Diduga ada pejabat desa di daerah yang merekayasa aturan guna mendapat lebih banyak dana desa. Pengawasan dan verifikasi mesti diperkuat untuk mengatasi masalah ini.
Konawe,
Kompas – Dem menadapat semakin banyak kucuran dana desa, ada pejabat di daerah
yang diduga merekayasa peraturan agar muncul desa – desa baru. Invesitagasi
kompas, akhir November, menunjukkan, fenomena itu terlihat di Kabupaten Konawe,
Sulawesi Tenggara.
Di
Konawe pejabat daerah diduga ikut merekayasa pembentukan peraturan daerah
(perda) untuk membentuk desa baru. Perda Nomor 7 Tahun 2011 tentang pembentukan
dan pendefinitifan desa-desa di Wilayah Kabupaten Konawe seolah dibuat dan
disahkan pada tahun 2011 atau setahun sebelum pemerintah menetapkan moratorium
pembentukan desa baru pada tahun 2012. Padahal, perda itu sebenarnya dibuat
pada pertengahan 2015 atau setelah kebijakan pemberian dana desa dari
Pemerintah.
Perda
Nomor 7/2011 yang dibuat dengan memundurkan tanggal atau backdate tersebut
memuat pengajuan kode wilayah untuk 56 desa di Konawe. Perda itu dan surat
rekomendasi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara menjadi acuan Kementerian
Dalam Negeri menerbitkan kode wilayah administrasi sehingga dana desa dapat
dikucurkan.
Dana
desa untuk 56 desa di Konawe itu mulai dicairkan awal 2017 hingga saat ini.
Pada 2017, Pemerintah menggelontorkan Rp. 60 triliun untuk 74.594 desa penerima
di seluruh Indonesia. Pada tahun yang sama, dana desa untuk Konawe mencapai Rp.
219,3 milliar.
Rekayasa
perda dengan membuatnya secara backdate
ini terungkap saat kompas menelusuri pejabat yang terlibat dalam pembuatannya.
Salah satunya Kepala Bagian Pemerintahan Kabupaten Konawe periode 2014 – 2015,
Jumrin Pagala yang kini mendekam di salah satu rumah tahanan di Sulawesi
Tenggara. Jumrin adalah orang yang membawa draf Perda Nomor 7/2011 untuk
ditandatangani dan diajukan ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara agar
mendapatkan kode wilayah 56 desa ke Kemendagri berjalan lancar.
Perintah
Atasan
Jumrin
yang tengah dipenjara 20 bulan karena perkara korupsi anggaran pendidikan saat
ia menjabat pelaksana tugas Kepala Dinas Pendidikan Konawe ini menuturkan,
pembuatan Perda nomor 7/2011 merupakan perintah atasannya. “Ya, jelas pimpinan
langsung saya itu Sekda (Sekertaris Daerah) saat itu Achmad Setiawan). Jelas
pasti melapor (Ke Bupati Kery Kanggoasa), tapi kan, Bupati tidak di kantor”
ujarnya.
Perda
No 7/2011 ditandatangani Lukman Abunawas, Bupati Konawe (2008 – 2013), dan
Irawan Laliasa, Sekertaris Kabupaten Konawe pada tahun 2011. Saat 56 desa diajukan Pemerintah Kabupaten
Konawe untuk mendapatkan kode wilayah pada juni 2015, Lukman Abunawas menjabat
menjabat Sekertaris Provinsi Sulawesi Tenggara. Kini Lukman Abunawas menjabat
Wakil Gubernur Sulawesi Tenggara.
Jumrin
menuturkan, Suatu sore tahun 2015, dia membawa dokumen perda berisi pengajuan
56 desa itu ke rumah Lukman untuk ditandatangani. Pada hari yang berbeda,
Jumrin membawa dokumen perda ke rumah Irawan. Meskipun sudah tidak lagi
menjabat di Konawe, keduanya tetap tanda tangan.
Setelah
perda ditandatangani Lukman dan Irawan, Jumrin membawa surat pengajuan 56 desa
dilampiri Perda No 7/2011 ke Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Surat
pengajuan ditandatangani Sekretaris Kabupaten Konawe pada tahun 2015, Achmad
Setiawan.
Pengajuan
kemudian ditindaklanjuti menjadi surat rekomendasi Gubernur Sulawesi Tenggara
ke Kemendagri yang menyetujui pemberian rekomendasi pemberian kode wilayah
administrasi terhadap 55 desa di Konawe. Hanya satu desa yang tidak
direkomendasikan, yakni Desa Wiau di Kecamatan Routa, karena masih dalam
penyelesaian sengketa batas wilayah antara Kabupaten Konawe dan Kabupaten
Kolaka Utara.
Achmad
mengaku hanya melampirkan perda sesui yang diberikan Jumrin dan Kabag Hukum
Pemkab Konawe Badaruddin. Dia tidak memeriksa keabsahan Perda itu. “mereka yang
kasih. Tidak tahu itu (perda) asli atau tidak”, Kata Achmad.
Saat
dikonfirmasi, Lukman menyangkal pernah menandatangani Perda No 7/2011. Dia
mengklaim ada oknum yang memalsukan tanda tangannya di perda itu. “Saya, kan,
2011 Bupati (Konawe), tetapi mereka bikin (perdanya) 2015. Yang salah siapa,
yang menggunakan dana itu setelah saya tidak bupati lagi”, Kata Lukman
Sementara
itu, Irawan tak membantah jika tanda tangannya ada pada perda No 7/2011. Namun,
ia lupa kapan menandatangani dokumen itu. “Saya tidak ingat, tetapi saya akui
itu mirip. Yang pasti 2011 tidak ada revisi terhadap perda Nomor 2/2011”, Ujar
Irawan.
Badaruddin
menyangkal pernah memberikan Perda Nomor 7/2011 kepada Achmad dan Jumrin. Ia
mengaku tidak tahu mengenai perda itu. Sementara Bupati Konawe Kery Saiful
Konggoasa belum dapat dikonfirmasi. Melalui ajudannya yang bernama Fauzi, Kery
mengaku belum mau diwawancara karena pertanyaan seputar dana desa di Konawe,
hanya boleh dijawab Kemendagri.
Tidak Tercatat
Kepala
Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Konawe, Apono memastikan Perda Nomor 7/2011
tidak tercatat sebagai perubahan atas perda Nomor 2/2011 tentang Pembentukan
dan Pendefinitifan Desa-Desa di Konawe. Dalam lembaran daerah di bagian hukum
Konawe, Perda Nomor 7/2011 tercantum sebagai perda tentang Pertanggungjawaban
APBD Konawe 2010.
Apono
menyebut kesalahan pengajuan 56 desa dengan melampirkan perda fiktif tidak bisa
hanya dilimpahkan ke Pemkab Konawe. Ini karena Pemrov Sultra dan Direktorat
Jenderal Bina Pemerintahan Desa Kemendagri pun tidak melakukan verifikasi
factual terhadap 56 desa di Konawe. Bahkan, perda fiktif itu menjadi acuan
untuk pemberian kode wilayah yang tertuang dalam Peraturan Kemendagri Nomor 137
Tahun 2017.
Laporan
Investigasi Kompas.
Terbit
di Kompas Cetak 4 Desember 2019.
No comments:
Post a Comment