19,42 miliar.  Untuk Kota Kendari berdasarkan data BPDB Kota Kendari yang diliput inilahsultra.com menyebutkan, kerugian akibat bencana banjir dan tanah longsor antara bulan Mei dan Juni 2019 kurang lebih Rp. 1 miliar. Kerugian di Kabupaten Bombana dan Konawe Kepulauan belum ada data.

Kerusakan Lingkungan Sebagai Penyebab
Berbagai pihak merasa prihatin dengan kondisi alam di Sulawesi Tenggara yang menyebabkan banjir besar antara bulan Mei – Juni 2019 lalu. Penyebabnya eksploitasi alam yang berlebihan dengan mengurangi lahan hijau sebagai penahan air untuk masuk ke bumi. Air bebas masuk ke sungai. Selain itu, Daerah aliran sungai yang kritis sehingga tanah dan lumpur masuk ke sungai mengakibatkan pendangkalan. Ketika intensitas hujan yang tinggi tidak mampu untuk menampung semua air.

Rektor Universitas Haluoleo Kendari, Prof Dr Muhammad Zamrun, dalam acara Kongres Nasional Silvikultur di Hotel Zahra tahun 2018 lalu menyatakan,“sekitar 900 ribu ha lahan kritis berada dalam kawasan hutan di Sulawesi Tenggara. Kurang lebih 300 ribu hektar lahan kritis ada dalam kawasan hutan. Untuk lahan kritis yang ada diluar kawasan hutan sekitar 600 ribu hektar” Prof Dr Muhammad Zamrun 

Guru Besar Kehutanan Universitas Haluoleo, Husna Faad Mande dalam kompas cetak menyatakan, 70% tutupan lahan hutan habis karena alih fungsi lahan menjadi pertambangan dan perkebunan skala besar. Lahan kritis di Sulawesi Tenggara menyumbang sepertiga dari total lahan kritis di Sulawesi yang mencapai 2,7 hektar.

Data perkebunan sawit dalam skala besar di Sulawesi Tenggara, yang kami dapatkan dari Ditjenbun Pertanian, menunjukkan peningkatan pembukaan lahan dari tahun 2015 ke tahun 2017 sebesar 5.060 Hektar. Pada tahun 2015, Perkebunan kelapa sawit sebesar 45.759 hektar meningkat pada tahun 2017 menjadi 50.819 hektar. Sebanyak 85% pengelolaan perkebunan Sawit didominasi oleh pihak swasta. Perusahaan negara hanya mengelola 5% dan perkebunan rakyat 10%.

Menurut Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Tenggara, Sepanjang tahun 2018 sebanyak 50 izin pinjam pakai kawasan hutan untuk industry pertambangan dengan luas 43.636 hektar yang dikeluarkan di Sulawesi Tenggara. 

Menurut Nur Alam, mantan Gubernur Sulawesi Tenggara, IUP pertambangan yang diterbitkan mencapai 528 IUP, dengan luas lahan mencapai 1.495 juta hektar lebih atau 39,21 persen dari luas Sulawesi Tenggara (antara.com, 24/04/2013). Berbeda dengan Ali Mazi, Gubernur Sulawesi Tenggara yang diliput Kompas.com 26/06 menyatakan, jumlah Izin Usaha Pertambangan di Sulawesi Tenggara mencapai 393 IUP. Jadi sebanyak 135 IUP telah dicabut dalam masa transisi kepemimpinan dari Nur Alam ke Ali Mazi. Ironisnya dari 393 IUP hanya dua perusahaan yang Clean and Clear secara sempurna.

Sorotan Berbagai Pihak
Kerusakan lingkungan sebagai penyebab banjir bukan hanya datang dari kalangan akademisi Universitas Haluoleo. Organisasi Lingkungan Hidup Walhi menyoroti izin pertambangan dan perkebunan sawit yang massif tanpa pemulihan lingkungan.

Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pembukaan Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia (11/07) menyoroti banjir yang terjadi di Konawe Sulawesi Tenggara. Ia menginstruksikan “Kalau selesai menambang harus reklamasi dan menghutankan kembali. Tanpa itu akan terjadi bencana”.

Menyambut komentar Wakil Presiden dalam acara yang sama, Menteri  LHK Siti Nurbaya menyatakan, Pemerintah akan membuat aturan permanen agar tidak ada izin baru untuk pengelolaan hutan alam dan lahan gambut.

Begitupun dengan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB), Letnan Jenderal Doni Monardo ketika mengunjungi Konawe yang diliput bisniscom menyatakan, pengembalian fungsi hutan sebagai resapan air patut menjadi perhatian serius Pemerintah Sulawesi Tenggara. Air adalah sumber kehidupan tetapi air akan murka ketika tidak lagi meresap ke dalam perut bumi. Ia menginstruksikan agar pembentukan tim lintas ilmu pengetahuan untuk menyelesaikan persoalan bencana banjir di Sulawesi Tenggara.

Solusi
Tidak bisa dipungkiri tambang masih menjadi primadona dalam pembangunan di Sulawesi Tenggara. Ekspor pertambangan masih mendominasi tahun 2019 ini,  mencapai 70% dari total ekspor. Hasil pertanian berupa mente dan kakao dan hasil perikanan kalah bersaing dengan sektor pertambangan.

Namun darisegi pendapatan sektor pertambangan hanya menyumbang Rp 99,8 miliar pada tahun 2018 dari total penerimaan daerah Rp. 705 miliar rupiah. Jauh lebih besar kerugian yang diakibatkan bencana karena kerusakan lingkungan diakibatkan pertambangan. “Rakyat biasa” terkena dampak dan total kerugian mencapai 921,8 miliar.

Nasi sudah jadi bubur, kerugian yang sangat besar tentunya akan membebani APBD Provinsi Sultra dan APBN kedepan. Olehnya itu, Kita perlu mengubah paradigma dalam pembangunan Sulawesi Tenggara kedepan.

Pertama, mitigasi bencana semua sektor dari tingkat Kabupaten hingga Provinsi. Bersama para pakar berbagai bidang ilmu harus bersama-sama Pemerintah Daerah merancang RPJMND berdasarkan karakter bencana masing – masing daerah. Selain itu, Pemprov Sultra harus bisa menjadi penengah bagi kawasan DAS dan hutan yang lintas Kabupaten/Kota.

Kedua, Bencana bukan dilawan, melainkan bagaimana beradaptasi dengan bencana tersebut. Misalnya menciptakan adaptasi dalam pertanian, adaptasi ketersediaan air, adaptasi kesehatan, adaptasi tata ruang, serta adaptasi perkotaan dll.

Ketiga, Mengevaluasi semua Izin Usaha Pertambangan dan Izin Usaha Perkebunan, bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan pihak terkait lainnya. Izin yang sudah kadaluarsa distop untuk tidak dilanjutkan lagi.

Keempat,  Pemerintah Provinsi Sultra harus mencoba merumuskan sistem ekonomi hijau atau green economic. Menciptakan pertumbuhan ekonomi berbasis pada lingkungan hidup agar anak cucu tidak terkena dampak bencana kedepan. Semua sektor pembangunan harus berdasarkan ekonomi hijau seperti sektor perikanan, sektor pertanian, sektor industri, sektor perkotaan dll.

Membangun dengan konsep ekonomi hijau memang tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena butuh waktu, tenaga, pikiran dan uang yang besar. Pembangunan masa sekarang bukan hanya untuk dinikmati 5 tahun yang akan datang, tetapi 10 tahun, 20 tahun hingga 50 tahun kedepan. Butuh kemauan yang besar untuk mengubah lingkungan yang rusak menjadi hijau kembali, dan pertumbuhan ekonomi tetap membaik di Sulawesi Tenggara kedepan

Baca Juga




No comments:

Post a Comment

Kebijakan dan Dampak Virus Corona di Indonesia

Ilustrasi Kekuatan ekonomi China sangat luar biasa di dunia saat ini. Kebangkitan ekonomi China bahkan mengalahkan Amerika Serikat. ...