Ilustrasi |
Setiap proses pemilihan langsung di Kendari, saya terus mengamati dan mengamati prilaku masyarakat khususnya di Kota Kendari. Problem utama dihadapi masyarakat dalam proses demokrasi adalah politik kotor berupa politik uang.
Pada pemilu 2019 khususnya pemilihan Calon Legislatif (CALEG) dari DPR Pusat hingga DPRD Kota Kendari yang dilaksanakan 17 april lalu, sangat parah aktivitas politik uang di kalangan masyarakat. Situasi yang sangat mirip pada pemilihan Walikota Kendari pada tahun 2017 lalu. Dari pengamatan saya, pemilihan langsung yang tidak marak politik uang hanya pada Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tahun 2018 lalu. Hal itu terjadi karena salah satu aktor politik uang, yang juga jadi kandidat Gubernur Sultra terciduk KPK sebelum hari pencoblosan.
Berdasarkan informasi dari warga dari 5 Dapil yang kami kunjungi di Kota Kendari, rata-rata Caleg yang lolos di DPRD Kota Kendari, DPRD Provinsi Sulawesi Tenggara dan DPR RI Pusat melakukan kegiatan serangan uang atau biasa disebut masyarakat sebagai serangan fajar. Nominal serangan bervariasi tergantung tingkatannya. Untuk DPRD Kota Kendari, rata-rata Caleg menyerang kisaran Rp. 100.000 sampai Rp.350.000 untuk satu suara. Untuk DPRD Provinsi menyerang kisaran Rp.100.000 sampai Rp.200.000 untuk satu suara. Begitupun dengan Caleg DPR RI antara Rp.50.000 sampai Rp.100.000 per suara.
Dari hasil wawancara dengan salah satu teman Caleg menyatakan, beberapa Caleg yang duduk di DPRD Kota Kendari mengeluarkan cost politik plus politik uang kisaran 500 juta rupiah hingga diatas 1 milliar rupiah. Bahkan beberapa Caleg yang mengeluarkan uang 1 milliar rupiah, tetapi tidak terpilih menjadi anggota legislatif karena kalah banyak uang oleh lawannya.
Menurut teman caleg itu, beberapa Calon Legislatif (CALEG) Kota Kendari rela mengeluarkan uang hingga milliaran rupiah karena memang caleg mendapatkan uang lebih banyak lagi ketika terpilih menjadi Anggota Legislatif Kota Kendari. Pendapatan Caleg dari gaji plus tunjangan mencapai 39 juta rupiah per bulan. Itu belum termasuk dana reses yang jumlahnya puluhan juta setiap tahun. Tetapi gaji dan dana reses tidak seberapa, dibandingkan dengan dana aspirasi yang didapatkan setiap Anggota Legislatif yang jumlahnya mencapai milliaran rupiah selama duduk di DPRD Kota Kendari.
"Target politik uang bagi pemilih saat pemilihan Caleg bukan hanya berlaku di daerah yang penduduknya relatif miskin, tetapi juga berlaku bagi perumahan kelas tengah hingga perumahan yang rata-rata punya mobil di Kota Kendari", cerita teman caleg.
Pelaku yang biasa menjalankan politik uang adalah orang setempat yang telah ditunjuk sebagai tim sukses Caleg tersebut. Caleg pelaku politik uang tidak lagi berdasarkan ideologi, tapi hampir semua caleg partai melakukan politik uang, mulai dari partai agamais, nasionalis hingga lokalitas. Caleg partai PKS, PAN, DEMOKRAT, GERINDRA, PDIP, NASDEM, GOLKAR dan seterusnya, terlibat semua dalam politik uang demi merebut kursi legislatif di DPRD Kota Kendari, DPRD Sulawesi Tenggara hingga DPR RI. Namun tak satupun pelakunya yang tertangkap tangan.
Kenapa masyarakat sangat akrab dengan politik uang di Kota Kendari ?. Saya sempat menanyakan ke beberapa warga. Alasan mereka dapat saya simpulkan yakni pertama, janji Caleg yang tidak sesui dengan kenyataan. Kedua, Caleg terpilih tidak membangun relasi jangka panjang dengan pemilih sehingga hubungan mereka hanya sekali dalam 5 tahun pas kegiatan pemilihan terjadi. Ketiga, masalah masalah yang dihadapi masyarakat tidak pernah mendapatkan perhatian penuh dari anggota legilastif, padahal masalah tersebut terkait dengan buruknya sistem pelayanan Pemerintahan Kota Kendari ditingkat bawah.
Efek dari kebiasaan politik uang adalah masyarakat tak lagi perduli dengan visi misi, dan program Caleg, melainkan akan memilih yang bisa membayar suara pada saat pencoblosan. Akhirnya pertukaran suara dengan uang menjadi hal yang biasa-biasa saja bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Kota Kendari. Ujung dari kebiasaan buruk ini hanya memberikan ruang ke orang-orang yang BERUANG. Calon legislatif yang terpilih pun tak lagi dilihat dari segi kualitas untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat di kursi perlemen, melainkan melihat jumlah nominal uang serangan fajar yang bisa dihambur-hamburkan caleg di hari pencoblosan.
Padahal dalam Undang Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Diatur bahwa baik pemberi maupun penerima 'uang politik' sama-sama bisa kena jerat pidana berupa hukuman penjara.
Pada Pasal 187 A ayat 1, Undang-Undang tentang Pilkada diatur, setiap orang yang sengaja memberi uang atau materi sebagai imbalan untuk memengaruhi pemilih maka orang tersebut dipidana penjara paling singkat 36 bulan dan paling lama 72 bulan, plus denda paling sedikit Rp 200 juta hingga maksimal Rp 1 miliar.
Pertanyaannya, apakah pengawas pemilu (PANWASLU) Kota Kendari tidak bekerja maksimal cegah politik uang ?. Jawabannya "iya". Dari beberapa kasus politik uang di malam pencoblosan, serangan fajar masuk hingga tingkat RT, RW dan Kampung. Namun tak satupun pelaku politik uang yang tertangkap.
Menurut seorang teman caleg, panwaslu tingkat bawah yang direkrut Panwaslu Kota Kendari banyak yang terlibat aktif sebagai aktor politik uang. Memang sengaja direkrut dan didorong menjadi panwaslu tingkat Kelurahan demi melegalkan politik uang salah satu partai.
"Panwaslu tingkat kelurahan yang tidak terlibat aktif banyak yang tutup mata dengan pelaku politik uang, karena didesain supaya mendapat percikan juga" lanjut teman caleg.
Isu politik uang memang sangat terbuka ditingkat bawah terutama ditingkat RT, RW dan Kampung di Kota Kendari. Tetapi tak satupun yang tertangkap sampai hari ini. Padahal bukan hanya Panwaslu yang tahu, pihak intel Kepolisian dan TNI pasti tahu juga sistem politik kotor itu marak di Kota Kendari.
Sampai kapan Kota Kendari menjadi sarang politik kotor dengan politik uang. Apakah sampai kiamat ?, tentu tidak. Apakah demokrasi kita akan terus tercoreng dengan politik kotor itu ?, tentu tidak. Seandainya politik uang sebagai penyakit kanker mungkin masyarakat Kota Kendari dapat dikatakan memasuki stadium 4. Kita tidak boleh terpaku dengan hanya mengandalkan PANWASLU, Aparat Kepolisian dan TNI untuk berantas politik uang di Kota Kendari. Semua pihak harus terlibat aktif terutama Partai Politik dalam memberantas penyakit demokrasi yang merasuk ke alam bawah sadar masyarakat. Marilah bersama-sama bergerak menciptakan demokrasi sehat untuk Indonesia dan khususnya di Kota Kendari kedepan.
No comments:
Post a Comment