Problem
Alokasi Dana Desa (ADD) di Sulawesi Tenggara yakni pertama, aparat desa lemah dalam proses perencanaan dan pelaporan. Kedua, oknum Kepala Desa/Kelurahan dan BPMD
Kota/Kabupaten akal-akalan memotong ADD.
Alokasi Dana Desa (ADD) akan disalurkan
ke 56.390 Desa dari 74.754 Desa seluruh Indonesia dengan total anggaran Rp.
20,7 Trilliun. Begitupun di Sulawesi Tenggara ADD sudah mulai digelontorkan ke
14 Kabupaten & Kota, dengan jumlah desa sebanyak 1.850 dan Kelurahan
sebanyak 373.
Menurut Menteri Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi (DPDTT), Marwan Jafar, Dana Desa tahap pertama dan
kedua itu bertujuan untuk pembangunan jalan desa, irigasi, jalan usaha tani,
sanitasi, air bersih dan lainnya. Dampak
positif dari pembangunan desa itu akan mengakibatkan perekonomian desa langsung
pulih dan bergerak cepat (25/09/2015). Pertanyaanya, apakah harapan Bapak
Menteri Marwan Jafar akan berjalan mulus ?, menurut pandangan pribadi penulis
tentunya tidak, seperti kasus di Sulawesi Tenggara di awal penyaluran ADD masih
terdapat beberapa kelemahan yang harus dievaluasi dan terus diperbaiki agar
program pembangunan desa dapat berjalan sesui harapan kita semua.
Nur Alam, Gubernur Sulawesi Tenggara
berkali-kali berkomentar di Media Massa, untuk terus mengingatkan para aparat
Desa, agar berhati-hati menggunakan dana desa karena sangat rawan akan korupsi.
Darisitu Tim Sekilas Kendari mencoba
mengumpulkan data-data tentang problem ADD di Sultra. Beberapa media menyajikan
data dan permasalahan yakni pertama
yakni soal perencanaan dan pelaporan yang lemah di tingkat desa.
Dana Desa sebesar Rp. 20 milliar sudah masuk rekening Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Konawe Kepulauan namun hanya akan disalurkan di Tiga Kecamatan karena persyaratan pencairan tidak lengkap seperti RPJMDes, RKPdes dan Perdes tentang APBDes ( September 2015).
“Oknum BPMD Kabupaten Kolaka Utara melakukan pemotongan 3 juta ketika anggaran Alokasi Dana Desa Cair sebagai biaya upah dalam membantu dalam Menyusun Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMdes)” (15 September 2015)
Kasus yang
terjadi di Konawe Kepulauan dan Kolaka Utara disebabkan karena kemampuan untuk perencanaan
yang lemah di Tingkat Desa. Kepala Desa/Kelurahan beserta Aparat tentunya
memang tidak bisa terlalu diharapkan dalam melakukan perencanaan secara utuh,
tetapi bukan hal yang tidak bisa dilakukan untuk merencakan pembangunan berdasarkan
aspirasi dari warga. Kasus yang terjadi diatas mengingatkan kita pada kasus
MUSREMBANG untuk PNPM Mandiri pada program Era SBY, hanya seolah-olah
partisipatif.
Kata
“Partisipatif” didengar sejak dahulu dalam proses pembangunan tetapi dalam
proses pelaksanaan sama sekali tidak menunjukkan proses partisipatif, melainkan
partisipatif berlaku hanya untuk tokoh-tokoh kampung tanpa mendengarkan keluhan
warga yang terpinggirkan, seharusnya mendengarkan keluhan warga dari segi umur,
kelamin, dan kelas sosial ekonomi.
“5 Desa terancam tidak terima ADD karena belum melengkapi laporan pertanggungjawaban di Buton Utara” (September 2015)”
“Jika mengacu pada syarat, untuk mendapatkan dana desa tahap kedua hanya 30 desa yang memenuhi syarat untuk pencairan. Selebihnya belum menyetorkan LPJ tahap satu. Kasus ini di Konawe Utara” ( 3 November 2015)
Kasus diatas menunjukkan ketidakmampuan
aparat Desa atau Kelurahan membuat laporan pertanggungjawaban sehingga
menghambat pembangunan untuk masyarakat di wilayahnya. Kalau perlu tidak hanya
sebatas laporan belaka, melainkan menciptakan indikator untuk mengukur
keberhasilan suatu proyek dalam sebuah Kampung atau Desa atau Kelurahan.
Indikator ini untuk mengukur tingkat keberhasilan sebuah proyek.
Proses pelaporan sampai mengukur
indikator keberhasilan memang sangat sulit, namun momentum ADD ini bisa
dijadikan ajang proses belajar bagi aparat kelurahan dan aparat desa dalam
merencanakan dan melaporkan sebuah proyek pembangunan serta mengetahui
perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan warga akibat pembangunan tersebut.
Jika Laporan pertanggungjwaban diberi kelonggaran maka Kepala Desa dan Kepala
Kelurahan banyak yang akan terjerat kasus korupsi dan pembangunan tidak akan berjalan
dengan lancar kedepan.
Kasus kedua yakni
akal-akalan Oknum Kepala Desa dan oknum Kepala Kelurahan serta oknum Pegawai
Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) dalam mengambil kesempatan untuk
menggunakan ADD demi kepentingan pribadi. Berikut data-data yang kami kumpulkan
dibawah ini.
“124
Kepala Desa di Kabupaten Muna diberangkatkan studi banding di Jogja dengan
menggunakan Alokasi Dana Desa (ADD)” (September 2015)
“Oknum BPMND Kabupaten Kolaka Utara melakukan
pemotongan 3 juta ketika anggaran Alokasi Dana Desa Cair sebagai biaya upah
dalam membantu dalam Menyusun Perencanaan Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJMdes)”
(15 September 2015)
ADD Belum
berjalan setahun di Sulawesi Tenggara ternyata sudah banyak oknum yang selalu
akal-akalan menciptakan kegiatan yang diluar dari peruntukan ADD. Uang bisa
menjadi baik ketika digunakan sebagaimana mestinya tetapi akan menjadi buruk
ketika digunakan bukan sesui dengan peruntukannya dan akan mengakibatkan
tindakan yang merugikan warga.
***
Untuk perbaikan pengelolaan
ADD di Sulawesi Tenggara dibutuhkan beberapa perbaikan seperti Pertama, Pendamping Desa harus berperan aktif mendekati
warga agar penggalian masalah secara mendalam dapat dilakukan dengan baik.
Tools yang dipakai untuk mendalami
masalah harus mudah dan gampang dipahami warga yang berpendidikan maupun tidak
berpendidikan. Semua ini demi menciptakan pembangunan tidak melulu berdasarkan
pada usulan para tokoh masyarakat semata melainkan melibatkan semua pihak.
Selain itu
Pendamping Desa minimal mengusai teknik mengubah kesadaran semu menjadi
kesadaran kritis, agar perubahan yang tercipta bukan sebatas pada pembangunan
infrastruktur semata, melainkan tercipta perubahan dalam mengkritisi proses
pembangunan yang tidak sesui dengan kepentingan warga dan mengkritisi para
tokoh kampung yang suka akal-akalan dalam menciptakan kegiatan demi kepentingan
pribadi seperti yang terjadi di Muna, Kolaka Utara dan Kota Kendari diatas.
Kedua, Kepala Desa dan Kepala Kelurahan harus
diberi pelatihan agar bisa membuat tools yang mudah untuk melakukan perencanaan
dan pelaporan bersama warga. Dan Para Aparat Desa dan Kelurahan harus diberikan
pendidikan anti korupsi oleh tim Pencegahan korupsi KPK agar terhindar dari
Korupsi. Jika sudah diberi pelatihan anti korupsi masih tetap ngeyel dan nakal,
maka Pihak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pihak Kepolisian Daerah Sulawesi
Tenggara serta Kejaksaan harus membuka ruang selebar-lebarnya terhadap warga
agar bisa melaporkan kasus korupsi ADD yang terjadi di Kampung, Desa dan
Kelurahan masing-masing. J
Semoga Alokasi
Dana Desa yang digelontorkan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Desa sesui
dengan harapan dan dapat menciptakan kesejahteraan bagi seluruh Masyarakat terutama
di Sulawesi Tenggara Khususnya.
Sumber
Rakyat
Sultra, 3 Oktober 2015, Lima Desa Di Butur Tak Bisa Cairkan Dana Desa
Rakyat
Sultra, 15 September 2015, Aroma Korupsi Dana Desa Mulai Mencuat
Rakyat
Sultra, 03 November 2015, Pencairan dana desa tahap dua terancam gagal
Rakyat
Sultra, 17 Oktober 2015, 56 Ribu Desa Sudah Terima Dana Desa
Rakyat
Sultra, 02 oktober 2015, Konkep Salurkan Dana Desa Hanya Tiga Kecamatan
Rakyat
Sultra, 21 Oktober 2015, Dana Desa belum tersalurkan
Rakyat
Sultra, 17 September 2015, Kades Harus Hati-hati Gunakan Dana Desa
Rakyat
Sultra, 03 Oktober 2015, Beberapa Daerah Terancam Tak Terima ADD
Rakyat
Sultra, 17 September 2015, 124 KADES di Muna Studi Banding Ke Jogja
Rakyat
Sultra, 26 September 2015, Yakin Dana Desa Pulihkan Perekonomian
Rakyat
Sultra, 02 Oktober 2015, BPKP Sultra : Dana Desa Rawan Penyimpangan
Berita
Warga Kendari, November 2015.
Sulawesi
Tenggara Dalam Angka Tahun 2014.
No comments:
Post a Comment